Antisipasi Perang Hibrida, Pengamat Militer: Waspadai Fenomena Post Truth

Senin, 23 Oktober 2023 - 16:04 WIB
loading...
Antisipasi Perang Hibrida,...
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati menekankan pentingnya mewaspadai ancaman perang hibrida saat Seminar Akhir Perwira Siswa Pendidikan Reguler Seskoal, Jakarta Selatan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Peperangan di masa depan akan sangat tergantung pada teknologi perang siber dan elektronika. Ancaman perang hibrida ini perlu diantisipasi mengingat serangan terhadap perangkat lunak, cyber warfare, dan aspek psikologis semakin nyata.

Ancaman tersebut terungkap dalam Seminar Akhir Perwira Siswa (Pasis) Pendidikan Reguler (Dikreg) Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Laut (Seskoal) Angkatan ke-61 TA. 2023 di Auditorium Gedung Yos Soedarso, Mako Seskoal, Jakarta Selatan. Senin (23/10/2023).

Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan, pendekatan peperangan Hibdrida berfokus pada mengendalikan dan memengaruhi populasi di dalam suatu negara dibandingkan dengan okupasi secara teritorial. Untuk itu, tema seperti perang sipil, separatisme, pemberontakan, terorisme, dan kelompok gerilyawan menjadi sentral.



Berbeda dengan peperangan konvensional atau tradisional yang berfokus untuk mengalahkan kekuatan militer suatu negara dan mengisolasi masyarakat sipil dari perang, kata Nuning, peperangan hibrida cenderung berfokus untuk memengaruhi populasi suatu negara yang bertujuan mendapatkan atau mengikis dukungan masyarakat terhadap suatu pemerintahan, serta meningkatkan atau membuat tidak relevan penggunaan kekuatan militer.

Sehingga, perang hibrida seringkali digambarkan sebagai population-centric conflict karena yang menjadi target adalah menciptakan konflik dalam populasi suatu negara yang berujung pada instabilitas kemanan nasional suatu negara. ”Fenomena post-truth politik di sosial media yang mengancam demokrasi hingga dapat bereskalasi mengganggu stabilitas kemanan nasional,” ujar Nuning, sapaan akrabnya.



Mantan anggota Komisi I DPR ini menjelaskan, post-truth merupakan sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Kondisi post truth mendapat tempat dalam momentum politik untuk memperkuat sebuah narasi propaganda.

”Dalam hal ini, seobjektif apa pun sebuah informasi, jika tidak memenuhi harapan emosional sebagian golongan publik maka akan disingkirkan (truth decay),” katanya.

Pengamat militer dan intelijen ini menyebut di Indonesia, post-truth politik berkelindan dengan politik identitas, khususnya sentimen agama dan etnis. Hal ini berpotensi bereskalasi sehingga mengancam stabilitas keamanan nasional.

Hadir dalam seminar yang mengangkat tema “Pemanfaatan Teknologi Informasi Guna Menghadapi Ancaman Hibrida Dalam Rangka Mewujudkan Kepentingan Nasional di Laut” antara lain, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali sebagai keynote speaker. Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, Kepala BSSN Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian.

Asintel KSAL Mayjen TNI Mar Suaf Yanu Hardani, Kakordos Seskoal Laksamana Pertama TNI Judijanto, Akademisi Bidang Teknologi Informasi Onno W. Purbo. Selain itu, hadir pula pembicara dari TNI, Pasis Dikreg Seskoal Angkatan ke-61 yaitu Mayor Laut (T) Cahya Kusuma, Kompol Marthinus, dan Letkol Aaron Koh.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)