Pengamat: Putusan MK Langgar Konstitusi, Tak Sesuai Pancasila
loading...
A
A
A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) terkait peraturan usia capres-cawapres dinilai melanggar konstitusi dan UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal tersebut dikatakan pengamat komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing saat diskusi publik Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa” di Jakarta Selatan.
"MK memberikan suatu privilege (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, Sila ke Lima," ujar Emrus, Senin (23/10/2023).
Emrus menambahkan, keputusan MK juga berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat. Hal ini dikarenakan MK terlihat mengesampingkan politik demokrasi. “Pemberian privilege terhadap keputusan teman-teman hakim di MK bisa saja publik mempersepsikan, memahami, memaknai bahwa itu merupakan suatu keputusan yang boleh jadi sarat muatan politis untuk kepentingan politik pragmatis sosok tertentu," paparnya.
"Lihat saja, keputusan MK mendapat kritik dari berbagai kalangan. Sebagai suatu akal-akalan, misalnya. Bahkan sudah muncul diksi di ruang publik Mahkamah Keluarga sebagai singkatan dari MK," tambahnya.
Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Presiden Tama S Langkun menilai, keputusan MK bukanlah kebangkitan bagi anak-anak muda. Namun, justru keleluasaan bagi mereka yang mendapatkan kemudahan karena mendapat jalan menjadi kepala daerah. "Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," urai Langkun.
Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) ini menilai, putusan ini telah merusak norma-norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden dan wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden.
"Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden,” tegas Langkun.
Hal tersebut dikatakan pengamat komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing saat diskusi publik Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa” di Jakarta Selatan.
"MK memberikan suatu privilege (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, Sila ke Lima," ujar Emrus, Senin (23/10/2023).
Emrus menambahkan, keputusan MK juga berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat. Hal ini dikarenakan MK terlihat mengesampingkan politik demokrasi. “Pemberian privilege terhadap keputusan teman-teman hakim di MK bisa saja publik mempersepsikan, memahami, memaknai bahwa itu merupakan suatu keputusan yang boleh jadi sarat muatan politis untuk kepentingan politik pragmatis sosok tertentu," paparnya.
"Lihat saja, keputusan MK mendapat kritik dari berbagai kalangan. Sebagai suatu akal-akalan, misalnya. Bahkan sudah muncul diksi di ruang publik Mahkamah Keluarga sebagai singkatan dari MK," tambahnya.
Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Presiden Tama S Langkun menilai, keputusan MK bukanlah kebangkitan bagi anak-anak muda. Namun, justru keleluasaan bagi mereka yang mendapatkan kemudahan karena mendapat jalan menjadi kepala daerah. "Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu. Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan," urai Langkun.
Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) ini menilai, putusan ini telah merusak norma-norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden dan wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden.
"Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden,” tegas Langkun.
(cip)