Transfer Teknologi bagi Kemandirian Pertahanan
loading...
A
A
A
Sebagai konsumen alutsista terbesar Prancis, Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat dalam memastikan transfer teknologinya. Jika pembeliannya dari pihak ke-3, maka penjual harus bekerjasama dengan produsen asal untuk mentransfer teknologinya. Seandainya produsen keberatan, Indonesia perlu mengalihkan pembeliannya ke produsen lain yang bersedia melakukan transfer teknologi.
Jika tak ada produsen yang bersedia, reverse engineering terhadap produk alutsista impor dapat dilakukan sebagaimana dilakukan sejumlah negara seperti, China, India, Turki, maupun Korea Selatan. Bahkan, baru-baru ini India membeli pesawat tempur Mirage bekas dari Prancis hanya untuk mempreteli suku cadangnya guna memperbaiki pesawat yang sudah ada.
Meskipun melanggar Hak Paten, sejumlah negara melakukan langkah tersebut demi kepentingan nasional mereka. Caranya, membeli beberapa perangkat alutsista asli dari negara produsen, lalu mempelajari prinsip teknologinya melalui pemisahan perangkat mesin alutsista, dan menganalisis cara kerjanya. Atau, jika informasi pembuatan produk asli tidak tersedia karena memang dirahasiakan oleh produsennya, hilang, atau rusak, bisa dengan menciptakan perangkat alutsista baru yang memiliki cara kerja serupa.
Membangun kemandirian pertahanan ini penting untuk mengurangi ketergantungan. Indonesia harus berani dan tegas menuntut transfer teknologi sejak awal. Jika tidak, impor alutsista secara massif hanya semakin meningkatkan ketergantungan terhadap negara maju dan merugikan kepentingan nasional.
Devisa negara akan tersedot untuk pembelian alutsista. Jika sumber pendanaannya dari hutang luar negeri, Indonesia dapat terjebak pada “lingkaran setan jeratan utang” yang rentan krisis. Kebijakan dan kepentingan nasionalnya juga mudah diintervensi negara debitur dan produsen. Indonesia selamanya hanya akan menjadi periphery importir terbesar alutsista. Kalaupun dilirik, sebatas sebagai target pasar produk negara maju.
NKRI harga mati. Peningkatan kekuatan pertahanan merupakan suatu keharusan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian Pertahanan dalam melakukan pembelian alutsista secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan tiga matra pertahanan negara.
Untuk itu, pemenuhan kekuatan alutsista konvensional perlu diiringi peningkatan kemampuan cyber warfare dan pengembangan kekuatan pasukan siber yang diprediksi akan menjadi salah satu kekuatan dominan bagi sistem pertahanan masa depan.
Upaya progresif dan masif ini penting bagi pemenuhan Kebutuhan Pokok Pertahanan. Untuk itu, transfer teknologi dalam setiap pembelian alutsista sangat dibutuhkan jika ingin membangun kemandirian pertahanan. Peningkatan kekuatan pertahanan ini juga perlu ditopang oleh optimalisasi pemberdayaan aset-aset nasional secara berkelanjutan guna memperkuat posisi tawar Indonesia.
Di sinilah pentingnya transfer teknologi dalam membangun kemandirian pertahanan. Terutama, jika Indonesia ingin tampil sebagai new emerging global power yang disegani dan berpengaruh hingga di level global. Dengan memiliki kemandirian pertahanan yang kuat, maka Indonesia akan mampu menguasai dunia.
Jika tak ada produsen yang bersedia, reverse engineering terhadap produk alutsista impor dapat dilakukan sebagaimana dilakukan sejumlah negara seperti, China, India, Turki, maupun Korea Selatan. Bahkan, baru-baru ini India membeli pesawat tempur Mirage bekas dari Prancis hanya untuk mempreteli suku cadangnya guna memperbaiki pesawat yang sudah ada.
Meskipun melanggar Hak Paten, sejumlah negara melakukan langkah tersebut demi kepentingan nasional mereka. Caranya, membeli beberapa perangkat alutsista asli dari negara produsen, lalu mempelajari prinsip teknologinya melalui pemisahan perangkat mesin alutsista, dan menganalisis cara kerjanya. Atau, jika informasi pembuatan produk asli tidak tersedia karena memang dirahasiakan oleh produsennya, hilang, atau rusak, bisa dengan menciptakan perangkat alutsista baru yang memiliki cara kerja serupa.
Membangun kemandirian pertahanan ini penting untuk mengurangi ketergantungan. Indonesia harus berani dan tegas menuntut transfer teknologi sejak awal. Jika tidak, impor alutsista secara massif hanya semakin meningkatkan ketergantungan terhadap negara maju dan merugikan kepentingan nasional.
Devisa negara akan tersedot untuk pembelian alutsista. Jika sumber pendanaannya dari hutang luar negeri, Indonesia dapat terjebak pada “lingkaran setan jeratan utang” yang rentan krisis. Kebijakan dan kepentingan nasionalnya juga mudah diintervensi negara debitur dan produsen. Indonesia selamanya hanya akan menjadi periphery importir terbesar alutsista. Kalaupun dilirik, sebatas sebagai target pasar produk negara maju.
NKRI harga mati. Peningkatan kekuatan pertahanan merupakan suatu keharusan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian Pertahanan dalam melakukan pembelian alutsista secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan tiga matra pertahanan negara.
Untuk itu, pemenuhan kekuatan alutsista konvensional perlu diiringi peningkatan kemampuan cyber warfare dan pengembangan kekuatan pasukan siber yang diprediksi akan menjadi salah satu kekuatan dominan bagi sistem pertahanan masa depan.
Upaya progresif dan masif ini penting bagi pemenuhan Kebutuhan Pokok Pertahanan. Untuk itu, transfer teknologi dalam setiap pembelian alutsista sangat dibutuhkan jika ingin membangun kemandirian pertahanan. Peningkatan kekuatan pertahanan ini juga perlu ditopang oleh optimalisasi pemberdayaan aset-aset nasional secara berkelanjutan guna memperkuat posisi tawar Indonesia.
Di sinilah pentingnya transfer teknologi dalam membangun kemandirian pertahanan. Terutama, jika Indonesia ingin tampil sebagai new emerging global power yang disegani dan berpengaruh hingga di level global. Dengan memiliki kemandirian pertahanan yang kuat, maka Indonesia akan mampu menguasai dunia.
(poe)