Mantan Hakim Konstitusi Bicara Bahayanya MK Kehilangan Kepercayaan: Bisa Kacau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan bicara mengenai bahayanya jika Mahkamah Konstitusi ( MK ) kehilangan kepercayaan masyarakat. Dia menilai apa yang terjadi di MK saat ini pascaputusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres merupakan persoalan berat.
Apalagi hal ini menyangkut putusan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. "Sebab kalau MK kehilangan kepercayaan dari masyarakat maka bisa kacau. Kondisi itu akan menciptakan kondisi anarki, di mana masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hukum," kata Maruarar di Konferensi Pers Nepotisme Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar Media Center Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Menurutnya, untuk menemukan permasalahan pelanggaran kode etik sangatlah gampang. Dari sudut putusan MK saja dengan mudah bisa ditemukan bahwa putusan itu tidak beres.
Sebab, kata dia, Ketua MK Anwar Usman adalah pamannya Gibran Rakabuming Raka, nama yang disebut dalam perkara dan kini jadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Menurut Maruarar, dari kasus ini bisa dilihat tinggi rendahnya prinsip imparsial atau tidak berpihak seorang hakim.
Prinsip hakim konstitusi harus independensi, imparsial, itu harus dihayati betul. "Karena itu akar kepercayaan terhadap seorang hakim. Kalau itu sudah dilanggar, maka sudah pasti terjadi pelanggaran kode etik hakim," kata Maruarar.
Maruarar mengingatkan soal ancaman paling berat yang bisa terjadi kalau masyarakat sudah tidak percaya terhadap MK, maka hasil Pemilu 2024 tidak dipercaya. Untuk itu, pertaruhan kepercayaan publik saat ini ada di tangan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie.
"Bayangkan bagaimana bisa menyerahkan sengketa pemilu kepada MK yang tidak dipercaya masyarakat. Jimly Asshiddiqie dikenal sebagai sosok yang menciptakan kode etik yang harus ditaati. Maka apakah itu akan dia terapkan di keputusan MKMK?" pungkasnya.
Apalagi hal ini menyangkut putusan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. "Sebab kalau MK kehilangan kepercayaan dari masyarakat maka bisa kacau. Kondisi itu akan menciptakan kondisi anarki, di mana masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap hukum," kata Maruarar di Konferensi Pers Nepotisme Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar Media Center Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di Rumah Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023).
Menurutnya, untuk menemukan permasalahan pelanggaran kode etik sangatlah gampang. Dari sudut putusan MK saja dengan mudah bisa ditemukan bahwa putusan itu tidak beres.
Sebab, kata dia, Ketua MK Anwar Usman adalah pamannya Gibran Rakabuming Raka, nama yang disebut dalam perkara dan kini jadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Menurut Maruarar, dari kasus ini bisa dilihat tinggi rendahnya prinsip imparsial atau tidak berpihak seorang hakim.
Prinsip hakim konstitusi harus independensi, imparsial, itu harus dihayati betul. "Karena itu akar kepercayaan terhadap seorang hakim. Kalau itu sudah dilanggar, maka sudah pasti terjadi pelanggaran kode etik hakim," kata Maruarar.
Maruarar mengingatkan soal ancaman paling berat yang bisa terjadi kalau masyarakat sudah tidak percaya terhadap MK, maka hasil Pemilu 2024 tidak dipercaya. Untuk itu, pertaruhan kepercayaan publik saat ini ada di tangan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie.
"Bayangkan bagaimana bisa menyerahkan sengketa pemilu kepada MK yang tidak dipercaya masyarakat. Jimly Asshiddiqie dikenal sebagai sosok yang menciptakan kode etik yang harus ditaati. Maka apakah itu akan dia terapkan di keputusan MKMK?" pungkasnya.
(rca)