Marah 3 Kali, Menteri Tak Juga Berganti
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah tiga kali memarahi menterinya akibat tidak puas dengan kinerja mereka dalam penanganan krisis di masa pandemi. Seiring makin seriusnya persoalan kesehatan dan ekonomi, Jokowi diminta tidak lagi sekadar marah, melainkan mulai menyiapkan reshuffle untuk mengganti menteri yang tidak kapabel.
Jokowi terakhir marah saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (3/8/2020). Pemicunya adalah serapan anggaran stimulus untuk penanganan Covid-19 yang masih minim. Anggaran sebesar Rp695 triliun, tetapi hanya terealisasi Rp141 triliun atau 20%. Hal itu dinilai Presiden jauh dari harapan.
Inti kegusaran Presiden dalam tiga kali marah tersebut adalah jajaran menteri dianggap bekerja biasa-biasa saja. Presiden ingin menteri merespons situasi sulit yang ada, bukan bekerja ala kadarnya dan tampak tidak menunjukkan aura krisis. (Baca: Sikap Mensos Tolak Kader Partai jadi Koordinator PKH Diapresisasi)
Saat marah pertama kali pada sidang paripurna kabinet 18 Juni 2020, masih dapat dimaklumi bahwa itu sebagai alarm atau peringatan agar menteri menggenjot kinerja. Namun ketika Presiden marah untuk ketiga kalinya, hal tersebut dinilai tidak lagi produktif. Jokowi dinilai sudah saatnya menggunakan kewenangannya sebagai pemimpin dengan mengganti pembantu yang tidak bisa menjalankan instruksinya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, jika dimarahi untuk ketiga kalinya tetapi perubahan tidak kunjung tiba, itu artinya memang ada menteri yang tidak layak memimpin pelaksanaan teknis. Karena itu Bhima menilai seharusnya bukan lagi teguran yang diberikan, tetapi sudah masuk pada pembahasan reshuffle, khususnya pada jajaran tim ekonomi dan kesehatan.
“Kalau sekadar marah tidak akan efektif karena ini masalah eksekusi yang lemah dan menteri yang tidak siap berada dalam situasi krisis,” katanya ketika dihubungi kemarin.
Bhima menilai serapan anggaran saat ini memang masih rendah meskipun sudah dibentuk komite baru. Di lain sisi penanganan pandemi sebagai sumber utama krisis juga belum maksimal. Terbukti kurva pasien positif Covid-19 di Tanah Air tidak kunjung melandai hingga memasuki bulan keenam pandemi melanda. Dalam kondisi seperti itu, kata Bhima, masyarakat tidak yakin untuk berbelanja. Dampak lain investor pun masih mengerem untuk masuk ke Indonesia karena risikonya tinggi sekali. (Baca juga: Israel dan Hizbullah Saling Bantah Jadi Biang Ledakan Beirut)
Memburuknya situasi ekonomi tergambar pada angka pertumbuhan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin. Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau minus 5,32%. Pertumbuhan ekonomi negatif ini merupakan yang pertama kalinya sejak periode 1998 saat Indonesia mengalami krisis finansial di masa akhir era Orde Baru.
Bhima menuturkan, ada sejumlah indikator dalam menilai kinerja kabinet sampai kemudian memutuskan melakukan perombakan menteri. Pertama dilihat dari serapan anggaran, khususnya stimulus untuk penanganan kesehatan dan ekonomi.
Kedua dari sisi koordinasi antarkementerian dan lembaga. Perlu dilihat apakah ada menteri yang mencoba menghambat. Ketiga, ada menteri yang melakukan pencitraan berlebih, tetapi kinerjanya sebenarnya lambat.
Jokowi terakhir marah saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (3/8/2020). Pemicunya adalah serapan anggaran stimulus untuk penanganan Covid-19 yang masih minim. Anggaran sebesar Rp695 triliun, tetapi hanya terealisasi Rp141 triliun atau 20%. Hal itu dinilai Presiden jauh dari harapan.
Inti kegusaran Presiden dalam tiga kali marah tersebut adalah jajaran menteri dianggap bekerja biasa-biasa saja. Presiden ingin menteri merespons situasi sulit yang ada, bukan bekerja ala kadarnya dan tampak tidak menunjukkan aura krisis. (Baca: Sikap Mensos Tolak Kader Partai jadi Koordinator PKH Diapresisasi)
Saat marah pertama kali pada sidang paripurna kabinet 18 Juni 2020, masih dapat dimaklumi bahwa itu sebagai alarm atau peringatan agar menteri menggenjot kinerja. Namun ketika Presiden marah untuk ketiga kalinya, hal tersebut dinilai tidak lagi produktif. Jokowi dinilai sudah saatnya menggunakan kewenangannya sebagai pemimpin dengan mengganti pembantu yang tidak bisa menjalankan instruksinya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat, jika dimarahi untuk ketiga kalinya tetapi perubahan tidak kunjung tiba, itu artinya memang ada menteri yang tidak layak memimpin pelaksanaan teknis. Karena itu Bhima menilai seharusnya bukan lagi teguran yang diberikan, tetapi sudah masuk pada pembahasan reshuffle, khususnya pada jajaran tim ekonomi dan kesehatan.
“Kalau sekadar marah tidak akan efektif karena ini masalah eksekusi yang lemah dan menteri yang tidak siap berada dalam situasi krisis,” katanya ketika dihubungi kemarin.
Bhima menilai serapan anggaran saat ini memang masih rendah meskipun sudah dibentuk komite baru. Di lain sisi penanganan pandemi sebagai sumber utama krisis juga belum maksimal. Terbukti kurva pasien positif Covid-19 di Tanah Air tidak kunjung melandai hingga memasuki bulan keenam pandemi melanda. Dalam kondisi seperti itu, kata Bhima, masyarakat tidak yakin untuk berbelanja. Dampak lain investor pun masih mengerem untuk masuk ke Indonesia karena risikonya tinggi sekali. (Baca juga: Israel dan Hizbullah Saling Bantah Jadi Biang Ledakan Beirut)
Memburuknya situasi ekonomi tergambar pada angka pertumbuhan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin. Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau minus 5,32%. Pertumbuhan ekonomi negatif ini merupakan yang pertama kalinya sejak periode 1998 saat Indonesia mengalami krisis finansial di masa akhir era Orde Baru.
Bhima menuturkan, ada sejumlah indikator dalam menilai kinerja kabinet sampai kemudian memutuskan melakukan perombakan menteri. Pertama dilihat dari serapan anggaran, khususnya stimulus untuk penanganan kesehatan dan ekonomi.
Kedua dari sisi koordinasi antarkementerian dan lembaga. Perlu dilihat apakah ada menteri yang mencoba menghambat. Ketiga, ada menteri yang melakukan pencitraan berlebih, tetapi kinerjanya sebenarnya lambat.