Kurban di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
Ahmad Tholabi Kharlie
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HARI Raya Iduladha tahun ini hadir dalam situasi pandemi Corona-19. Hari raya yang ditandai dengan momentum ibadah kurban ini sejatinya tidak sekadar menjadi bagian dari ritual tahunan keagamaan umat Islam, namun secara sosiologis telah menjadi bagian dari sistem sosial yang berjalan dari masa ke masa. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, ibadah kurban kian menemukan momentum karena tuntutan untuk saling berbagi menjadi hal yang tak terelakkan.
Ada dua titik fokus dalam kaitan berkurban di masa pandemik. Pertama, penerapan hukum Islam terkait fungsi kurban untuk membangun masyarakat yang saling berempati. Selain sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Qs. al-Kautsar: 2), kurban menguji umat Islam untuk tetap membangun solidaritas dan berempati terhadap sesama. Praktik ini, dengan demikian, menjadi wujud nyata manifestasi spirit keislaman yang mengajarkan solidaritas dan kepekaan sosial melalui medium ritual.
Betapa pentingnya aspek sosial kurban ini hingga Rasulullah menegaskan dalam sabdanya yang direkam oleh Abu Hurairah, “Siapa saja yang dalam kondisi mampu, namun tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat salat kami ini.” (Hr. al-Thabrani, Ahmad, Ibn Majah). Hadis ini mengingatkan umat Islam bahwa ritualitas tidaklah cukup untuk menunjukkan penghambaan jika dalam waktu yang sama abai terhadap aspek sosial.
Fokus kedua, terkait dengan pelaksanaan kurban di masa pandemik. Umat Islam diminta memiliki kesadaran tentang hakikat hak kepemilikan, sehingga dengan begitu kecintaan kepada Allah akan menjadi fondasi yang kokoh untuk saling mencintai dan berempati terhadap sesama. Bahkan Nabi Ibrahim pun secara lugas telah berbagi keteladanan tentang prioritas kecintaannya kepada Allah dengan mengorbankan putra terkasih, Ismail, meski kemudian Allah gantikan dengan kompensasi yang disimbolkan dengan domba yang sehat dan gemuk.
Terkait praktik kurban dalam situasi pandemi, sejauh ini tidak dijumpai kajian yang komprehensif dalam pelbagai literatur keislaman konvensional. Namun, sejumlah kaidah pokok hukum Islam sejatinya dapat dijadikan dasar pijak untuk mewujudkan kurban sebagai manifestasi solidaritas sosial di masa pandemik. Setidaknya terdapat dua argumen yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, merujuk kepada peristiwa pendelegasian Sahabat Mu’adz bin Jabal sebagai duta di negeri Yaman hal mana Rasulullah memberikan mandat kepada yang bersangkutan untuk melakukan terobosan hukum melalui sejumlah mekanisme ijtihad yang terbakukan.
Kedua, hukum Islam sejatinya didedikasikan untuk memelihara kemaslahatan komunal. Imam al-Syathibi (1302 H), misalnya, menegaskan kata kunci “maslahat” sebagai ruh pemberlakuan hukum Islam. Perumusan dan penerapan hukum Islam, dengan demikian, tidak boleh tercerabut dari cita utamanya, yakni mewujudkan proteksi terhadap agama, kehidupan atau jiwa, keturunan atau kehormatan, harta, dan akal. Teori ini tentu dapat dijadikan argumen hukum ketika harus berhadapan dengan situasi yang sulit seperti saat ini. Di satu sisi ada tuntutan menjalankan perintah berkurban, namun dalam waktu yang sama kita diminta untuk tetap menjaga diri dan jiwa-jiwa lainnya dari ancaman pandemik yang menyebar dengan sangat cepat.
Sikap hukum ini merujuk kepada tradisi profetik yang meniscayakan tentang pentingnya menghindari “bahaya” dan “yang membahayakan” (la dharar wa la dhirar). Pada gilirannya prinsip ini dirujuk para yuris Muslim untuk merumuskan aneka kaidah turunan hukum Islam, antara lain yang sangat populer menyatakan bahwa “menghindari kemudaratan lebih diutamakan dibandingkan merengkuh kebaikan” (dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih).
Masih banyak lagi kaidah hukum Islam yang dapat digunakan sebagai alas pijak tentang pelaksanaan ibadah kurban di saat pandemik, karena Islam sejatinya tidak hanya mementingkan hasil akhir namun juga proses pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan kaidah “hukum perantara sama dengan hukum tujuan”. Kaidah ini mendasari argumen tentang keharusan menjaga diri dalam pelaksanaan kurban, baik terkait pelaksana kurban maupun masyarakat pada umumnya.
Terekam secara apik dalam Fath al-Bari, karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H), menukil catatan dari Aisyah, istri Rasulullah, ketika Tha’un tengah mewabah, Rasulullah merilis sebuah ultimatum bahwa siapa saja yang berdiam diri di suatu tempat untuk menghindari wabah atau tidak keluar dari suatu wilayah agar tidak menularkan wabahnya, maka orang tersebut dihukumi mati syahid. Dengan demikian, proteksi diri dalam rangka menjamin keselamatan publik dihitung sebagai amal perbuatan yang pahalanya setara dengan gugur di medan tempur.
Penghargaan Allah terhadap orang yang bersabar dan mampu menahan diri, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah, dapat dijadikan landasan bagaimana seharusnya kurban dilaksanakan di masa pandemi. Selain tetap mawas diri dan menjaga orang lain yang berpotensi terdampak, spirit Islam secara jelas menekankan tentang pentingnya menciptakan kemaslahatan, yakni dengan tidak memunculkan mudarat bagi orang lain.
Kebijakan Pemerintah tentang pemetaan wilayah terdampak dengan pembagian zona berdasarkan tingkat kerawanan pandemik harus menjadi acuan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan ibadah kurban. Termasuk tindakan-tindakan yang perlu dilakukan ketika kurban dilakukan di wilayah zona merah. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan khazanah pemikiran hukum Islam yang meniscayakan pemindahan tempat pelaksanaan kurban, sebagaimana yang disinggung dalam sejumlah literatur hukum Islam konvensional.
Walhasil, dalam situasi pandemik yang menuntut kewaspadaan tinggi, Islam tetap menawarkan aneka solusi hukum dan memotivasi untuk selalu optimistis. Situasi abnormal yang serba sulit juga sejatinya tidak menyurutkan setiap anak bangsa untuk tetap berempati dan membangun solidaritas antar sesama.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HARI Raya Iduladha tahun ini hadir dalam situasi pandemi Corona-19. Hari raya yang ditandai dengan momentum ibadah kurban ini sejatinya tidak sekadar menjadi bagian dari ritual tahunan keagamaan umat Islam, namun secara sosiologis telah menjadi bagian dari sistem sosial yang berjalan dari masa ke masa. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, ibadah kurban kian menemukan momentum karena tuntutan untuk saling berbagi menjadi hal yang tak terelakkan.
Ada dua titik fokus dalam kaitan berkurban di masa pandemik. Pertama, penerapan hukum Islam terkait fungsi kurban untuk membangun masyarakat yang saling berempati. Selain sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. (Qs. al-Kautsar: 2), kurban menguji umat Islam untuk tetap membangun solidaritas dan berempati terhadap sesama. Praktik ini, dengan demikian, menjadi wujud nyata manifestasi spirit keislaman yang mengajarkan solidaritas dan kepekaan sosial melalui medium ritual.
Betapa pentingnya aspek sosial kurban ini hingga Rasulullah menegaskan dalam sabdanya yang direkam oleh Abu Hurairah, “Siapa saja yang dalam kondisi mampu, namun tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat salat kami ini.” (Hr. al-Thabrani, Ahmad, Ibn Majah). Hadis ini mengingatkan umat Islam bahwa ritualitas tidaklah cukup untuk menunjukkan penghambaan jika dalam waktu yang sama abai terhadap aspek sosial.
Fokus kedua, terkait dengan pelaksanaan kurban di masa pandemik. Umat Islam diminta memiliki kesadaran tentang hakikat hak kepemilikan, sehingga dengan begitu kecintaan kepada Allah akan menjadi fondasi yang kokoh untuk saling mencintai dan berempati terhadap sesama. Bahkan Nabi Ibrahim pun secara lugas telah berbagi keteladanan tentang prioritas kecintaannya kepada Allah dengan mengorbankan putra terkasih, Ismail, meski kemudian Allah gantikan dengan kompensasi yang disimbolkan dengan domba yang sehat dan gemuk.
Terkait praktik kurban dalam situasi pandemi, sejauh ini tidak dijumpai kajian yang komprehensif dalam pelbagai literatur keislaman konvensional. Namun, sejumlah kaidah pokok hukum Islam sejatinya dapat dijadikan dasar pijak untuk mewujudkan kurban sebagai manifestasi solidaritas sosial di masa pandemik. Setidaknya terdapat dua argumen yang dapat dijadikan pertimbangan. Pertama, merujuk kepada peristiwa pendelegasian Sahabat Mu’adz bin Jabal sebagai duta di negeri Yaman hal mana Rasulullah memberikan mandat kepada yang bersangkutan untuk melakukan terobosan hukum melalui sejumlah mekanisme ijtihad yang terbakukan.
Kedua, hukum Islam sejatinya didedikasikan untuk memelihara kemaslahatan komunal. Imam al-Syathibi (1302 H), misalnya, menegaskan kata kunci “maslahat” sebagai ruh pemberlakuan hukum Islam. Perumusan dan penerapan hukum Islam, dengan demikian, tidak boleh tercerabut dari cita utamanya, yakni mewujudkan proteksi terhadap agama, kehidupan atau jiwa, keturunan atau kehormatan, harta, dan akal. Teori ini tentu dapat dijadikan argumen hukum ketika harus berhadapan dengan situasi yang sulit seperti saat ini. Di satu sisi ada tuntutan menjalankan perintah berkurban, namun dalam waktu yang sama kita diminta untuk tetap menjaga diri dan jiwa-jiwa lainnya dari ancaman pandemik yang menyebar dengan sangat cepat.
Sikap hukum ini merujuk kepada tradisi profetik yang meniscayakan tentang pentingnya menghindari “bahaya” dan “yang membahayakan” (la dharar wa la dhirar). Pada gilirannya prinsip ini dirujuk para yuris Muslim untuk merumuskan aneka kaidah turunan hukum Islam, antara lain yang sangat populer menyatakan bahwa “menghindari kemudaratan lebih diutamakan dibandingkan merengkuh kebaikan” (dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih).
Masih banyak lagi kaidah hukum Islam yang dapat digunakan sebagai alas pijak tentang pelaksanaan ibadah kurban di saat pandemik, karena Islam sejatinya tidak hanya mementingkan hasil akhir namun juga proses pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan kaidah “hukum perantara sama dengan hukum tujuan”. Kaidah ini mendasari argumen tentang keharusan menjaga diri dalam pelaksanaan kurban, baik terkait pelaksana kurban maupun masyarakat pada umumnya.
Terekam secara apik dalam Fath al-Bari, karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H), menukil catatan dari Aisyah, istri Rasulullah, ketika Tha’un tengah mewabah, Rasulullah merilis sebuah ultimatum bahwa siapa saja yang berdiam diri di suatu tempat untuk menghindari wabah atau tidak keluar dari suatu wilayah agar tidak menularkan wabahnya, maka orang tersebut dihukumi mati syahid. Dengan demikian, proteksi diri dalam rangka menjamin keselamatan publik dihitung sebagai amal perbuatan yang pahalanya setara dengan gugur di medan tempur.
Penghargaan Allah terhadap orang yang bersabar dan mampu menahan diri, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah, dapat dijadikan landasan bagaimana seharusnya kurban dilaksanakan di masa pandemi. Selain tetap mawas diri dan menjaga orang lain yang berpotensi terdampak, spirit Islam secara jelas menekankan tentang pentingnya menciptakan kemaslahatan, yakni dengan tidak memunculkan mudarat bagi orang lain.
Kebijakan Pemerintah tentang pemetaan wilayah terdampak dengan pembagian zona berdasarkan tingkat kerawanan pandemik harus menjadi acuan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan ibadah kurban. Termasuk tindakan-tindakan yang perlu dilakukan ketika kurban dilakukan di wilayah zona merah. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan khazanah pemikiran hukum Islam yang meniscayakan pemindahan tempat pelaksanaan kurban, sebagaimana yang disinggung dalam sejumlah literatur hukum Islam konvensional.
Walhasil, dalam situasi pandemik yang menuntut kewaspadaan tinggi, Islam tetap menawarkan aneka solusi hukum dan memotivasi untuk selalu optimistis. Situasi abnormal yang serba sulit juga sejatinya tidak menyurutkan setiap anak bangsa untuk tetap berempati dan membangun solidaritas antar sesama.
(ras)