Transfer Teknologi bagi Kemandirian Pertahanan

Senin, 11 September 2023 - 13:00 WIB
loading...
Transfer Teknologi bagi Kemandirian Pertahanan
Dr Rahmi Fitriyanti, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia Strategic and Defence Studies. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Dr Rahmi Fitriyanti
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Indonesia Strategic and Defence Studies

KEBIJAKAN pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan dalam memodernisasi alutsista dan mengembangkan kekuatan komponen cadangan pertahanan patut diapresiasi. Maka, tak mengherankan jika World Defence Military and Weapon mengakui kekuatan Angkatan Laut Indonesia terbesar ke-4 dunia mencapai 85%, yakni setelah Rusia 90%, China 95%, dan AS 100%. Lantas, bagaimana langkah Indonesia agar mampu membangun pertahanannya secara mandiri dan berkelanjutan?

Modernisasi Alutsista
Indonesia memproyeksikan kepentingannya sebagai kekuatan baru sekaligus stabilisator geopolitik di kawasan. Realisasinya melalui modernisasi alutsista sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, Pasal 30 UUD 1945 mengenai Pertahanan dan Keamanan Negara, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, serta Perpres No 8/2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2020-2024. Sedangkan alokasi anggarannya sejalan dengan UU No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Hasilnya, produktivitas pesawat CN235 meningkat. Seratus unit pesawatnya dipesan Afrika dan Amerika Latin. Pencapaian ini terkait penggabungan lima perusahaan industri pertahanan, yaitu, PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL, PT LEN, dan PT Dahana ke dalam satu induk Defend ID. Koordinasi pembangunan industri pertahanan secara sinergis dan massif pun semakin mudah.

Melalui penggabungan ini, maka target yang ditetapkan pemerintah untuk menjadi bagian dari 50 perusahaan industri pertahanan terbaik dunia akan dapat terpenuhi. Dalam jangka pendek, Defend ID dapat mengoptimalkan kebutuhan utama pertahanan dalam negeri. Sedangkan bagi kebutuhan jangka panjangnya tentu diharapkan mampu memenuhi dan menguasai pasar alutsista dunia.

Modernisasi alutsista dibuktikan dengan memborong 42 pesawat tempur Rafale F4 dari Prancis, pesawat tempur F-15 Eagle II dari AS, 12 pesawat tempur Mirage 2000-5 dari Qatar, menjalin kerja sama strategis dengan Korea Selatan dalam pengembangan jet tempur KF-21 Boramae, serta membeli sejumlah alutsista dari Turki maupun dari negara lain.

Termasuk menjalin kemitraan dengan Jepang dalam membangun kapal perang perusak yang lebih unggul untuk merealisasikan konsep Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Bahkan, Japan Forward melaporkan bahwa Negeri Matahari Terbit itu telah memberikan “blue print” kapal perusaknya kepada Indonesia.

Mirage Bekas Pengganti Sementara Rafale
Berbagai upaya dalam meningkatkan kemitraan strategis melalui pembelian sejumlah alutsista ini setidaknya mampu menimbulkan efek “getar” bagi agresivitas China yang berpotensi menyeret Indonesia ke dalam konflik Laut China Selatan. Termasuk bagi negara lain yang berpotensi menyisakan persoalan bilateral dan geopolitik.

Sejumlah kebijakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ini juga mampu menjawab kontroversi sebelumnya terkait pembelian 12 pesawat tempur Mirage 2000-5 bekas dari Qatar. Meskipun Presiden pernah berpesan agar jangan membeli alutsista bekas, kemampuan pertahanan negara tetap harus ditingkatkan guna menghadapi berbagai kontestasi dalam sistem internasional yang anarki.

Berbagai ancaman tarik-menarik kekuatan global terkait perang Ukraina-Rusia, eskalasi konflik Laut China Selatan yang berpotensi menyeret Indonesia ke dalam pusaran konflik, ancaman di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta upaya disintegrasi bangsa oleh pengaruh intervensi asing juga menjadi suatu persepsi ancaman tersendiri. Untuk itu, peningkatan kemampuan tempur melalui modernisasi alutsista sangat dibutuhkan dalam mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI sebagai harga mati.

Berdasarkan existing condition saat ini, maka pembelian 12 Mirage bekas merupakan langkah paling realistis untuk mengisi celah kekuatan pertahanan udara Indonesia dalam lima tahun berikutnya. Meskipun bekas, penggunaan kemampuan teknologi Mirage yang mendekati generasi baru tentunya sangat bermanfaat sebagai transisi menuju penggunaan pesawat tempur Rafale.

Dapat dikatakan bahwa pembelian 12 unit Mirage ini bukan hanya penting bagi pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF) yang ditargetkan mencapai 100 persen pada akhir 2024. Kepentingan yang lebih utama justru untuk memenuhi target Kebutuhan Pokok Pertahanan (Defensive Essential Force) secara menyeluruh demi kedaulatan bangsa.

Untuk itu, upaya Kementerian Pertahanan RI dalam memenuhi kebutuhan operasional matra udara ini sangat berguna sebagai pengganti sementara pesawat tempur Rafale yang kedatangannya masih sekitar lima tahun ke depan. Apalagi, kecanggihan teknologi tempur Mirage ini juga mengarah pada kecanggihan Rafale karena sama-sama diproduksi oleh pabrik Dassault Aviation.

Pemenuhan kebutuhan operasional ini sangat diperlukan dalam menopang minimnya ketersediaan matra udara. Pesawat tempur yang ada saat ini mayoritas sudah berusia tua dan membutuhkan perbaikan.

Ditambah dengan pesawat F5-E Tiger dan A4-Sky Hawk yang sudah pensiun. Berdasarkan minimnya jumlah dan kemampuan alutsista matra udara, maka pencapaian kekuatan udara adalah yang terendah di antara ketiga matra.

Kehadiran Mirage melalui kecanggihan teknologinya mampu menjawab kekhawatiran terhadap kegunaan pembelian pesawat tempur bekas. Mirage penting untuk mengisi kekosongan sementara waktu selama masa penantian kedatangan Rafale yang diperkirakan paling cepat baru datang sekitar tiga tahun ke depan. Dan jika ditotal dengan jangka waktu persiapan operasional penggunaannya, bahkan masih membutuhkan waktu sekitar lima tahun.

Pada masa tunggu inilah Mirage 2000-5 merupakan alutsista udara paling potensial dalam membangun kekuatan penangkal sementara (interim deterrent) untuk menggetarkan lawan. Nilai plus lainnya adalah jam terbangnya yang masih rendah, sehingga Mirage dari Qatar ini diprediksi masih bisa digunakan untuk 15 hingga 20 tahun mendatang.

Pentingnya Transfer Teknologi
Terdapat dua hal penting terkait pembelian Rafale dan F-15. Pertama, term pembayarannya terhadap tagihan sekitar Rp300 triliun diharapkan berjalan lancar dan tidak menimbulkan persoalan baru bagi perekonomian domestik. Kedua, kontrak perjanjian transfer teknologinya harus diimplementasikan dengan benar agar menguntungkan Indonesia.

Meski mulanya membutuhkan banyak pengeluaran untuk mengimport alutsista, transfer teknologi penting bagi kebutuhan produksi alutsista domestik, memperluas pasar, dan menjadi produsen utama di kawasan. Jika ingin memiliki kemandirian pertahanan berkelanjutan, Indonesia harus memastikan transfer teknologinya dalam setiap kontrak pembelian alutsista, baik itu untuk alutsista baru maupun bekas.

Keharusannya perlu ditegaskan melalui klausul khusus dalam setiap dokumen kontrak pembelian dan kerjasama guna mengukuhkan legitimasinya serta memastikan bahwa teknologi yang ditransfer memang sudah teruji.

Sebagai konsumen alutsista terbesar Prancis, Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat dalam memastikan transfer teknologinya. Jika pembeliannya dari pihak ke-3, maka penjual harus bekerjasama dengan produsen asal untuk mentransfer teknologinya. Seandainya produsen keberatan, Indonesia perlu mengalihkan pembeliannya ke produsen lain yang bersedia melakukan transfer teknologi.

Jika tak ada produsen yang bersedia, reverse engineering terhadap produk alutsista impor dapat dilakukan sebagaimana dilakukan sejumlah negara seperti, China, India, Turki, maupun Korea Selatan. Bahkan, baru-baru ini India membeli pesawat tempur Mirage bekas dari Prancis hanya untuk mempreteli suku cadangnya guna memperbaiki pesawat yang sudah ada.

Meskipun melanggar Hak Paten, sejumlah negara melakukan langkah tersebut demi kepentingan nasional mereka. Caranya, membeli beberapa perangkat alutsista asli dari negara produsen, lalu mempelajari prinsip teknologinya melalui pemisahan perangkat mesin alutsista, dan menganalisis cara kerjanya. Atau, jika informasi pembuatan produk asli tidak tersedia karena memang dirahasiakan oleh produsennya, hilang, atau rusak, bisa dengan menciptakan perangkat alutsista baru yang memiliki cara kerja serupa.

Membangun kemandirian pertahanan ini penting untuk mengurangi ketergantungan. Indonesia harus berani dan tegas menuntut transfer teknologi sejak awal. Jika tidak, impor alutsista secara massif hanya semakin meningkatkan ketergantungan terhadap negara maju dan merugikan kepentingan nasional.

Devisa negara akan tersedot untuk pembelian alutsista. Jika sumber pendanaannya dari hutang luar negeri, Indonesia dapat terjebak pada “lingkaran setan jeratan utang” yang rentan krisis. Kebijakan dan kepentingan nasionalnya juga mudah diintervensi negara debitur dan produsen. Indonesia selamanya hanya akan menjadi periphery importir terbesar alutsista. Kalaupun dilirik, sebatas sebagai target pasar produk negara maju.

NKRI harga mati. Peningkatan kekuatan pertahanan merupakan suatu keharusan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kementerian Pertahanan dalam melakukan pembelian alutsista secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan tiga matra pertahanan negara.

Untuk itu, pemenuhan kekuatan alutsista konvensional perlu diiringi peningkatan kemampuan cyber warfare dan pengembangan kekuatan pasukan siber yang diprediksi akan menjadi salah satu kekuatan dominan bagi sistem pertahanan masa depan.

Upaya progresif dan masif ini penting bagi pemenuhan Kebutuhan Pokok Pertahanan. Untuk itu, transfer teknologi dalam setiap pembelian alutsista sangat dibutuhkan jika ingin membangun kemandirian pertahanan. Peningkatan kekuatan pertahanan ini juga perlu ditopang oleh optimalisasi pemberdayaan aset-aset nasional secara berkelanjutan guna memperkuat posisi tawar Indonesia.

Di sinilah pentingnya transfer teknologi dalam membangun kemandirian pertahanan. Terutama, jika Indonesia ingin tampil sebagai new emerging global power yang disegani dan berpengaruh hingga di level global. Dengan memiliki kemandirian pertahanan yang kuat, maka Indonesia akan mampu menguasai dunia.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1877 seconds (0.1#10.140)