Galau dan Apresiasi

Minggu, 17 September 2023 - 21:00 WIB
loading...
A A A
Saya sendiri tidak suka―dan tidak peduli―dengan pengelompokan semacam itu. Mengapa tidak membiarkan saja sebuah karya berdiri sendiri tanpa perlu memasukkannya ke dalam kelas-kelas tertentu? Bahkan, tidak ada karya yang baik atau buruk. Segala label itu bergantung di tangan siapa ia berada.

Buku-buku Pram mungkin tidak ada artinya bagi seorang pemilik perusahaan besar yang memang tidak tertarik kepada aksara. Tetapi, mungkin, buku-buku Pram ibarat harta karun bagi seorang anak SMP yang sehari-hari nongkrong di perpustakaan sekolah alih-alih kantin, memilih memberi makan jiwanya alih-alih tubuhnya. Intinya adalah perspektif.

Lantas, bagaimana caranya kita menyamakan perspektif―tentunya untuk sudut yang baik? Ini adalah PR bersama yang masih dalam pengerjaan sampai sekarang. Dan, Anton Suparyanta turut andil melalui buku ini. Ada poin dalam buku ini yang agaknya disiapkan penulis untuk menampar (kesadaran) pembacanya.

Lewat kata-kata yang (menurut saya) agak puitis, Anton Suparyanta menjelaskan bahwa permasalahan aksara di sini bukan sekadar acara mengumpulkan penulis-penulis baru, tetapi bagaimana makna iqra’ benar-benar merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain: Ayo bicara kualitas alih-alih kuantitas, ayo perbaiki isi ketimbang mempercantik kulit belaka. “Ide cerita tidak sepenuhnya didukung teknik penceritaan.” (halaman 38) “Gaya cerita seperti tukang lapor.” (halaman 39)

Dua kutipan yang luar biasa. Terang, jelas, mengguncang. Tidak ada jaminan bahwa gelar tinggi atau kecakapan bicara bahasa asing akan membuat karyamu enak dibaca. Di bagian ini, penulis semacam mengingatkan bahwa fiksi amat bergantung kepada konflik, bukan semata kumpulan situasi tak ideal yang dialami para tokohnya.

Yang namanya konflik, tentu saja merupakan benturan dua kubu dengan berbagai kepentingan. Sementara itu, ternyata tidak sedikit karya fiksi yang tak ubahnya catatan harian yang divermak. Populer dan laris belum tentu berkualitas baik. Begitu pula sebaliknya, yang berkualitas (atau bolehlah kita sebut sastra kelas berat) belum tentu diramalkan sulit laris.

Saya sendiri masih percaya bahwa karya-karya awal seorang penulis menjadi patokan karya-karya berikutnya dalam lingkup kualitas. Sebut saja nama Leila S Chudori dan Ayu Utami. Peminatnya membeludak. Yang saya paham, walaupun Laut Bercerita hanya dijadikan film pendek, ternyata ketenarannya cukup panjang.

Sejauh ini, bagi saya, gado-gado adalah menu makanan yang cukup komplit. Ada karbohidrat, sayur, dan protein. Begitu pula dengan buku ini. Penulis tidak hanya berani memberi kritik, tetapi juga menebar pujian terhadap detail yang menurutnya genial. “Saya menilai, buku ini cakap cerita.” (halaman 62). Pujian itu muncul ketika penulis mengulas buku (novel memoar) Fiersa Besari yang berjudul Arah Langkah.

Dan, bicara soal diksi genial, saya yakin, pembaca akan mengalami upgrading alias kenaikan level perkara perbendaharaan kata. Iya, Anton Suparyanta tampaknya hobi memakai lema-lema tak umum. Membuat saya sendiri berkali-kali membuka kamus demi memahami maknanya. Akan tetapi, bukankah buku bagus akan membuat pembacanya lebih cerdas? Tak hanya paham detail-detail ulasan sekian karya, tetapi juga menambah koleksi kosakata.

Banyak Sudut untuk Memandang
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1510 seconds (0.1#10.140)