Menjadi Santri yang Sadar Politik
loading...
A
A
A
Purnama Dhedy Setyawan
Sekretaris Bidang Keuangan dan Perbankan DPP PKB
DALAM lima tahun terakhir, keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang identik dengan kaum sarungan membuat citra politik santri semakin positif di kancah nasional. Hal ini menegaskan kembali kehadiran politik santri yang pada sejarah Indonesia pernah menorehkan tinta emas. Kehadiran para santri itu pun seirama dengan visi besar PKB tentang demokrasi dan pluralisme.
Namun demikian, hal semacam ini belum sepenuhnya bisa dikatakan mewakili santri (baik yang masih di pesantren maunpun yang sudah alumni) secara keseluruhan. Namun demikian, suka tidak suka, kesadaran politik santri masih dianggap sebelah mata dalam perpolitikan Indonesia.
Tidak hanya itu, sadar atau tidak, pendidikan politik di dalam pesantren dianggap kurang penting. Hal ini bisa dilihat dari kitab-kitab kuning yang dikaji di berbagai pesantren masih jauh dari tema-tema politik. Selama ini literatur pesantren selalu didominasi oleh fikih, ilmu alat dan tasawuf.
Sedang kitab klasik seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah, misal, kurang mendapat perhatian dalam kajian-kajian di pesantren. Bisa dikatakan karya Imam Mawardi tersebut bukan referensi utama dalam pelajaran pesantren dan sepertinya memang kurang begitu dianjurkan.
Lalu pertanyaannya kemudian adalah, kenapa pesantren kurang familiar dengan tema-tema politik. Saya kira hal itu tidak bisa dilepaskan dengan anggapan yang terjadi di masyarakat luas, bahwa politik hanyalah sekadar alat untuk memperebutkan kekuasaan, tidak lebih.
Asumsi secamam itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun politik tidak sekadar memperebutkan kekuasaan, lebih dari itu, politik juga mengenai hal-hal yang sangat prinsipil. Ya, politik menentukan persoalan-persoalan yang paling pribadi pada setiap warga negara ini.
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menyampaikan, bahwa politik adalah sebuah keniscayaan. Ya, semua kehidupan kebangsaan kita ditentukan oleh politik, baik ekonomi; pendidikan; kehidupan keagamaan; hubungan sosial dan lain-lain.
Dengan arti yang sederhana, kehidupan sehari-hari kita tidak bisa dilepaskan dari politik. Karena siapa yang menguasai politik, dialah yang akan mengatur. Pun sebaliknya, siapa yang tidak menguasasi politik, dia akan diatur (dikendalikan).
Dengan demikian, menjadi santri yang melek politik adalah keharusan. Bagaimanapun juga, santri adalah bagian dari “zoon politicon” atau “personal is political”. Ya, setiap manusia adalah politis, tak terkecuali santri. Dengan demikian, setiap santri punya posisi pilitis, kepentingan politis yang sekaligus digunakan untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, santri sama seperti indvidu-invidu lainnya, yakni keberadaannya adalah objek sekaligus subjek politik. Suka tidak suka, mau tidak mau, santri tidak bisa lepas dari hiruk pikuk politik.
Membumikan Politik Santri
Dalam konteks negara demokrasi yang dianut Indonesia, politik menjadi panglima dalam perjalanan bangsa. Dan, dalam hal yang bersamaan pula, keterlibatan santri tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, peran santri dalam pembentukan bangsa ini pun menjadi salah satu aksi politik yang tak bisa dinafikan.
Politik santri memiliki nilai-nilai yang selalu dijunjung tinggi, karena politik santri selalu berpegang pada kaidah fikih tasharruful imam ala al-ra'iyah manutun bi al-maslahah yang berarti kebijakan pemimpin kepada rakyatnya itu harus sesuai dengan kemaslahatan dan kesejahteraan yang ia berikan kepada rakyatnya. Dengan arti sederhana, politik santri adalah cara untuk mencari wasilah (akses) dalam rangka mengatasi masalah (problem) agar menjadi maslahah (manfaat).
Dengan demikian, politik santri adalah politik perjuangan sebagaimana yang ditorehkan oleh para masyayikh untuk republik ini. Secara bersamaan, politik santri adalah politik dengan tujuan mulia; menjaga akidah ahlussunnah wal jamaah, memperkuat jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menebar rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Oleh karenanya, politik santri itu berpegang teguh pada kultur siyasah dalam upaya menjadi jangkar NKRI. Dengan arti yang sederhana, kehadiran santri dalam politik harus menjadi penyeimbang dua kutub kelompok politik yang kerap berseteru dengan mengataskanaman kaum nasionalis dan agamis.
Menjadi peredam dalam dua kutub politik adalah ijtihad politik santri yang disandarkan pada khazanah pengetahuan pesantren dalam membangun bangsa dan negara. Kultur keagamaan, tradisi dan kearifan lokal menjadikan santri dengan mudah memahami bahwa Islam dan Pancasila berada pada satu tarikan nafas. Ya, menjadi santri sejatinya menjadi umat beragama yang nasionalis sekaligus menjadi warga negara yang agamis.
Nah, memasuki zaman yang serba terbuka dan serba cepat ini, kehadiran politik santri sangat penting untuk menjadi penengah dalam mengurai ketegangan-ketegangan yang terjadi, lebih-lebih di tahun politik ini.
Sekretaris Bidang Keuangan dan Perbankan DPP PKB
DALAM lima tahun terakhir, keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang identik dengan kaum sarungan membuat citra politik santri semakin positif di kancah nasional. Hal ini menegaskan kembali kehadiran politik santri yang pada sejarah Indonesia pernah menorehkan tinta emas. Kehadiran para santri itu pun seirama dengan visi besar PKB tentang demokrasi dan pluralisme.
Namun demikian, hal semacam ini belum sepenuhnya bisa dikatakan mewakili santri (baik yang masih di pesantren maunpun yang sudah alumni) secara keseluruhan. Namun demikian, suka tidak suka, kesadaran politik santri masih dianggap sebelah mata dalam perpolitikan Indonesia.
Tidak hanya itu, sadar atau tidak, pendidikan politik di dalam pesantren dianggap kurang penting. Hal ini bisa dilihat dari kitab-kitab kuning yang dikaji di berbagai pesantren masih jauh dari tema-tema politik. Selama ini literatur pesantren selalu didominasi oleh fikih, ilmu alat dan tasawuf.
Sedang kitab klasik seperti al-Ahkam al-Sulthaniyyah, misal, kurang mendapat perhatian dalam kajian-kajian di pesantren. Bisa dikatakan karya Imam Mawardi tersebut bukan referensi utama dalam pelajaran pesantren dan sepertinya memang kurang begitu dianjurkan.
Lalu pertanyaannya kemudian adalah, kenapa pesantren kurang familiar dengan tema-tema politik. Saya kira hal itu tidak bisa dilepaskan dengan anggapan yang terjadi di masyarakat luas, bahwa politik hanyalah sekadar alat untuk memperebutkan kekuasaan, tidak lebih.
Asumsi secamam itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun politik tidak sekadar memperebutkan kekuasaan, lebih dari itu, politik juga mengenai hal-hal yang sangat prinsipil. Ya, politik menentukan persoalan-persoalan yang paling pribadi pada setiap warga negara ini.
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menyampaikan, bahwa politik adalah sebuah keniscayaan. Ya, semua kehidupan kebangsaan kita ditentukan oleh politik, baik ekonomi; pendidikan; kehidupan keagamaan; hubungan sosial dan lain-lain.
Dengan arti yang sederhana, kehidupan sehari-hari kita tidak bisa dilepaskan dari politik. Karena siapa yang menguasai politik, dialah yang akan mengatur. Pun sebaliknya, siapa yang tidak menguasasi politik, dia akan diatur (dikendalikan).
Dengan demikian, menjadi santri yang melek politik adalah keharusan. Bagaimanapun juga, santri adalah bagian dari “zoon politicon” atau “personal is political”. Ya, setiap manusia adalah politis, tak terkecuali santri. Dengan demikian, setiap santri punya posisi pilitis, kepentingan politis yang sekaligus digunakan untuk kepentingan politik. Dalam konteks ini, santri sama seperti indvidu-invidu lainnya, yakni keberadaannya adalah objek sekaligus subjek politik. Suka tidak suka, mau tidak mau, santri tidak bisa lepas dari hiruk pikuk politik.
Membumikan Politik Santri
Dalam konteks negara demokrasi yang dianut Indonesia, politik menjadi panglima dalam perjalanan bangsa. Dan, dalam hal yang bersamaan pula, keterlibatan santri tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, peran santri dalam pembentukan bangsa ini pun menjadi salah satu aksi politik yang tak bisa dinafikan.
Politik santri memiliki nilai-nilai yang selalu dijunjung tinggi, karena politik santri selalu berpegang pada kaidah fikih tasharruful imam ala al-ra'iyah manutun bi al-maslahah yang berarti kebijakan pemimpin kepada rakyatnya itu harus sesuai dengan kemaslahatan dan kesejahteraan yang ia berikan kepada rakyatnya. Dengan arti sederhana, politik santri adalah cara untuk mencari wasilah (akses) dalam rangka mengatasi masalah (problem) agar menjadi maslahah (manfaat).
Dengan demikian, politik santri adalah politik perjuangan sebagaimana yang ditorehkan oleh para masyayikh untuk republik ini. Secara bersamaan, politik santri adalah politik dengan tujuan mulia; menjaga akidah ahlussunnah wal jamaah, memperkuat jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU), menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menebar rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Oleh karenanya, politik santri itu berpegang teguh pada kultur siyasah dalam upaya menjadi jangkar NKRI. Dengan arti yang sederhana, kehadiran santri dalam politik harus menjadi penyeimbang dua kutub kelompok politik yang kerap berseteru dengan mengataskanaman kaum nasionalis dan agamis.
Menjadi peredam dalam dua kutub politik adalah ijtihad politik santri yang disandarkan pada khazanah pengetahuan pesantren dalam membangun bangsa dan negara. Kultur keagamaan, tradisi dan kearifan lokal menjadikan santri dengan mudah memahami bahwa Islam dan Pancasila berada pada satu tarikan nafas. Ya, menjadi santri sejatinya menjadi umat beragama yang nasionalis sekaligus menjadi warga negara yang agamis.
Nah, memasuki zaman yang serba terbuka dan serba cepat ini, kehadiran politik santri sangat penting untuk menjadi penengah dalam mengurai ketegangan-ketegangan yang terjadi, lebih-lebih di tahun politik ini.
(cip)