Pengamat: Pendekatan Interagency Dinilai Tepat untuk Hadapi Ancaman Terorisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meminta jajarannya untuk dapat mewanti-wanti eskalasi serangan yang mungkin meningkat pascaperang yang terjadi antara Palestina dan Israel. Listyo menugaskan jajarannya untuk melakukan langkah preventif dalam penangkapan pelaku teror.
Terkait hal itu, Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan, dalam konteks menghadapi ancaman pertahanan dan keamanan, khususnya terorisme dengan dinamika dan kompleksitas yang terus mengalami perubahan pendekatan Interagency dianggap tepat.
Hal itu untuk mengurangi sekat – sekat dan ego sektoral antarlembaga yang dapat menghambat upaya penanganan ancaman terorisme. "Sebab, pendekatan interagency mengutamakan sinergitas dan keterpaduan, serta berorientasi pada permasalahan dan upaya mengatasi permasalahan tersebut," ujarnya, Rabu (18/10/2023).
Perempuan yang akrab disapa Nuning ini menjelaskan, dalam berbagai karya akademis secara umum seseorang dapat berproses menjadi radikal karena beberapa hal. Pertama, adanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang dihargai oleh orang lain, karena posisinya selama ini tidak mendapat tempat atau alienasi dari masyarakat.
"Ini adalah orang-orang yang kehilangan ‘moral compass’ yang dapat terjadi pada seseorang dengan berbagai macam latar belakang," katanya.
Kedua, adanya narasi-narasi yang membenarkan alienasi pada dirinya, khususnya yang berbasis ideologi agama atau politik untuk menguatkan tindakan kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap mengakibatkan proses alienasi tersebut.
" Ketiga adanya jaringan sosial yang memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya yang secara gradual menguatkan dan membenarkan narasi-narasi tersebut," katanya.
Keempat, adanya enabling environment atau kondisi yang memungkinkan bagi jaringan untuk narasi dan ideologi tersebut berkembang. Enabling Environment tidak harus langsung bersentuhan dengan jaringan, namun memberi sinyal bahwa jaringan ini aman dan eksis.
"Untuk itu, proses deradikalisasi dan disengagement perlu menargetkan keempat unsur di atas. Khususnya menghilangkan enabling environment, membatasi atau menghancurkan jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang yang kehilangan moral compass dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut," kata pengamat militer dan intelijen ini.
Kajian International Peace Institute berjudul Beyond Terrorism: Deradicalization and Disengagement fro Violent Extremism menjelaskan kasus-kasus deradikalisasi dan disengagement yang berhasil di Eropa Utara yakni Extremist Nationalist /Neo Nazi, Kolombia yaitu, Pasukan Revolusioner Kolombia (FARC), dan Timur Tengah meliputi Jamaah Islamiyah/Jihadist Ideology.
Mantan anggota Komisi l DPR ini menyebut, elemen – elemen umum program deradikalisasi dan disengagement dari beberapa kasus yang berhasil yakni, demotivasi. Hal ini mencakup upaya psikologis untuk mendemotivasi motif – motif yang mendasari mereka bergabung kepada kelompok terorisme, baik berupa faktor agama, ekonomi, keluarga, dan hal lainya.
"Kedua, pelibatan keluarga; ini merupakan salah satu faktor kunci, karena keluarga merupakan unit sosial terkecil yang dapat memengaruhi seseorang. Dalam beberapa kasus apabila keluarga sudah dipengaruhi oleh radikalisme maka mereka juga harus masuk dalam proses deradikalisasi dan disengagement," katanya.
Ketiga, dukungan dan insentif finansial. Hal ini mencakup pemberdayaan ekonomi di mana seseorang diberikan insentif dan dukungan finansial dalam jangka waku tertentu ataupun program program peningkatan kapasitas yang membuat mantan terorisme dapat melanjutkan hidupnya di lingkungan masyarakat.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
Terkait hal itu, Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan, dalam konteks menghadapi ancaman pertahanan dan keamanan, khususnya terorisme dengan dinamika dan kompleksitas yang terus mengalami perubahan pendekatan Interagency dianggap tepat.
Hal itu untuk mengurangi sekat – sekat dan ego sektoral antarlembaga yang dapat menghambat upaya penanganan ancaman terorisme. "Sebab, pendekatan interagency mengutamakan sinergitas dan keterpaduan, serta berorientasi pada permasalahan dan upaya mengatasi permasalahan tersebut," ujarnya, Rabu (18/10/2023).
Perempuan yang akrab disapa Nuning ini menjelaskan, dalam berbagai karya akademis secara umum seseorang dapat berproses menjadi radikal karena beberapa hal. Pertama, adanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang dihargai oleh orang lain, karena posisinya selama ini tidak mendapat tempat atau alienasi dari masyarakat.
"Ini adalah orang-orang yang kehilangan ‘moral compass’ yang dapat terjadi pada seseorang dengan berbagai macam latar belakang," katanya.
Kedua, adanya narasi-narasi yang membenarkan alienasi pada dirinya, khususnya yang berbasis ideologi agama atau politik untuk menguatkan tindakan kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap mengakibatkan proses alienasi tersebut.
" Ketiga adanya jaringan sosial yang memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya yang secara gradual menguatkan dan membenarkan narasi-narasi tersebut," katanya.
Keempat, adanya enabling environment atau kondisi yang memungkinkan bagi jaringan untuk narasi dan ideologi tersebut berkembang. Enabling Environment tidak harus langsung bersentuhan dengan jaringan, namun memberi sinyal bahwa jaringan ini aman dan eksis.
"Untuk itu, proses deradikalisasi dan disengagement perlu menargetkan keempat unsur di atas. Khususnya menghilangkan enabling environment, membatasi atau menghancurkan jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang yang kehilangan moral compass dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut," kata pengamat militer dan intelijen ini.
Kajian International Peace Institute berjudul Beyond Terrorism: Deradicalization and Disengagement fro Violent Extremism menjelaskan kasus-kasus deradikalisasi dan disengagement yang berhasil di Eropa Utara yakni Extremist Nationalist /Neo Nazi, Kolombia yaitu, Pasukan Revolusioner Kolombia (FARC), dan Timur Tengah meliputi Jamaah Islamiyah/Jihadist Ideology.
Mantan anggota Komisi l DPR ini menyebut, elemen – elemen umum program deradikalisasi dan disengagement dari beberapa kasus yang berhasil yakni, demotivasi. Hal ini mencakup upaya psikologis untuk mendemotivasi motif – motif yang mendasari mereka bergabung kepada kelompok terorisme, baik berupa faktor agama, ekonomi, keluarga, dan hal lainya.
"Kedua, pelibatan keluarga; ini merupakan salah satu faktor kunci, karena keluarga merupakan unit sosial terkecil yang dapat memengaruhi seseorang. Dalam beberapa kasus apabila keluarga sudah dipengaruhi oleh radikalisme maka mereka juga harus masuk dalam proses deradikalisasi dan disengagement," katanya.
Ketiga, dukungan dan insentif finansial. Hal ini mencakup pemberdayaan ekonomi di mana seseorang diberikan insentif dan dukungan finansial dalam jangka waku tertentu ataupun program program peningkatan kapasitas yang membuat mantan terorisme dapat melanjutkan hidupnya di lingkungan masyarakat.
Lihat Juga: Bongkar Kasus Narkotika, Irjen Pol Winarto: Tindak Lanjut Program Presiden dan Perintah Kapolri
(cip)