Pakar Hukum UGM Gugat Putusan MK yang Loloskan Gibran Jadi Cawapres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menggugat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara nomor 90/PUU- XXI/2023 tentang batas usia minimal capres dan cawapres. Ia meminta agar putusan itu dibatalkan.
Maju sebagai penggugat lainnya yaitu Denny Indrayana. Keduanya menilai bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil lantaran bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
Salah satunya Pasal 17 ayat (5) dan (6) yang berkaitan agar Hakim mengundurkan diri apabila mengadili perkara yang melibatkan keluarga. Pasal ini juga menyatakan apabila ketentuan itu dilanggar maka putusannya menjadi tidak sah.
"Menyatakan pembentukan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tulis Petitum dalam pokok perkara yang dilansir dari dokumen Indrayana Centre for Goverment, Constitution and Society.
Zainal Arifin dan Denny Indrayana juga meminta agar MK menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu juga meminta agar berlakunya putusan tersebut ditunda.
"Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023. Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023," tulis keterangan itu.
Mereka menilai putusan itu tidak sah karena perkara itu turut diadili oleh Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka. Mereka juga menilai putusan ini menjadi dasar Gibran untuk mencalonkan diri sebagai cawapres.
Mereka juga menilai cacat formil yang terjadi dikuatkan dengan temuan dugaan pelanggaran etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keduanya juga meminta agar putusan 90 itu dapat diadili kembali dengan komposisi hakim yang berbeda.
Maju sebagai penggugat lainnya yaitu Denny Indrayana. Keduanya menilai bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil lantaran bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.
Salah satunya Pasal 17 ayat (5) dan (6) yang berkaitan agar Hakim mengundurkan diri apabila mengadili perkara yang melibatkan keluarga. Pasal ini juga menyatakan apabila ketentuan itu dilanggar maka putusannya menjadi tidak sah.
"Menyatakan pembentukan putusan 90/PUU-XXI/2023 yang memaknai Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tulis Petitum dalam pokok perkara yang dilansir dari dokumen Indrayana Centre for Goverment, Constitution and Society.
Zainal Arifin dan Denny Indrayana juga meminta agar MK menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu juga meminta agar berlakunya putusan tersebut ditunda.
"Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023. Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PU-XXI/2023," tulis keterangan itu.
Mereka menilai putusan itu tidak sah karena perkara itu turut diadili oleh Anwar Usman yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka. Mereka juga menilai putusan ini menjadi dasar Gibran untuk mencalonkan diri sebagai cawapres.
Mereka juga menilai cacat formil yang terjadi dikuatkan dengan temuan dugaan pelanggaran etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Keduanya juga meminta agar putusan 90 itu dapat diadili kembali dengan komposisi hakim yang berbeda.
(abd)