Sampaikan Duplik, Lukas Enembe Bantah Miliki Hotel Angkasa di Jayapura
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa Lukas Enembe menyampaikan duplik atau jawaban atas replik yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2023). Dalam dupliknya, mantan Gubernur Papua itu membantah Hotel Angkasa di Jayapura miliknya.
Menurut Lukas Enembe, hotel tersebut adalah milik Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka. "Saya tidak tahu-menahu tentang Hotel Angkasa karena hotel tersebut adalah milik Rijatono Lakka yang ia bangun sendiri," kata Lukas dalam duplik yang dibacakan pengacaranya, Petrus Bala Pattyona di PN Jakarta Pusat.
"Rijatono Lakka menerangkan bahwa tanah untuk pembangunan hotel dibeli sendiri dari Ibu Hendrika Josnia SD Hindom-anak dari Gubenur Papua-Isack Hindom," sambungnya.
Lukas menyebut Rijatono membeli tanah untuk membangun hotel seharga Rp6,5 miliar. Akta jual belinya disebut telah diterbitkan notaris yang ditunjuk.
Dia menyebut dokumen pembelian tanah dan pembangunan menguatkan bukti Hotel Angkasa merupakan miliknya.
"Setelah penandatanganan akta jual beli tersebut, selanjutnya balik nama sertifikat ke nama Rijatono Lakka dan selanjutnya mengurus izin mendirikan bangunan, semuanya atas nama Rijatono Lakka karena hotel tersebut adalah milik Rijatono Lakka termasuk akta-akta Badan Hukum yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Sebelumnya, Lukas Enembe dituntut 10 tahun dan 6 bulan penjara oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. Lukas juga dituntut untuk membayar denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Jaksa Wawan Yunarwanto menyatakan Lukas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Lukas diyakini telah menerima suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Papua.
"Menyatakan terdakwa Lukas Enembe telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Wawan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2023).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan 6 bulan serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan," sambungnya.
Jaksa juga menuntut agar Lukas Enembe dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Lukas dituntut agar membayar uang pengganti sebesar Rp47.833.485.350 (Rp47,8 miliar).
"Jika dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut," imbuhnya.
Untuk diketahui, Lukas didakwa telah menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp46,8 miliar. Dengan rincian, ia menerima suap sebesar Rp45.843.485.350 (Rp45,8 miliar) dan gratifikasi sebesar Rp1 miliar. Suap dan gratifikasi itu berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa di Papua.
Lukas didakwa oleh tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap bersama-sama dengan Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum Papua 2013-2017, Mikael Kambuaya dan Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) 2018-2021, Gerius One Yoman.
Adapun, uang suap itu berasal dari Direktur sekaligus Pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-lingge, Piton Enumbi sejumlah Rp10.413.929.500 (Rp10,4 miliar). Kemudian, sebesar Rp35.429.555.850 (Rp35,4 miliar) berasal dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Direktur PT Tabi Bangun Papua sekaligus pemilik manfaat CV Walibhu, Rijatono Lakka.
Suap tersebut bertujuan agar Lukas Enembe, Mikael Kambuaya, dan Gerius One Yoman mengupayakan perusahaan-perusahaan milik Piton dan Rijatono dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.
Selain itu, Lukas juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp1 miliar dari Direktur PT Indo Papua, Budy Sultan melalui perantaraan Imelda Sun. Gratifikasi tersebut dapat dikatakan suap karena diduga berkaitan dengan proyek di Papua.
Uang sebesar Rp1 miliar tersebut, dianggap KPK sebagai bentuk gratifikasi yang bertentangan dengan jabatan Lukas selaku Gubernur Papua. Lukas juga tidak melaporkan penerimaan uang sebesar Rp1 miliar tersebut ke lembaga antirasuah dalam kurun waktu 30 hari.
Menurut Lukas Enembe, hotel tersebut adalah milik Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Rijatono Lakka. "Saya tidak tahu-menahu tentang Hotel Angkasa karena hotel tersebut adalah milik Rijatono Lakka yang ia bangun sendiri," kata Lukas dalam duplik yang dibacakan pengacaranya, Petrus Bala Pattyona di PN Jakarta Pusat.
"Rijatono Lakka menerangkan bahwa tanah untuk pembangunan hotel dibeli sendiri dari Ibu Hendrika Josnia SD Hindom-anak dari Gubenur Papua-Isack Hindom," sambungnya.
Lukas menyebut Rijatono membeli tanah untuk membangun hotel seharga Rp6,5 miliar. Akta jual belinya disebut telah diterbitkan notaris yang ditunjuk.
Dia menyebut dokumen pembelian tanah dan pembangunan menguatkan bukti Hotel Angkasa merupakan miliknya.
"Setelah penandatanganan akta jual beli tersebut, selanjutnya balik nama sertifikat ke nama Rijatono Lakka dan selanjutnya mengurus izin mendirikan bangunan, semuanya atas nama Rijatono Lakka karena hotel tersebut adalah milik Rijatono Lakka termasuk akta-akta Badan Hukum yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Sebelumnya, Lukas Enembe dituntut 10 tahun dan 6 bulan penjara oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. Lukas juga dituntut untuk membayar denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Jaksa Wawan Yunarwanto menyatakan Lukas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Lukas diyakini telah menerima suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Papua.
"Menyatakan terdakwa Lukas Enembe telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Wawan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/9/2023).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan 6 bulan serta pidana denda sejumlah Rp1 miliar subsider pidana kurungan 6 bulan," sambungnya.
Jaksa juga menuntut agar Lukas Enembe dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Lukas dituntut agar membayar uang pengganti sebesar Rp47.833.485.350 (Rp47,8 miliar).
"Jika dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut," imbuhnya.
Untuk diketahui, Lukas didakwa telah menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp46,8 miliar. Dengan rincian, ia menerima suap sebesar Rp45.843.485.350 (Rp45,8 miliar) dan gratifikasi sebesar Rp1 miliar. Suap dan gratifikasi itu berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa di Papua.
Lukas didakwa oleh tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap bersama-sama dengan Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum Papua 2013-2017, Mikael Kambuaya dan Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) 2018-2021, Gerius One Yoman.
Adapun, uang suap itu berasal dari Direktur sekaligus Pemilik PT Melonesia Mulia, PT Lingge-lingge, Piton Enumbi sejumlah Rp10.413.929.500 (Rp10,4 miliar). Kemudian, sebesar Rp35.429.555.850 (Rp35,4 miliar) berasal dari Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo, Direktur PT Tabi Bangun Papua sekaligus pemilik manfaat CV Walibhu, Rijatono Lakka.
Suap tersebut bertujuan agar Lukas Enembe, Mikael Kambuaya, dan Gerius One Yoman mengupayakan perusahaan-perusahaan milik Piton dan Rijatono dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Tahun Anggaran 2013-2022.
Selain itu, Lukas juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp1 miliar dari Direktur PT Indo Papua, Budy Sultan melalui perantaraan Imelda Sun. Gratifikasi tersebut dapat dikatakan suap karena diduga berkaitan dengan proyek di Papua.
Uang sebesar Rp1 miliar tersebut, dianggap KPK sebagai bentuk gratifikasi yang bertentangan dengan jabatan Lukas selaku Gubernur Papua. Lukas juga tidak melaporkan penerimaan uang sebesar Rp1 miliar tersebut ke lembaga antirasuah dalam kurun waktu 30 hari.
(abd)