Waspada Klaim Obat COVID-19 di Pasaran, Kemenristek: Obat Bisa Jadi Racun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akhir-akhir ini banyak pihak mengklaim telah menemukan obat COVID-19 . Salah satunya informasi yang disampaikan oleh Hadi Pranoto yang mengaku sebagai pakar mikrobiologi, dan memiliki gelar profesor telah menemukan obat yang spesifik bisa mengobati COVID-19.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN, Ali Ghufron Mukti pun mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap beredarnya obat-obat di pasaran yang diklaim bisa menyembuhkan COVID-19. (Baca juga: Bertambah 12 Kasus, Total 1.276 WNI di Luar Negeri Terkonfirmasi COVID-19)
Ali mengatakan obat memiliki fungsi sebagai medikamentosa yakni bisa jadi obat, namun juga bisa menjadi racun. “Jadi sebetulnya bahwa penemuan sebuah obat ini proses panjang. Karena obat ini orang bilang medikamentosa. Medikamentosa itu artinya bisa dua yaitu obat yang juga bisa racun. Kalau dosisnya salah, itu bisa menjadi racun. Ginjal bisa rusak. Jadi keamanan, kemudian privacy itu penting,” ujarnya dalam diskusi di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Ali menjelaskan biasanya orang yang melakukan penelitian untuk menemukan sebuah obat harus menyusun proposal dulu, dan kemudian proposal akan dinilai oleh Komite Etik di peraturan Menteri Kesehatan. “Jadi nanti ada keputusan di Menteri Kesehatan Nomor 240 Tahun 2016 tentang Komisi Etika Penelitian Kesehatan. Dan itu harus lulus di situ untuk mendapatkan ethical clearance,” jelasnya.
“Jadi tidak bisa juga bahwa apalagi melibatkan subjeknya manusia, itu manusia ini ada kerahasiaannya, ada keamanannya, ada keselamatannya ada dignitynya ini yang harus juga dilindungi, seperti itu. Dan makannya harus ada yang disebut dengan inform concern, jadi dia mau ngambil keputusan setelah kita jelaskan. Sehingga sekarang sudah lebih terstruktur,” sambung Ali.
Ali juga menegaskan bahwa obat tidak bisa langsung diklaim bisa menyembuhkan suatu penyakit, harus ada prosedur yang jelas. “Jadi hampir setiap Fakultas Kedokteran yang besar itu pasti ada komite etik yang nanti bisa diurus di situ. Jadi tidak bisa, mohon maaf tiba-tiba gitu ya ujug-ujug, ‘wah saya sudah menemukan obat ini ya’ nah sebentar obat apa? gitu ya. Jadi ada prosedurnya,” tegasnya.
Sementara itu, Ali mengatakan bahwa COVID-19 menyerang daya tahan tubuh seseorang. Jadi kalau minum sebuah obat namun daya tahan tubuhnya lemah, maka akan berpotensi terserang COVID-19. (Baca juga: Doni Monardo: COVID-19 Ibarat Malaikat Pencabut Nyawa bagi Kelompok Rentan)
“Sekarang orang yang tidak minum obat tersebut, sembuh enggak? Jangan-jangan nggak minum juga sembuh. COVID-19 ya, kalau antibodi dia atau daya tahan tubuh dia bagus, ya nggak usah minum apa-apa asal daya tubuh bagus, ya bisa menghancurkan virusnya itu lebih bagus daya tahan tubuhnya daripada pertahanan virusnya. Virusnya juga mati,” tutup Ali.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN, Ali Ghufron Mukti pun mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap beredarnya obat-obat di pasaran yang diklaim bisa menyembuhkan COVID-19. (Baca juga: Bertambah 12 Kasus, Total 1.276 WNI di Luar Negeri Terkonfirmasi COVID-19)
Ali mengatakan obat memiliki fungsi sebagai medikamentosa yakni bisa jadi obat, namun juga bisa menjadi racun. “Jadi sebetulnya bahwa penemuan sebuah obat ini proses panjang. Karena obat ini orang bilang medikamentosa. Medikamentosa itu artinya bisa dua yaitu obat yang juga bisa racun. Kalau dosisnya salah, itu bisa menjadi racun. Ginjal bisa rusak. Jadi keamanan, kemudian privacy itu penting,” ujarnya dalam diskusi di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Ali menjelaskan biasanya orang yang melakukan penelitian untuk menemukan sebuah obat harus menyusun proposal dulu, dan kemudian proposal akan dinilai oleh Komite Etik di peraturan Menteri Kesehatan. “Jadi nanti ada keputusan di Menteri Kesehatan Nomor 240 Tahun 2016 tentang Komisi Etika Penelitian Kesehatan. Dan itu harus lulus di situ untuk mendapatkan ethical clearance,” jelasnya.
“Jadi tidak bisa juga bahwa apalagi melibatkan subjeknya manusia, itu manusia ini ada kerahasiaannya, ada keamanannya, ada keselamatannya ada dignitynya ini yang harus juga dilindungi, seperti itu. Dan makannya harus ada yang disebut dengan inform concern, jadi dia mau ngambil keputusan setelah kita jelaskan. Sehingga sekarang sudah lebih terstruktur,” sambung Ali.
Ali juga menegaskan bahwa obat tidak bisa langsung diklaim bisa menyembuhkan suatu penyakit, harus ada prosedur yang jelas. “Jadi hampir setiap Fakultas Kedokteran yang besar itu pasti ada komite etik yang nanti bisa diurus di situ. Jadi tidak bisa, mohon maaf tiba-tiba gitu ya ujug-ujug, ‘wah saya sudah menemukan obat ini ya’ nah sebentar obat apa? gitu ya. Jadi ada prosedurnya,” tegasnya.
Sementara itu, Ali mengatakan bahwa COVID-19 menyerang daya tahan tubuh seseorang. Jadi kalau minum sebuah obat namun daya tahan tubuhnya lemah, maka akan berpotensi terserang COVID-19. (Baca juga: Doni Monardo: COVID-19 Ibarat Malaikat Pencabut Nyawa bagi Kelompok Rentan)
“Sekarang orang yang tidak minum obat tersebut, sembuh enggak? Jangan-jangan nggak minum juga sembuh. COVID-19 ya, kalau antibodi dia atau daya tahan tubuh dia bagus, ya nggak usah minum apa-apa asal daya tubuh bagus, ya bisa menghancurkan virusnya itu lebih bagus daya tahan tubuhnya daripada pertahanan virusnya. Virusnya juga mati,” tutup Ali.
(kri)