Galau dan Apresiasi
loading...
A
A
A
“Kegiatan membacakan dongeng adalah satu media komunikasi yang ampuh ketika mentransfer ide kepada anak dengan kemasan menawan.” (halaman 67)
Kita tahu bahwa mendongeng punya manfaat besar, meskipun (menurut penulis) kita harus mulai memodifikasi tokoh kancil agar terlepas dari karakter cerdas-namun-licik. Paparannya cukup jelas dan gamblang disampaikan. Namun, justru pembahasan soal dongeng ini menyentil benak saya. Apa pasal? Ya, sebab penulis membuat satu tema itu menjadi tiga judul tulisan.
Suatu hari, Bandung Mawardi (Kabut) pernah memberi tahu saya bahwa satu buku bisa dibuatkan dua atau tiga buah ulasan. Ambil inti temanya, dalami, lalu tulis. Akan tetapi, kenapa, sih, sampai perlu menulis lebih dari satu ulasan? Kenapa tidak dijadikan satu saja sekalian? Alasan utamanya adalah ruang.
Tiap rubrik jelas punya jatah ruang masing-masing, termasuk ulasan. Media daring mungkin punya ruang yang lebih, tetapi tetap saja ada batasnya. Ini untuk mencegah kebosanan pembaca. Tidak semua pembaca betah sampai akhir demi mendapat manfaat bacaan. Seringnya mereka hanya butuh inti dari sebuah tulisan untuk mereka olah sendiri.
Bagi para pengulas sendiri, membuat beberapa tulisan merupakan media latihan yang efektif. Setidaknya, kita akan terbiasa berpikir cepat dan praktis dalam memetakan gagasan. Tentu akan sangat menghemat waktu dan tenaga, mengingat para pengulas biasanya punya antrean panjang judul buku yang harus mereka baca.
Buku ini mungil, dengan jumlah halaman tidak sampai dua ratus, tetapi memuat banyak bahan renungan. Apresiasi yang membawa pembaca menikmati geliat galau sastra. Jadi, sudahkah Anda galau hari ini?
Judul buku : Jenama dan Jemawa (Selilit Esai dan Kritik Sastra)
Penulis : Anton Suparyanta
Penerbit : Beranda
Cetak : Pertama, Maret 2023
Kita tahu bahwa mendongeng punya manfaat besar, meskipun (menurut penulis) kita harus mulai memodifikasi tokoh kancil agar terlepas dari karakter cerdas-namun-licik. Paparannya cukup jelas dan gamblang disampaikan. Namun, justru pembahasan soal dongeng ini menyentil benak saya. Apa pasal? Ya, sebab penulis membuat satu tema itu menjadi tiga judul tulisan.
Suatu hari, Bandung Mawardi (Kabut) pernah memberi tahu saya bahwa satu buku bisa dibuatkan dua atau tiga buah ulasan. Ambil inti temanya, dalami, lalu tulis. Akan tetapi, kenapa, sih, sampai perlu menulis lebih dari satu ulasan? Kenapa tidak dijadikan satu saja sekalian? Alasan utamanya adalah ruang.
Tiap rubrik jelas punya jatah ruang masing-masing, termasuk ulasan. Media daring mungkin punya ruang yang lebih, tetapi tetap saja ada batasnya. Ini untuk mencegah kebosanan pembaca. Tidak semua pembaca betah sampai akhir demi mendapat manfaat bacaan. Seringnya mereka hanya butuh inti dari sebuah tulisan untuk mereka olah sendiri.
Bagi para pengulas sendiri, membuat beberapa tulisan merupakan media latihan yang efektif. Setidaknya, kita akan terbiasa berpikir cepat dan praktis dalam memetakan gagasan. Tentu akan sangat menghemat waktu dan tenaga, mengingat para pengulas biasanya punya antrean panjang judul buku yang harus mereka baca.
Buku ini mungil, dengan jumlah halaman tidak sampai dua ratus, tetapi memuat banyak bahan renungan. Apresiasi yang membawa pembaca menikmati geliat galau sastra. Jadi, sudahkah Anda galau hari ini?
Judul buku : Jenama dan Jemawa (Selilit Esai dan Kritik Sastra)
Penulis : Anton Suparyanta
Penerbit : Beranda
Cetak : Pertama, Maret 2023