Anak Muda Perlu Disiapkan untuk Perangi Berita Bohong dan Intoleransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Era disrupsi informasi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda. Remaja harus memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thinking) agar tidak mudah dipengaruhi sebaran konten negatif seperti berita bohong dan intoleransi yang dapat merusak tatanan kebangsaan Indonesia.
Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, untuk menyikapi era disrupsi informasi, generasi muda Indonesia harus disiapkan agar mampu hidup di dalamnya. Jangan pula diasumsikan mereka harus menghindari konten-konten negatif, karena dengan begitu mereka menjadi tidak dewasa dalam melakukan filtrasi informasi.
"Setelah anak-anak muda ini kita persiapkan, lalu kita ajak mereka untuk meng-counter isu-isu negatif yang bisa mereka temukan. Ini harus dilakukan melalui banyak platform, bukan hanya di media sosial, tapi juga dengan tatap muka secara langsung, seperti di rumah ibadah dan sekolah," kata Hariqo, Rabu (1/11/2023).
Pakar komunikasi dan media sosial ini menambahkan, tidak mungkin pemuda yang radikal ataupun penyebar berita bohong karena faktor tunggal. Kalau ada siswa yang menyebar berita bohong, bukan hanya siswanya yang salah, tapi apa peranan wali kelas dan kepala sekolahnya, sehingga siswa ini bisa menyebarkan berita bohong. Semuanya harus diusut tuntas.
"Ibarat orang sakit di umur 25 tahun, harus dicek latar belakangnya kan? Waktu balitanya dia bagaimana gizinya, waktu kecil dia makan apa, kok tiba-tiba dia umur 25 tahun sudah rusak ginjalnya?" ujarnya.
Hariqo menerangkan, pelaku seringkali sudah dibentuk dalam satu sistem yang membuat tidak terasah nalarnya. Seolah-olah dia lahir dari lingkungan yang mencetaknya menjadi penyebar berita bohong.
"Kalau ditanya apakah itu penting? Ya sangat penting, bahkan kalau perlu ini jadi salah satu syarat kelulusan di pendidikan formal," katanya.
Menurutnya, berita bohong bukan terkait dengan otak saja, tapi juga menyangkut kecerdasan mental dan kestabilan emosional. Orang yang terlatih secara emosional dan pendewasaan dirinya baik, maka tidak akan tergoda untuk menyebarkan informasi yang tidak jelas asal-usulnya. Ia menilai sebenarnya pola-pola penyebaran berita bohong seperti ini sudah terjadi sejak dulu, bedanya sekarang lebih mudah untuk dilakukan dengan adanya media sosial.
Baca Juga: Kuliah Umum Denny JA di Hari Sumpah Pemuda: AI dapat Mewarnai Hoaks di Pilpres 2024
Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria menjelaskan, untuk menyikapi era disrupsi informasi, generasi muda Indonesia harus disiapkan agar mampu hidup di dalamnya. Jangan pula diasumsikan mereka harus menghindari konten-konten negatif, karena dengan begitu mereka menjadi tidak dewasa dalam melakukan filtrasi informasi.
"Setelah anak-anak muda ini kita persiapkan, lalu kita ajak mereka untuk meng-counter isu-isu negatif yang bisa mereka temukan. Ini harus dilakukan melalui banyak platform, bukan hanya di media sosial, tapi juga dengan tatap muka secara langsung, seperti di rumah ibadah dan sekolah," kata Hariqo, Rabu (1/11/2023).
Pakar komunikasi dan media sosial ini menambahkan, tidak mungkin pemuda yang radikal ataupun penyebar berita bohong karena faktor tunggal. Kalau ada siswa yang menyebar berita bohong, bukan hanya siswanya yang salah, tapi apa peranan wali kelas dan kepala sekolahnya, sehingga siswa ini bisa menyebarkan berita bohong. Semuanya harus diusut tuntas.
"Ibarat orang sakit di umur 25 tahun, harus dicek latar belakangnya kan? Waktu balitanya dia bagaimana gizinya, waktu kecil dia makan apa, kok tiba-tiba dia umur 25 tahun sudah rusak ginjalnya?" ujarnya.
Hariqo menerangkan, pelaku seringkali sudah dibentuk dalam satu sistem yang membuat tidak terasah nalarnya. Seolah-olah dia lahir dari lingkungan yang mencetaknya menjadi penyebar berita bohong.
"Kalau ditanya apakah itu penting? Ya sangat penting, bahkan kalau perlu ini jadi salah satu syarat kelulusan di pendidikan formal," katanya.
Menurutnya, berita bohong bukan terkait dengan otak saja, tapi juga menyangkut kecerdasan mental dan kestabilan emosional. Orang yang terlatih secara emosional dan pendewasaan dirinya baik, maka tidak akan tergoda untuk menyebarkan informasi yang tidak jelas asal-usulnya. Ia menilai sebenarnya pola-pola penyebaran berita bohong seperti ini sudah terjadi sejak dulu, bedanya sekarang lebih mudah untuk dilakukan dengan adanya media sosial.
Baca Juga: Kuliah Umum Denny JA di Hari Sumpah Pemuda: AI dapat Mewarnai Hoaks di Pilpres 2024