Tak Penuhi Syarat Formil, Denny Indrayana Sebut Putusan MK Nomor 90 Tidak Sah

Senin, 06 November 2023 - 13:32 WIB
loading...
Tak Penuhi Syarat Formil,...
Ketua MK Anwar Usman dinilai memiliki konflik kepentingan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres-cawapres. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pakar Tata Hukum Negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Pasal 169 huruf Q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Keduanya meminta agar MK membatalkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Uji materiil yang diajukan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar telah teregristrasi di MK, Jumat (3/11/2023) pekan lalu. Dalam pokok permohonannya, Denny menilai pasal tersebut tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan dengan UUD 1945 dan UU Kehakiman.

"Bahwa Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pada pokoknya setiap hakim (termasuk hakim konstitusi) harus mengundurkan diri dari mengadili sebuah perkara yang melibatkan kepentingan keluarganya, apabila tidak, maka putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah (tidak memenuhi syarat formil)," kata Denny dalam keterangan tertulis dikutip, Senin (6/11/2023).



Untuk diketahui, putusan MK mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Dalam permohonannya Almas meminta agar MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah.

Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun tapi memiliki pengalaman menjadi Walikota Solo.

Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pascauji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, Minggu (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU sebagai pasangan capres-cawapres.

Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dituding ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut dan terlibat KKN.



"Seharusnya, Anwar Usman MENGUNDURKAN DIRI dalam Perkara 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian, ketika Anwar Usman terlibat dalam Putusan 90/-PUU/XXI/2023, jelas-jelas hal itu menjadikan Putusan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menjadi tidak sah," tegas Denny dalam pokok permohonannya.

Denny dalam provisinya meminta MK menunda keberlakukan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUXXI/2023. "Para Pemohon meminta agar perkara ini diadili secara cepat tanpa meminta keterangan DPR, Presiden, serta Pihak Terkait," tegasnya.

Hal tersebut bisa dilakukan sebab dalam Pasal 54 UUMK juncto Putusan Nomor 102/PUUVII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib, melainkan pilihan.

"Karena ditulis dengan kata 'dapat', bukan 'wajib'. Lebih lengkap, pertimbangan tersebut menyatakan, Menimbang bahwa terhadap permohonan para Para Pemohon, Mahkamah memandang tidak perlu mendengar keterangan Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat, karena hal tersebut dimungkinkan menurut Pasal 54 UU MK," katanya.

Denny juga meminta MK kembali memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa melibatkan Anwar Usman. Akibat konflik kepentingan tersebut, Anwar Usman dan 8 hakim MK lainnya dilaporkan oleh sejumlah orang atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terkait putusan perkara tersebut. MKMK pun telah memeriksa 20 pelapor, 1 ahli, 1 saksi dan 9 hakim MK.

MKMK menemukan banyak masalah dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru tersebut. MKMK dijadwalkan membacakan putusannya pada Selasa (7/11/2023) besok.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1105 seconds (0.1#10.140)