Etika dalam Kompetisi Politik Demokratis

Kamis, 07 September 2023 - 17:09 WIB
loading...
Etika dalam Kompetisi...
Pemilu serentak menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil yang dianggap kompeten dalam mengemban tugas. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Muhammad Fauzinudin Faiz
Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq Jember

PEMILIHAN umum (Pemilu) merupakan tonggak bersejarah dalam demokrasi Indonesia. Pada awal 2024, tepatnya pada Februari, Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu serentak untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD di seluruh provinsi.

Pemilu serentak ini menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil yang dianggap kompeten dalam mengemban tugas pemerintahan serta mewakili kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sebagai negara yang berlandaskan demokrasi, integritas pemilu menjadi hal yang sangat penting; hasilnya harus diperoleh secara jujur dan adil agar dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Hingga tulisan ini ditulis, baru pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (cawapres) untuk menghadapi Pemilu 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, pada, Sabtu (2/9/2023). Artinya, kemungkinan sebentar lagi bakal disusul oleh bakal calon lain dari Kubu Prabowo yang belum memberikan sinyal siapa bakal calon wakilnya. Begitu juga dengan Ganjar yang tampaknya masih menghitung secara matematis peluang untuk menaklukkan suara Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam rangka persiapan Pemilu serentak 2024, pemerintah bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus melakukan persiapan yang cermat agar proses Pemilu dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Persiapan ini mencakup penyusunan daftar pemilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, dan proses penghitungan suara.

Lebih dari itu, perlu juga upaya keras dalam meredam potensi timbulnya kebencian di kalangan masyarakat menjelang Pemilu. Perbedaan pandangan politik, agama, ras, atau kelompok dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan. Ketika tidak ditangani dengan cermat, kebencian ini bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Tidak kalah pentingnya, partai politik dan calon-calon pemimpin harus menjunjung tinggi etika politik dan mempromosikan nilai-nilai positif. Mereka harus menghindari kampanye yang memanfaatkan isu-isu sensitif atau mencemarkan nama baik lawan politik.

Sebaliknya, fokus harus ditempatkan pada program dan visi misi yang memberikan manfaat konkret bagi masyarakat. Di era media sosial seperti sekarang, para calon dapat dengan mudah menyampaikan ide dan gagasan mereka melalui berbagai platform, serta mengukur respons masyarakat terhadap ide-ide tersebut.

Selain itu, peran media dan media sosial dalam memerangi potensi kebencian menjelang Pemilu sangatlah penting. Media harus berperan sebagai pendidik yang memberikan pemahaman masyarakat tentang pentingnya berpolitik dengan etika dan menghindari penyajian berita berorientasi sensasional. Sementara itu, media sosial harus diawasi dan diatur dengan ketat untuk mencegah penyebaran konten yang berpotensi memicu kebencian dan berita palsu.

Membersamai Literasi Politik Masyarakat
Untuk memperkuat pemahaman masyarakat terkait isu-isu politik yang berkembang, langkah penting yang perlu diambil adalah menyediakan informasi yang akurat, seimbang, dan objektif. Informasi ini harus berasal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.

Meningkatkan literasi politik masyarakat dapat dicapai melalui berbagai upaya, seperti mendorong partisipasi mereka dalam debat publik dan forum diskusi yang relevan. Sebagai contoh, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di berbagai daerah, pelaksanaan debat publik antara calon kepala daerah bisa menjadi sarana efektif untuk memberikan wawasan kepada masyarakat tentang visi dan misi para calon, serta menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu yang menjadi fokus.

Tidak hanya itu, langkah lain yang dapat diambil adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi politik yang relevan. Pemerintah bisa memanfaatkan teknologi dengan menyediakan website atau aplikasi yang berisi informasi lengkap tentang calon-calon kepala daerah yang akan bertarung dalam Pilkada.

Informasi tersebut dapat mencakup profil calon, program kerja, gagasan, riwayat pendidikan, dan pengalaman karier mereka. Dengan cara ini, masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mengakses informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang cerdas dalam proses Pilkada.

Langkah terakhir, namun tidak kalah pentingnya, adalah meningkatkan literasi media sosial masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi mengenai cara memeriksa kebenaran informasi yang beredar di media sosial.

Sebagai contoh, platform media sosial seperti Twitter dan Facebook dapat menyediakan fitur penandaan (tagging) untuk informasi politik yang signifikan. Fitur ini dapat memberikan informasi tambahan yang mengesahkan kebenaran informasi tersebut atau mengarahkan pengguna ke sumber-sumber informasi yang lebih terpercaya.

Selain itu, masyarakat juga dapat diberikan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda informasi yang tidak benar atau berita palsu, seperti judul yang menarik perhatian secara berlebihan atau foto yang telah diedit. Dengan literasi media sosial yang lebih baik, masyarakat dapat menjadi lebih bijak dalam menggunakan platform-platform ini dan lebih mampu memfilter informasi yang mereka konsumsi.

Melawan Propaganda dan Hoaks: Menuju Pemilu Damai dan Adil
Propaganda dan hoaks memiliki potensi untuk memicu konflik dan kebencian dalam masyarakat. Dampaknya, efek dari kebencian ini tidak akan sirna begitu saja setelah pemilihan umum berakhir; bahkan, masyarakat bisa terus terpecah-belah hingga pemilihan berikutnya.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana cara mengenali serta melawan propaganda dan hoaks. Upaya ini dapat dimulai dengan menggelar kampanye kesadaran terkait propaganda dan hoaks, yang bisa dilakukan melalui media sosial, media massa, atau bahkan kampanye langsung di masyarakat.

Pesan dalam kampanye tersebut harus mencakup definisi propaganda dan hoaks, serta dampak negatif yang ditimbulkannya, sekaligus memberikan panduan mengenali informasi yang mungkin bersifat hoaks. Sebagai contoh, Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat memulai kampanye di media sosial dengan mengajak kalangan artis, tokoh publik, dan figur nasional dengan tagar #CekFaktaSebelumSebar.

Selanjutnya, masyarakat perlu dibekali dengan keterampilan dalam memverifikasi kebenaran informasi yang mereka terima. Ini meliputi kemampuan untuk memeriksa sumber informasi, menganalisis fakta dan data yang disajikan, serta membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda.

Pelatihan dan lokakarya yang diselenggarakan di berbagai komunitas masyarakat bisa menjadi sarana efektif. Selain itu, kalangan akademisi dan mahasiswa dapat berperan dengan menyebarkan informasi ini melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, atau TikTok, khususnya untuk menjangkau generasi muda.

Selain itu, masyarakat juga perlu diberikan pemahaman tentang cara menghindari atau memblokir akun yang menyebarluaskan propaganda atau hoaks, serta pentingnya tidak menyebarkan informasi yang tidak terbukti kebenarannya. Di era media sosial, literasi digital menjadi kunci, dan penggunaan platform ini harus disertai dengan sikap bijak dan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat, sambil tetap mematuhi norma-norma sosial.

Selain upaya dari individu dan pemerintah, melibatkan tokoh masyarakat dan figur publik memiliki peran penting dalam pendidikan masyarakat tentang bahaya propaganda dan hoaks. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang memberikan contoh nyata tentang cara memeriksa kebenaran informasi serta menghindari jebakan propaganda dan hoaks.

Sebagai contoh, seorang tokoh agama atau pemimpin masyarakat dalam berbagai kegiatan keagamaan atau budaya mereka bisa menyelipkan pesan edukasi politik yang berharga. Atau misalnya, dalam pengajian atau kajian tema keagamaan, pendekatan ini dapat digunakan untuk menyampaikan pesan penting mengenai menghindari propaganda dan hoaks.

Terakhir, upaya untuk meredam benih-benih kebencian harus dimulai jauh sebelum pemilihan umum diadakan. Hal ini akan memastikan bahwa pemilihan berjalan damai, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif, dan mengurangi potensi polarisasi negatif.

Dengan langkah-langkah ini, harapannya adalah hasil Pemilu dapat diterima oleh semua warga Indonesia tanpa menimbulkan perpecahan, kekisruhan, atau bahkan tindakan kekerasan.

Dalam menghadapi pemilu, penting untuk diingat bahwa perpecahan tidak boleh menjadi pilihan, tetapi berkompetisi dengan etika dan berlandaskan pada informasi yang benar adalah jalan yang tepat untuk membangun masyarakat yang kuat dan demokratis. Pecah tidak boleh tapi berkompetisi oke. Semoga cita-cita ini dapat terwujud.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1112 seconds (0.1#10.140)