Rohingya & Kebangsaan Kita

Senin, 11 September 2017 - 07:43 WIB
Rohingya & Kebangsaan Kita
Rohingya & Kebangsaan Kita
A A A
Rofi Munawar
Wakil Ketua Badan Kerjasama Antarparlemen (BKSAP) DPR RI

Etnis Rohingya saat ini tengah menghadapi tekanan luar biasa bukan hanya karena tindakan pengusiran dan kekerasan yang dialami, tetapi bisunya warga dunia yang selama ini kerap vokal terhadap beragam aksi terorisme.

ASEAN sebagai ‘satu keluarga’ berdalih bahwa mereka harus menghormati prinsip non interfence, PBB kehilangan wibawa untuk melakukan investigasi karena selalu diveto China, Uni Eropa entah kemana bisa jadi mereka trauma dengan eksodus pengungsi Syiria, Asia bungkam, terlebih Amerika tak terdengar nyaring­nya mulut Presiden Trump. Seakan kabar pilu itu tak sampai ke ratusan channel TV dan radio yang mereka miliki.

Etnis Rohingya terhempas berbekal dua minoritas, yakni agama dan ras. Ditambah cap "anjing gila" oleh seorang pemuka agama bernama Ashin Wirathu. Wikipedia mendefinisikan Ashin Wirathu adalah seorang biksu Buddha nasionalis Myanmar dan seorang pemimpin spiritual dari gerakan anti Muslim di Myanmar.

Etnis Rohingya hari ini terdesak di perbatasan, tersiksa di penampungan, dan terombang ambing di lautan. Ada yang bilang ini urusan geopolitik dan ekonomi korporasi besar, tapi ada yang menyampaikan bahwa ini bentuk sentimen keagamaan.

Dalam pusaran diskursus itu, pada saat bersamaan junta militer terus me­lancarkan aksinya mengobrak-abrik desa di wilayah Rakhine dengan dalih mencari kelompok separatis Rohingya yang telah membunuh sejumlah tentara dan polisi.
Dalam sebulan terakhir akibat operasi tersebut, tercatat 150 orang tewas dan 3000 orang mengungsi yang sebagian besar anak-anak dan wanita.

Rohingya dan Indonesia, Benang Merah

Lalu, mengapa Indonesia harus peduli? Itu bukan krisis yang ada di Indonesia dan mengancam kedaulatan negara. Di titik inilah kedewasaan se­bagai bangsa diuji dan ke­hormatan kemanusiaan kita dipertaruhkan.

Dalam banyak konflik kemanusiaan yang tidak melibatkan Indonesia secara langsung, selalu saja ada pihak mengambil posisi diametral dan egois individualistik untuk mengompori agar tuna-empati dan mati nurani.

Mereka melihat konflik bagai penikmat akuarium, tapi tidak mau tahu. Sikap model itu seakan ahistoris dan alpa literasi. Mereka juga lupa cara kita bersatu di negeri nan elok bak mutu manikam terkait per­beda­an etnis dan agama adalah "given" dari Tuhan.

Tak bisa dimungkiri secara "de facto" dan "de jure" kita tumbuh pada dua hal yang utama tadi. Dari kedua modal sosial itu, kita memperjuangkan kemer­deka­an, meng­isinya, dan mencapai target yang diinginkan.

Soekarno menyebutnya Jem­bat­an Emas, karena berhasil melewati penderitaan di masa lalu dan meniti cita-cita di masa depan yang telah menghimpun kebangsaan kita.

Dalam sebuah negara secara alamiah penduduknya akan terdiri pada konfigurasi tertentu, baik secara etnis maupun latar belakang agama. Semisal Indonesia, secara faktual terdiri dari beragam etnis dengan jumlah hampir ratusan.

Namun, fakta menunjukkan ada jumlah etnis tertentu yang lebih besar dari etnis lainnya. Demikian juga dengan struktur agama, sebagaimana diketahui bahwa Islam di Indonesia adalah mayoritas mencapai 85% dibandingkan agama lainnya. Penulis yakin ini juga terjadi di Myanmar dan negara lainnya.

Kita harus terbiasa menyelesaikan masalah di ruang terang, menerima apa adanya fakta, dan konflik secara dialogis. Etnis Rohingya adalah Muslim, begitu pun penduduk Indonesia sebagian besarnya.

Atas dasar itu, banyak komponen umat Islam prihatin atas kondisi yang menimpa etnis Rohingya. Karena bagi Muslim, ikatan persaudaraan dimaknai pada konsep tauhid tidak sekadar teritorial.

Bentuk keprihatinan itu diekspresikan dalam beragam bentuk dan rupa yang nyata demonstrasi dan demo narasi di media sosial dalam koridor yang konstitusional. Tak berhenti sampai di situ, dalam sunyi mereka juga serius bekerja melakukan kegiatan kemanusiaan.

Ingin bukti? Silakan cek 11 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang kemarin dipanggil presiden, sebagian besar adalah ormas dan lembaga kemanusiaan berbasis umat Islam.

Karena itu, muncullah inisiatif membangun Rumah Sakit dan Sekolah bagi pengungsi Rohingya. Ucapan penasihat Pemerintah Myanmar, Aung San Suu Kyi, bahwa lembaga kemanusiaan internasional yang membantu etnis Rohingya adalah teroris sejati sungguh melukai dan menegaskan peran Indonesia selama ini.

Terkait etnis, Indonesia tak bisa dimungkiri menjadi negara paling kaya budaya. Akar budaya kita kuat karena satu sama lain saling melengkapi dan mengikat rasa kebangsaan kita.

Memahami dalam perbedaan sehingga tidak ada hambatan berarti. Masyarakat Indonesia sangat prihatin dengan nasib etnis Rohingya karena alasan kemanusiaan yang sangat kental.

Jika pun ada konflik secara etnisitas, kita berusaha keras mengambil solusi dari kearifan yang ada di dalamnya. Secara konsensus kebangsaan dengan

Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pada akhirnya secara global terkait etnis dan agama, Indo­nesia juga telah mencatatkan sejarah menjadi negara yang memelopori Konferensi Asia Afrika (KAA).

Kegiatan itu diinisiasi bukan dalam posisi nyaman karena sesungguhnya kita baru merdeka. Namun dari situlah, kita bisa belajar arti solidaritas dan irisan emosional bahwa kita tak mau terjebak pada blok dan ingin tumbuh menjadi bangsa merdeka tanpa memandang ras, etnis, dan agama.

Solusi Kebangsaan Indonesia

Sikap resmi Pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi, Minggu (3/9), telah resmi disampaikan Kementerian Luar Negeri menyebutkan sebagai formula 4+1. Sikap ini sudah sepantasnya dilakukan sesuai dengan kapasitas sejarah dan representasi masyarakat Indonesia.

Pemerintah harus cermat menangkap kegelisah­an publik dengan langkah-lang­kah diplomatik yang konkret.

Hari-hari ke depan yang perlu dipastikan dari seluruh program kemanusiaan telah dicanangkan oleh pemerintah dan segenap lembaga kemanusiaan adalah se­gera menghentikan aksi kebengisan ini dengan cara paling beradab.

Ada pun kepada para pemuka Agama agar tetap bersikap rendah hati dan sesuai koridor hukum sehingga keruhnya krisis ini tidak berimbas pada konflik horizontal.

Tak bisa dimungkiri karena ucapan oknum "Wirathu", konflik ini terseret sangat dalam isu agama. Hal ini tentu perlu dihentikan atas seluruh inisiatif Pemerintah Myanmar.

Jika mereka tidak mau, perlu dipertimbangkan tindakan diplomatik yang lebih tegas dan sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2806 seconds (0.1#10.140)