Terhalang Restu Masuk TNI, Panglima dari Bandung Selatan Ini Minta Bantuan Kiai Luluhkan Hati Ibunya

Sabtu, 16 September 2023 - 06:18 WIB
loading...
Terhalang Restu Masuk...
Mantan Panglima Kogabwilhan III Letjen TNI (Purn) Agus Rohman diapit Sang Ayah, Ahmad Mustifa dan Ibunda Siti Rohmah Latifah berfoto bersama usai menghadiri pelantikan taruna Akabri tahun 1985. Foto/Dok Pribadi
A A A
JAKARTA - Mantan Panglima Kogabwilhan III Letjen TNI (Purn) Agus Rohman pernah hampir pupus harapannya untuk menjadi prajurit TNI. Pasalnya, hasratnya yang besar untuk masuk Akademi Militer (Akmil) terhalang restu ibunda.

Bukan tanpa alasan Ibunda Agus Rohman, Siti Rohman Latifah tak memberikan ridanya. Siti trauma karena dua saudara kandungnya meninggal dunia ketika menjadi prajurit TNI.



Dikutip dari buku biografinya berjudul "Panglima dari Bandung Selatan, 88 Praktik Kepemimpinan Ala Mayjen TNI H Agus Rohman, S.I.P., M.I.P", Sabtu (16/9/2023), salah satu adik kandung Ibu Agus Rohman, Juhya bertugas menjadi Polisi Militer di Bogor. Pada hari itu ia tengah mengawal gaji.

Di perjalanan, mobil yang ditumpangi Juhya masuk ke jurang. Penumpang lainnya hanya mengalami luka-luka, sedangkan Juhya meninggal dalam kecelakaan itu. Padahal, tidak lama lagi Juhya akan menikahi kekasihnya.

Sementara itu, kakak kandung Siti Rohmah Latifah, Adung, gugur saat latihan. Saat itu, para prajurit harus merayap di kubangan lumpur. Beberapa pelatih menghujani para tentara yang tengah merayap itu dengan peluru sungguhan (tembakan dopper).

Tujuannya agar para prajurit memiliki mental yang kuat kelak di medan pertempuran. Namun, sayang, salah satu peluru menyasar ke tubuh Adung. Ia pun gugur dalam latihan.

Kematian dua saudara kandungnya itu amat membekas dalam ingatan Siti Rohmah Latifah. Ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada anaknya, Agus.

Setiap Agus muda menyatakan bahwa ingin menjadi tentara, Siti Rohmah Latifah melarang. Pada kenyataannya, ia tetap membiarkan anaknya ikut seleksi calon Taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) meski hatinya tak mengizinkan.

Magelang, tahun 1982. Agus muda tengah menghadapi seleksi akhir untuk masuk Akabri. Ketika itu, ia tengah menjalani sesi wawancara. Jika ia lolos tahap ini, ia akan menjadi tentara seperti yang ia inginkan sejak SMA.

Namun, di hatinya masih ada keraguan. Sampai detik itu ibunya belum merestui. la ingat, saat ia berangkat ke Magelang, Ibu hanya mengurung diri di kamar. Tidur atau pura-pura tidur, Agus sendiri tidak tahu. Hal yang jelas, Agus muda tahu bahwa ibunya tidak ingin anaknya menjadi tentara.

Namun, saat itu, Agus muda bersikeras mengikuti seleksi meski ada kebimbangan dalam hatinya. Saat menjalani seleksi di Magelang, ia selalu ingat Ené, panggilan kepada ibu.

Hatinya terus memanggil-manggil ibunya. Bahkan, di dalam hatinya terbersit keinginan untuk pulang. Menggagalkan diri dari seleksi calon taruna Akabri.

Pada malam sebelum tahap seleksi wawancara untuk memilih matra Darat, Laut, Udara, atau Polri, Agus muda menemui pengasuhnya, Peltu Mulyono. Dia adalah komandan peleton calon taruna.

Pada malam itu Agus muda berbicara mengenai keinginannya. "Pak, saya mau pulang," ujar Agus.

"Ada masalah apa, Rohman? Orang lain ingin masuk tentara, tapi kamu malah mau pulang," tanya Peltu Mulyono.

"Tidak tahu. Tapi saya terus kepikiran ibu. Ibu seolah memanggil saya terus," jawabnya.

"Ya sudah, besok kamu ikut tes yang terakhir. Besok hanya tes penjurusan. Kamu masuk TNI Angkatan Darat, Laut, Udara, atau Polisi. Sebetulnya kamu sudah dianggap berhasil," tutur Peltu Mulyono.

Keesokan harinya, Agus muda menjalani tes. Pada tes tersebut, ia mencari celah agar ia tidak terpilih menjadi taruna Akabri. Namun, ia tampaknya kesulitan untuk mencari celah itu.

Akhirnya, wawancara pun usai. Agus muda merasa bahwa ia masih berpeluang lolos menjadi taruna Akabri. Tentu saja, itu tidak sesuai dengan keinginannya. Ia hanya ingin pulang dan bertemu Ibu.

Agus lalu mengumpulkan peserta lain yang belum melaksanakan tes wawancara. Ia memberi tahu hal-hal yang ditanyakan saat wawancara. Tentu saja, itu adalah pelanggaran. Seharusnya, ia masuk ke ruangan lain dan tidak bergabung dengan peserta yang belum melaksanakan tes.

"Hai, catar! Tadi kan kamu sudah saya beri tahu, kalau sudah tes, kamu pergi ke ruang tunggu! Jangan beri tahu yang belum!" seru seorang perwira yang tadi mewawancara Agus muda.

"Tidak apa-apa, Dan. Biar mereka lulus," kata Agus muda. Perwira itu pun kesal dan menghardik Agus muda.

"Mana nomor catar kamu?" Tanyanya dengan nada tinggi. Agus muda pun menyerahkan nomor catarnya. Perwira itu pun mencatat nomor itu: 1514.

Ya, rupanya pelanggaran itu sengaja Agus muda lakukan agar dirinya dicoret dari daftar peserta yang lolos seleksi. Setelah itu, Agus muda merasa tenang. Ia merasa yakin bahwa ia akan dipulangkan.

Benar saja, Agus benar-benar dipulangkan saat pengumuman keesokan harinya. Saat pulang ke Bandung dari Magelang, ada perasaan lega dalam hatinya.

Dengan begitu, ia dapat bertemu dengan Ibu yang ia rindukan selama berada di Magelang. Tidak seperti peserta seleksi lainnya yang kecewa karena tak lolos seleksi, Agus muda pulang dengan perasaan senang.

Sesampainya di rumah, Agus muda pun mengetuk pintu. Kakaknya membukanya dari dalam yang langsung mengarahkan Agus ke kamar sang ibu. Akhirnya, Agus bisa kembali melihat ibu. Namun, ternyata ibu sakit sebulan lamanya, sejak kepergian Agus ke Magelang.

"Ibu tidak mau makan, Jang (panggilan kepada Agus)," ucap sang Kakak kepada Agus.

"Sudah dibawa ke dokter di Rumah Sakit Imanuel. Katanya bukan sakit karena penyakit, tapi sakit karena pikiran. Ibu tidur terus, Jang," kata sang kakak lainnya.

"Agus pulang," kata Agus kepada ibu.

Saat itu pula sang ibu pun membuka matanya. Ia lihat anaknya telah kembali. Sejak saat itu, kesehatan sang ibu berangsur membaik.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, sepucuk surat sampai ke rumahnya. Surat itu dikirim Gubernur Akabri dari Magelang. Surat itu berisi ajakan untuk mengikuti lagi seleksi Akabri di tahun depan.

Karena tidak lolos seleksi calon taruna Akabri, Agus berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Nusantara. Ia merasa bahwa kuliahnya hanyalah untuk mengisi waktu luang. Ia tidak menjiwai kuliahnya. Hari-hari kuliah ia lewatkan begitu saja. Ia sadar bahwa tempatnya bukanlah di ruang kuliah. Ia hanya ingin menjadi tentara.

Kerap kali ibu menitahnya untuk bekerja, "Cepat kerja atuh, Jang."

Namun, setiap Agus muda menyampaikan bahwa dirinya ingin menjadi tentara, Siti Rohmah Latifah selalu teringat kematian saudara kandungnya. Itulah hal yang membuat dirinya tidak merestui keinginan anaknya. Meski ibunya tetap tidak rida, Agus tetap kukuh dengan pendiriannya. Tentara bukan lagi menjadi cita-cita, melainkan panggilan.

Cibaduyut tahun 1983. Pagi itu, Agus terbangun dari tidurnya setelah ibu membangunkannya. Ia terkejut ketika melihat jam. Seharusnya, ia sudah siap berangkat menuju tempat seleksi di Kodam III Siliwangi.

Agus sadar bahwa ia akan terlambat. Buru-buru ia mempersiapkan dirinya. Hari itu adalah hari seleksi tahap awal. Ia tidak ingin gagal di tahun ini walaupun rida sang ibu tidak kunjung ia dapatkan. Jika ia gagal, ia harus kembali lagi ke bangku kuliah dan menjalani kuliah yang tidak dijiwainya.

Siti Rohmah Latifah menyuruh Agus muda untuk minum susu. Namun, Agus muda menolak susu itu karena ia takut terlambat. Yang ada dalam pikirannya ialah bahwa ia harus lulus tahun ini.



Sesampainya di tempat seleksi, Agus muda menjalani tes. Namun, tampaknya, saat itu Agus muda menyepelekan tes itu. Ia berpikir bahwa masuk Akabri itu mudah, berbekal pengalamannya pada tahun sebelumnya. Ia pun tidak mempersiapkan diri untuk menjalani tes.

Pada tahun itu, Agus pun gagal lolos. Bahkan ia telah gagal di seleksi awal. Ya, ia harus kembali menjalani hari-hari sebagai mahasiswa.

Tak berputus asa, setahun kemudian pada 1984, Agus untuk ketiga kalinya mengikuti seleksi calon taruna Akabri. Namun, sang ibu belum juga meridai. Siti Rohmah Latifah tetap pada keputusan bahwa anaknya tidak boleh menjadi tentara.

Kemudian, secara diam-diam, Agus muda mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi. Berbekal pengalamannya, ia telah mengetahui syarat-syarat untuk mengikuti seleksi.

Salah satu persyaratan seleksi calon taruna Akabri adalah surat izin dari orangtua. Surat itulah yang menjadi ganjalan karena ia tahu bahwa ia tidak akan diizinkan oleh orang tuanya.

"Pak, ini tanda tangan di sini," pinta Agus muda kepada ayahnya. Agus muda menyodorkan kertas kosong. Ia meminta ayahnya untuk menandatangani kertas kosong itu.

"Untuk apa ini?" tanya ayahnya.

"Untuk kuliah."

Agus muda pun mendapatkan tanda tangan dari ayahnya pada posisi yang telah ia tentukan. Kemudian, ia ketik surat izin itu dengan tanda tangan yang telah tergores di kertas itu. Ia pun mendaftarkan diri ke Kodam III Siliwangi.

Pada saat seleksi, karena telah mempersiapkannya dengan matang, Agus muda melalui seleksi dengan mudah. Sehari-hari, hal yang ia lakukan hanyalah latihan dan berdoa. Ia tidak pernah lepas dari sajadah.

Tak satu pun waktu yang ia sia-siakan. Bahkan, ia menyempatkan diri untuk berkonsultasi ke dokter mengenai kesehatannya. Ia pun menjalankan amalan-amalan yang diberikan oleh gurunya, KH Hasan Basri.

Selama menjadi mahasiswa, Agus muda kerap belajar agama dan berkonsultasi dengan Kiai Hasan Basri di pesantren di Cigondewah. Kiai Hasan Basri memang memiliki hubungan yang erat sejak lama dengan keluarga Ahmad Mustofa, ayahanda Agus Rohman.

Agus muda kerap menceritakan keinginannya untuk menjadi tentara. Kiai Hasan Basri memahami betul keinginan Agus muda. Ia melihat bahwa jalan Agus ada pada ranah militer. Ia yakin bahwa Agus dapat sukses di dunia militer. Bangku perkuliahan bukanlah dunianya, bukanlah jalan bagi Agus untuk meraih sukses.

Saat akan berangkat ke Magelang untuk menjalani tes tahap akhir, Agus bingung karena ia belum mendapat restu dari ibunya. Hal itu ia sampaikan kepada gurunya Kiai Hasan Basri.

Akhirnya, Kiai Hasan Basri menyuruh Agus muda untuk memanggil Ibunya. Kiai pun berbicara dengan Siti Rohmah Latifah mengenai keinginan Agus muda untuk menjadi tentara.

"Agus teh memang jalannya di tentara. Itu sudah jadi takdirnya. Bu Haji mah doain saja sekarang mah, biar saya yang awasi. Hidup mati mah di tangan Allah," kata Kiai Hasan Basri.

Kiai Hasan Basri menunjukkan bukti-bukti bahwa Agus muda akan sukses berkarier di tentara. Akhirnya, pikiran Siti Rohmah Latifah pun berubah. Meski saat keberangkatan ke seleksi calon taruna ia tidak mengantarkan anaknya ke tempat seleksi, ia tetap meridai anaknya menjadi tentara. Benar saja, rida ibu telah menjadi kunci.

Tak main-main, Agus Rohman menduduki jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) III di puncak karier militernya. Lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1988 ini juga pernah tercatat menjadi Ajudan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).



Selain itu, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat 15 Agustus 1963 ini juga pernah menduduki sejumlah jabatan penting seperti Danrem 061/Surya Kencana, Kasdivif 1/Kostrad, Kadisjasad, Pangdivif 1/Kostrad, dan Pangdam XVI/Pattimura.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2022 seconds (0.1#10.140)