Pemilu 2024, Mahfud MD Imbau Hindari Golput
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan kepada masyarakat agar tidak golput di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mahfud menekankan pentingnya memilih calon pemimpin.
Dalam Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam pada Kamis (13/7), Mahfud MD menyoroti pandangan beberapa orang yang mungkin merasa bahwa pemilihan umum tidak memberikan variasi yang cukup signifikan dalam kandidat, sehingga mereka cenderung untuk tidak ikut serta.
"Kan kadangkala orang, 'udah lah saya enggak ikut pemilu, calon itu-itu saja. DPRD itu, calon gubernur itu, calon presiden itu, DPR pusat begitu'," kata Mahfud.
Mahfud menegaskan bahwa sikap seperti itu tidak boleh diterapkan. Ia berpendapat bahwa meskipun ada calon yang dianggap kurang baik, tetapi pemilih seharusnya tetap memilih calon yang paling baik, atau setidaknya yang memiliki kekurangan paling minim.
Untuk lebih mengerti pesan yang diberikan Mahfud, kita harus mengetahui apa definisi dan dampak dari golput itu tersendiri.
Golongan Putih, atau yang sering disebut dengan istilah "golput," merujuk pada sikap atau tindakan sekelompok masyarakat yang memilih untuk tidak memberikan suara atau tidak ikut serta dalam proses pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden, legislatif, maupun pemilihan kepala daerah.
Golput berasal dari singkatan "golongan putih" yang menunjukkan bahwa surat suara yang tidak digunakan untuk memilih calon tertentu tetap bersih atau putih.
Istilah "golput" atau Golongan Putih mencuat ke permukaan ketika Pemilu 1971 semakin mendekat. Pada suatu siang, tepatnya Kamis, 3 Juni 1971, sekelompok mahasiswa, pemuda, dan pelajar berkumpul di Balai Budaya Jakarta.
Di sana, mereka mengumumkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai suatu gerakan moral yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap sistem politik pada waktu itu. Kelompok ini muncul karena mereka merasa bahwa aspirasi politik mereka tidak dapat diwakili dengan baik oleh wadah politik formal yang ada pada masa itu.
Dikutip dari buku "Arief Budiman: Tukang Kritik Profesional" (2020), kelompok ini mengajak orang-orang yang enggan memilih partai politik dan Golkar untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka dengan menandai bagian putih (kosong) di antara sepuluh gambar simbol yang tertera pada surat suara.
Dalam Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu yang disiarkan melalui YouTube Kemenko Polhukam pada Kamis (13/7), Mahfud MD menyoroti pandangan beberapa orang yang mungkin merasa bahwa pemilihan umum tidak memberikan variasi yang cukup signifikan dalam kandidat, sehingga mereka cenderung untuk tidak ikut serta.
"Kan kadangkala orang, 'udah lah saya enggak ikut pemilu, calon itu-itu saja. DPRD itu, calon gubernur itu, calon presiden itu, DPR pusat begitu'," kata Mahfud.
Mahfud menegaskan bahwa sikap seperti itu tidak boleh diterapkan. Ia berpendapat bahwa meskipun ada calon yang dianggap kurang baik, tetapi pemilih seharusnya tetap memilih calon yang paling baik, atau setidaknya yang memiliki kekurangan paling minim.
Untuk lebih mengerti pesan yang diberikan Mahfud, kita harus mengetahui apa definisi dan dampak dari golput itu tersendiri.
Apa itu Golput?
Golongan Putih, atau yang sering disebut dengan istilah "golput," merujuk pada sikap atau tindakan sekelompok masyarakat yang memilih untuk tidak memberikan suara atau tidak ikut serta dalam proses pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden, legislatif, maupun pemilihan kepala daerah.
Golput berasal dari singkatan "golongan putih" yang menunjukkan bahwa surat suara yang tidak digunakan untuk memilih calon tertentu tetap bersih atau putih.
Istilah "golput" atau Golongan Putih mencuat ke permukaan ketika Pemilu 1971 semakin mendekat. Pada suatu siang, tepatnya Kamis, 3 Juni 1971, sekelompok mahasiswa, pemuda, dan pelajar berkumpul di Balai Budaya Jakarta.
Di sana, mereka mengumumkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai suatu gerakan moral yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap sistem politik pada waktu itu. Kelompok ini muncul karena mereka merasa bahwa aspirasi politik mereka tidak dapat diwakili dengan baik oleh wadah politik formal yang ada pada masa itu.
Dikutip dari buku "Arief Budiman: Tukang Kritik Profesional" (2020), kelompok ini mengajak orang-orang yang enggan memilih partai politik dan Golkar untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka dengan menandai bagian putih (kosong) di antara sepuluh gambar simbol yang tertera pada surat suara.