Kebebasan Berpendapat di Dalam UUD 45
loading...

Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
STUDI yang bersifat rasional dalam hukum adalah sejarah, menurut Oliver Wendell Holmes, dalam karya terkenal pada zamannya sebelum PD II, The Path of the Law. Karena sejarah itulah yang dapat membuka seterang-terangnya keadaan sebenarnya dari suatu (perkembangan hukum). Oleh karena itu, jangan selalu melupakan sejarah pembentukan hukum (undang-undang/UU).
Pola pemikiran bersejarah ini dikenal dalam doktrin hukum, penafsiran teleologis. Selain penafsiran tersebut juga untuk jelasnya suatu ketentuan UU diperlukan penafsiran sistematis, sosiologis, yuridis, dan komparatif. Kelima jenis penafsiran hukum tersebut sering dilupakan dalam praktik karena aparatur hukum sering terpaku pada fakta dan penafsiran sistematis-logis saja.
Begitu pula di dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan Bab XA UUD45 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pembentuk UUD45 Perubahan Kedua yang disahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 19 Oktober 1999. Di dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Per-UU-an telah dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Dengan demikian, setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia wajib dan sudah dengan sendirinya mengetahui dan memahami segala hal ikhwal tentang ketentuan yang tercantum di dalam UUD45, Konstitusi RI sebagai Negara Kesatuan dan tidak ada alasan kekecualian penafsiran lain selain yang tertulis di dalamnya (lex scripta dan lex stricta).
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
STUDI yang bersifat rasional dalam hukum adalah sejarah, menurut Oliver Wendell Holmes, dalam karya terkenal pada zamannya sebelum PD II, The Path of the Law. Karena sejarah itulah yang dapat membuka seterang-terangnya keadaan sebenarnya dari suatu (perkembangan hukum). Oleh karena itu, jangan selalu melupakan sejarah pembentukan hukum (undang-undang/UU).
Pola pemikiran bersejarah ini dikenal dalam doktrin hukum, penafsiran teleologis. Selain penafsiran tersebut juga untuk jelasnya suatu ketentuan UU diperlukan penafsiran sistematis, sosiologis, yuridis, dan komparatif. Kelima jenis penafsiran hukum tersebut sering dilupakan dalam praktik karena aparatur hukum sering terpaku pada fakta dan penafsiran sistematis-logis saja.
Begitu pula di dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan Bab XA UUD45 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pembentuk UUD45 Perubahan Kedua yang disahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 19 Oktober 1999. Di dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Per-UU-an telah dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Dengan demikian, setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia wajib dan sudah dengan sendirinya mengetahui dan memahami segala hal ikhwal tentang ketentuan yang tercantum di dalam UUD45, Konstitusi RI sebagai Negara Kesatuan dan tidak ada alasan kekecualian penafsiran lain selain yang tertulis di dalamnya (lex scripta dan lex stricta).
Lihat Juga :