Penjelasan Kepala BNPT terkait Usulan Kontrol Tempat Ibadah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel menjelaskan usulannya, soal mekanisme kontrol tempat ibadah untuk mencegah paham radikalisme.
Rycko mengungkapkan, mekanisme kontrol tempat ibadah ini diusulkan dengan menekankan keterlibatan masyarakat setempat dalam pengawasan. Bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah.
"Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat," kata Rycko dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Menurut Rycko, mekanisme kontrol ini juga tak mengharuskan pemerintah mengambil kendali tempat ibadah secara langsung. Melainkan, mekanisme ini bisa tumbuh dari pemerintah dan masyarakat.
Dalam hal ini, kata Rycko, pengurus masjid dan tokoh agama setempat juga bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi mengandung paham radikal.
"Dari tokoh-tokoh agama setempat, atau masyarakat yang mengetahui ada tempat-tempat ibadah digunakan untuk menyebarkan rasa kebencian, menyebarkan kekerasaan, itu harus distop," ujar Rycko.
Sebab, Rycko melanjutkan, pemerintah juga tak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah. "Kalau pemerintah yang mengontrol tak akan sanggup," imbuh Rycko.
Lebih lanjut, Rycko mengklaim, pihaknya telah melakukan studi banding ke Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang telah menerapkan pengawasan pemerintah terhadap tempat ibadah.
Namun Rycko menyadari situasi di Indonesia berbeda. Oleh karenanya, ia mengusulkan mekanisme kontrol yang bersifat kolaboratif dengan masyarakat setempat seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh budaya sebagai alternatif yang lebih cocok diterapkan di Indonesia.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
Rycko mengungkapkan, mekanisme kontrol tempat ibadah ini diusulkan dengan menekankan keterlibatan masyarakat setempat dalam pengawasan. Bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah.
"Terhadap penggunaan tempat-tempat ibadah untuk menyebarkan rasa kebencian, kekerasan, mekanisme kontrol itu artinya bukan pemerintah yang mengontrol. Mekanisme kontrol itu bisa tumbuh dari pemerintah beserta masyarakat," kata Rycko dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Menurut Rycko, mekanisme kontrol ini juga tak mengharuskan pemerintah mengambil kendali tempat ibadah secara langsung. Melainkan, mekanisme ini bisa tumbuh dari pemerintah dan masyarakat.
Dalam hal ini, kata Rycko, pengurus masjid dan tokoh agama setempat juga bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi mengandung paham radikal.
"Dari tokoh-tokoh agama setempat, atau masyarakat yang mengetahui ada tempat-tempat ibadah digunakan untuk menyebarkan rasa kebencian, menyebarkan kekerasaan, itu harus distop," ujar Rycko.
Sebab, Rycko melanjutkan, pemerintah juga tak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah. "Kalau pemerintah yang mengontrol tak akan sanggup," imbuh Rycko.
Lebih lanjut, Rycko mengklaim, pihaknya telah melakukan studi banding ke Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang telah menerapkan pengawasan pemerintah terhadap tempat ibadah.
Namun Rycko menyadari situasi di Indonesia berbeda. Oleh karenanya, ia mengusulkan mekanisme kontrol yang bersifat kolaboratif dengan masyarakat setempat seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh budaya sebagai alternatif yang lebih cocok diterapkan di Indonesia.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
(maf)