Pakar Hukum Sebut Putusan MK 90 Injak-injak Rasa Keadilan Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banyak pihak menyerukan agar move on (melupakan) putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Namun pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menolaknya karena putusan MK tentang syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) bukan sekadar hukum, melainkan keadilan.
"Bagi kami ini bukan soal hukum belaka, tapi di sini ada keadilan yang sedang diinjak-injak. Dan kalaupun hukum belum begitu responsif seperti yang kita inginkan, bukan berarti keadilan kita lupakan," kata Bivitri dalam diskusi Etika Penyelenggara Negara: Belajar dari Para Pendiri Bangsa di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Menurutnya, ketika bangsa Indonesia ingin membangun peradaban politik, maka harus berpegang pada etika politik.
"Kalau kita mau membangun peradaban politik, sebenarnya sesuatu yang melampaui hukum tertulis yaitu etika politik dan gagasan konstitusionalitas," katanya.
Menurut Bivitri, putusan MK memiliki dampak sangat luas, tidak hanya merusak tatanan hukum. "Itu kan sebenarnya ada kerusakan parah yang ditimbulkan Putusan 90. Merusak MK itu pasti. Itu artinya merusak bangunan negara hukum," katanya.
Bivitri juga menyoroti Anwar Usman yang tidak merasa bersalah dalam proses putusan tersebut, bahkan menggugat pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. "Artinya dia benar-benar tidak merasa bersalah. Padahal MKMK putuskan pelanggaran etika berat," katanya.
Demokrasi Indonesia dikhawatirkan mundur karena tragedi konstitusi. Lebih parahnya, ketika nanti generasi masa depan menganggap pelanggaran etik dapat diterima asal tidak melanggar aturan.
"Akibatnya nanti Indonesia tidak akan maju. Karena pemimpin yang dipilih bukan karena kemampuan, tapi karena hubungan kekerabatan. Yang paling parah demokrasi kita mundur, karena cara berpolitik yang kotor. Karena kenormalan baru, adik-adik, anak cucu kita (generasi masa depan) akan bilang tidak ada yang salah dengan nepotisme, tidak ada yang salah dengan politik dinasti," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengungkapkan pentingnya menempatkan moralitas di atas aturan. Ia menggunakan istilah halal (boleh) dan baik (thayib).
"Saya kira peristiwa MK kemarin itu menunjukkan pada kita, setelah ditemukan peristiwa yang kemudian dinyatakan melanggar kode etik berat. Tapi tetap saja banyak orang bilang aturannya tidak batal. Tentu secara legal formal tidak batal , tapi secara moral aturan itu tidak layak untuk dilaksanakan," ujarnya.
Menurut Ray, proses berdemokrasi sepatutnya mengutamakan moralitas, bukan mandek pada aturan. "Jadi di atas boleh dan tidak boleh, itu mestinya baik dan tidak baik," katanya.
Ia menyebut tidak ada manfaat dari dinasti politik selain maraknya korupsi dan nepotisme. "Apa yang kita dapatkan dari dinasti politik? Tidak ada, kecuali beberapa di antara mereka diciduk KPK karena korupsi," ujarnya.
Begitu pula dengan politik dinasti. Secara aturan tidak melanggar, namun harus dihindari demi kebaikan bersama. "Kita harus tolak politik dinasti. Sekali pun secara legal formal dia ada, tapi secara moral, kemanfaatan, sama sekali tidak ada," katanya.
Semangat reformasi telah menggariskan agar bangsa ini bisa keluar dari segala masalah yakni dengan menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Itulah mengapa sejak dari reformasi kita menempatkan poin Tolak KKN, karena penyakit KKN ini akan betul-betul membuat Indonesia sulit mencapai tujuan yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Sayangnya para pemimpin dan elite masih suka berada di level aturan, belum menyentuh fatsun demokrasi, keadaban demokrasi, dan etik demokrasi.
"Bagi kami ini bukan soal hukum belaka, tapi di sini ada keadilan yang sedang diinjak-injak. Dan kalaupun hukum belum begitu responsif seperti yang kita inginkan, bukan berarti keadilan kita lupakan," kata Bivitri dalam diskusi Etika Penyelenggara Negara: Belajar dari Para Pendiri Bangsa di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Menurutnya, ketika bangsa Indonesia ingin membangun peradaban politik, maka harus berpegang pada etika politik.
"Kalau kita mau membangun peradaban politik, sebenarnya sesuatu yang melampaui hukum tertulis yaitu etika politik dan gagasan konstitusionalitas," katanya.
Menurut Bivitri, putusan MK memiliki dampak sangat luas, tidak hanya merusak tatanan hukum. "Itu kan sebenarnya ada kerusakan parah yang ditimbulkan Putusan 90. Merusak MK itu pasti. Itu artinya merusak bangunan negara hukum," katanya.
Bivitri juga menyoroti Anwar Usman yang tidak merasa bersalah dalam proses putusan tersebut, bahkan menggugat pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. "Artinya dia benar-benar tidak merasa bersalah. Padahal MKMK putuskan pelanggaran etika berat," katanya.
Demokrasi Indonesia dikhawatirkan mundur karena tragedi konstitusi. Lebih parahnya, ketika nanti generasi masa depan menganggap pelanggaran etik dapat diterima asal tidak melanggar aturan.
"Akibatnya nanti Indonesia tidak akan maju. Karena pemimpin yang dipilih bukan karena kemampuan, tapi karena hubungan kekerabatan. Yang paling parah demokrasi kita mundur, karena cara berpolitik yang kotor. Karena kenormalan baru, adik-adik, anak cucu kita (generasi masa depan) akan bilang tidak ada yang salah dengan nepotisme, tidak ada yang salah dengan politik dinasti," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengungkapkan pentingnya menempatkan moralitas di atas aturan. Ia menggunakan istilah halal (boleh) dan baik (thayib).
"Saya kira peristiwa MK kemarin itu menunjukkan pada kita, setelah ditemukan peristiwa yang kemudian dinyatakan melanggar kode etik berat. Tapi tetap saja banyak orang bilang aturannya tidak batal. Tentu secara legal formal tidak batal , tapi secara moral aturan itu tidak layak untuk dilaksanakan," ujarnya.
Menurut Ray, proses berdemokrasi sepatutnya mengutamakan moralitas, bukan mandek pada aturan. "Jadi di atas boleh dan tidak boleh, itu mestinya baik dan tidak baik," katanya.
Dinasti Politik
Ray juga menyoroti dinasti politik yang dinilai menjadi salah satu penyebab suburnya korupsi. "Salah satu cara untuk menurunkan korupsi adalah dengan menafikan dinasti politik," tambahnya.Ia menyebut tidak ada manfaat dari dinasti politik selain maraknya korupsi dan nepotisme. "Apa yang kita dapatkan dari dinasti politik? Tidak ada, kecuali beberapa di antara mereka diciduk KPK karena korupsi," ujarnya.
Begitu pula dengan politik dinasti. Secara aturan tidak melanggar, namun harus dihindari demi kebaikan bersama. "Kita harus tolak politik dinasti. Sekali pun secara legal formal dia ada, tapi secara moral, kemanfaatan, sama sekali tidak ada," katanya.
Semangat reformasi telah menggariskan agar bangsa ini bisa keluar dari segala masalah yakni dengan menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
"Itulah mengapa sejak dari reformasi kita menempatkan poin Tolak KKN, karena penyakit KKN ini akan betul-betul membuat Indonesia sulit mencapai tujuan yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Sayangnya para pemimpin dan elite masih suka berada di level aturan, belum menyentuh fatsun demokrasi, keadaban demokrasi, dan etik demokrasi.
(abd)