Ketum Muhammadiyah Anggap Pengawasan Tempat Ibadah adalah Kemunduran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir memandang wacana pengawasan tempat ibadah oleh pemerintah adalah sebuah kemunduran. Wacana ini sebelumnya dimunculkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Meski masih sebatas usulan tapi Haedar menekankan agar jangan sampai hal tersebut menjadi sebuah kebijakan. Sebab, kebijakan itu akan berdampak luas terhadap suasana kebangsaan di masa yang akan datang.
"Ya sebenarnya ini setback (kemunduran) ya BNPT," kata Haedar ditemui di Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (7/9/2023).
Jika kebijakan itu diterapkan, Haedar menyebut bakal memiliki dampak luas, termasuk potensi hilangnya daya kultural dari ketertiban sosial. Padahal salah satu kekuatan kultural bangsa Indonesia adalah umat beragama.
"Jadi kami percaya kepala BNPT dan jajaran BNPT untuk meninjau kembali dan tidak melanjutkan langkah untuk mengawasi tempat ibadah," katanya.
Haedar berpendapat ketika nanti ada pengawasan di masjid dan tempat ibadah lain, bahkan hingga sekolah, maka akan menimbulkan suasana yang terkesan dramatis bahkan terkesan ada alarm.
Menurutnya, pengawasan di masjid adalah suatu tindakan yang tidak proporsional. Sebab, masjid dan tempat-tempat ibadah lain itu menjadi sumber nilai berbangsa dan etika di masyarakat.
"Seperti kita ketahui, umat beragama di Indonesia sendiri sudah punya sejarah panjang yang melekat dengan denyut nadi kehidupan bangsa," katanya.
Di samping itu, umat beragama juga ikut memperjuangkan kemerdekaan meletakkan fondasi ke-Indonesiaan bersama seluruh komponen bangsa. Karena itu, ketika dalam situasi kebangsaan ada satu dua kasus yang dikaitkan dengan agama, semestinya diambil tindakan-tindakan yang sejalan dengan hukum.
"Jangan lalu membuat kebijakan yang menggeneralisasi," tuturnya.
Haedar menjelaskan, ketika pengawasan yang dilakukan masyarakat dan sudah disokong pemerintah, maka berpotensi menimbulkan masalah baru. Apalagi ketika ada potensi konflik antargolongan.
Masyarakat, kata Haedar, sudah memiliki mekanisme sosial tersendiri untuk mengatasi hal-hal yang dikhawatirkan itu. Termasuk untuk melakukan kontrol satu sama lain secara mandiri.
"Saling kontrol satu sama lain itu hal yang wajar saja, tapi ketika itu di-endorse oleh negara supaya mengawasi masjid, mengawasi gereja, dan seterusnya itu malah berpotensi menciptakan konflik horizontal," ujarnya.
Haedar Nashir berharap kebijakan ini tak diterapkan untuk menciptakan suasana kondusif menjelang Pemilu 2024.
Sebelumnya, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9/2023), menanggapi salah seorang Anggota Komisi III yang menyinggung soal karyawan BUMN yakni PT KAI yang terpapar paham radikalisme. Menurutnya, ini ada kaitannya dengan aktivitas tempat ibadah yang kerap melancarkan kritik ke pemerintah.
Menanggapi hal ini, Rycko mengungkapkan perlunya ada kontrol dari pemerintah terhadap tempat ibadah. Menurutnya, hal itu mereka dapati di beberapa negara yang mana tempat ibadah dikontrol oleh pemerintah.
Meski masih sebatas usulan tapi Haedar menekankan agar jangan sampai hal tersebut menjadi sebuah kebijakan. Sebab, kebijakan itu akan berdampak luas terhadap suasana kebangsaan di masa yang akan datang.
"Ya sebenarnya ini setback (kemunduran) ya BNPT," kata Haedar ditemui di Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (7/9/2023).
Jika kebijakan itu diterapkan, Haedar menyebut bakal memiliki dampak luas, termasuk potensi hilangnya daya kultural dari ketertiban sosial. Padahal salah satu kekuatan kultural bangsa Indonesia adalah umat beragama.
"Jadi kami percaya kepala BNPT dan jajaran BNPT untuk meninjau kembali dan tidak melanjutkan langkah untuk mengawasi tempat ibadah," katanya.
Haedar berpendapat ketika nanti ada pengawasan di masjid dan tempat ibadah lain, bahkan hingga sekolah, maka akan menimbulkan suasana yang terkesan dramatis bahkan terkesan ada alarm.
Menurutnya, pengawasan di masjid adalah suatu tindakan yang tidak proporsional. Sebab, masjid dan tempat-tempat ibadah lain itu menjadi sumber nilai berbangsa dan etika di masyarakat.
"Seperti kita ketahui, umat beragama di Indonesia sendiri sudah punya sejarah panjang yang melekat dengan denyut nadi kehidupan bangsa," katanya.
Di samping itu, umat beragama juga ikut memperjuangkan kemerdekaan meletakkan fondasi ke-Indonesiaan bersama seluruh komponen bangsa. Karena itu, ketika dalam situasi kebangsaan ada satu dua kasus yang dikaitkan dengan agama, semestinya diambil tindakan-tindakan yang sejalan dengan hukum.
"Jangan lalu membuat kebijakan yang menggeneralisasi," tuturnya.
Haedar menjelaskan, ketika pengawasan yang dilakukan masyarakat dan sudah disokong pemerintah, maka berpotensi menimbulkan masalah baru. Apalagi ketika ada potensi konflik antargolongan.
Masyarakat, kata Haedar, sudah memiliki mekanisme sosial tersendiri untuk mengatasi hal-hal yang dikhawatirkan itu. Termasuk untuk melakukan kontrol satu sama lain secara mandiri.
"Saling kontrol satu sama lain itu hal yang wajar saja, tapi ketika itu di-endorse oleh negara supaya mengawasi masjid, mengawasi gereja, dan seterusnya itu malah berpotensi menciptakan konflik horizontal," ujarnya.
Haedar Nashir berharap kebijakan ini tak diterapkan untuk menciptakan suasana kondusif menjelang Pemilu 2024.
Sebelumnya, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9/2023), menanggapi salah seorang Anggota Komisi III yang menyinggung soal karyawan BUMN yakni PT KAI yang terpapar paham radikalisme. Menurutnya, ini ada kaitannya dengan aktivitas tempat ibadah yang kerap melancarkan kritik ke pemerintah.
Menanggapi hal ini, Rycko mengungkapkan perlunya ada kontrol dari pemerintah terhadap tempat ibadah. Menurutnya, hal itu mereka dapati di beberapa negara yang mana tempat ibadah dikontrol oleh pemerintah.
(abd)