Profil Himawan Soetanto, Jenderal TNI yang Dukung Gerakan Mahasiswa pada Masa Orde Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Letjen TNI (Purn) Raden Himawan Soetanto merupakan salah satu tokoh militer yang cukup kontroversial pada masanya karena dianggap mendukung gerakan mahasiswa.
Ketika Indonesia berada dalam genggaman rezim Soeharto, kebebasan untuk berpendapat memang ditekan semaksimal mungkin. Hal tersebut membuat setiap kelompok oposisi atau yang berbeda pandangan dengan pemerintah akan sulit menyampaikan pandangannya.
Dari situ muncul satu tokoh dari militer yang enggan untuk membungkam gerakan mahasiswa. Dia bahkan kerap membiarkan gerakan mahasiswa dan hanya memberikan pengamanan seadanya jika para pelajar melancarkan aksi demonstrasi selama tak berjalan anarkis.
Raden Himawan Soetanto lahir pada 14 September 1929 di Magetan, Jawa Timur. Dia adalah anak dari seorang pejuang, Mayjen TNI Mohamad Mangoendiprodjo, pimpinan TKR di Jawa Timur dan tokoh peristiwa 10 November 1945.
Ketika masih berusia 16 tahun, Himawan sudah bergabung dengan pasukan Sawunggaling untuk bertempur bersama ayahnya di Palagan Surabaya. Usai itu, dia lantas menjadi kadet militer akademi di Yogyakarta dan turut bergabung dengan pasukan Siliwangi saat ber-long march kembali ke Jawa Barat.
Kemudian pada tahun 1948, dia mengikuti penugasan operasi menghadapi Belanda di front Subang atau Bandung Utara. Himawan juga pernah menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya.
Pada tahun yang sama, Himawan sempat mengikuti Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, AS. Setelah lulus dan menyandang pangkat letnan dua, dia langsung bertugas di batalyon artileri di kediri, Jawa Timur.
Tahun 1949, Himawan harus kembali berjuang untuk menghadapi Belanda dan menumpas gerakan DI/TII. Barulah setelah Indonesia bebas dari Belanda, pria asal Magetan ini ditunjuk menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya.
Dalam beberapa tahun, tugas operasi yang dijalani oleh Himawan terus bertambah. Salah satunya adalah operasi gempur pada 1963, untuk merebut kembali Polewali yang merupakan pusat dari pasukan pembangkang pimpinan Letkol Andi Selle, salah satu kekuatan utama pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Ketika Himawan menjabat sebagai Pangdam VI/Siliwangi periode 1975-1978, dia kembali harus menghadapi peristiwa besar.
Pada saat itu, pendudukan kampus ITB oleh tentara pasca Pemilihan umum 1977 yang muncul sebagai akibat penolakan pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk Sidang Istimewa MPR RI 1977.
Namun, Himawan yang berkuasa di Jawa Barat justru enggan untuk menertibkan kampus ITB dari gerakan demonstrasi tersebut. Hal ini membuatnya harus dinonaktifkan sebagai Pangdam Siliwangi dan membuat para serdadu lain menyerbu kampus-kampus di Bandung.
Tindakannya yang enggan untuk menertibkan para mahasiswa ini membuat Himawan dimutasi menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sementara waktu, sebelum akhirnya kembali dipindah tugaskan menjadi Panglima Kostranas pada 1978.
Selama bertugas di militer, Himawan tercatat pernah menduduki sejumlah posisi penting. Di antaranya Kepala Staf Operasi Dephankam (1983), dan Kepala Staf Umum ABRI (1984).
Lihat Juga: 2 Mantan Pangdivif Kostrad Kini Jadi Pangdam, Salah Satunya Teman Seangkatan Panglima TNI
Ketika Indonesia berada dalam genggaman rezim Soeharto, kebebasan untuk berpendapat memang ditekan semaksimal mungkin. Hal tersebut membuat setiap kelompok oposisi atau yang berbeda pandangan dengan pemerintah akan sulit menyampaikan pandangannya.
Dari situ muncul satu tokoh dari militer yang enggan untuk membungkam gerakan mahasiswa. Dia bahkan kerap membiarkan gerakan mahasiswa dan hanya memberikan pengamanan seadanya jika para pelajar melancarkan aksi demonstrasi selama tak berjalan anarkis.
Profil Himawan Soetanto
Raden Himawan Soetanto lahir pada 14 September 1929 di Magetan, Jawa Timur. Dia adalah anak dari seorang pejuang, Mayjen TNI Mohamad Mangoendiprodjo, pimpinan TKR di Jawa Timur dan tokoh peristiwa 10 November 1945.
Ketika masih berusia 16 tahun, Himawan sudah bergabung dengan pasukan Sawunggaling untuk bertempur bersama ayahnya di Palagan Surabaya. Usai itu, dia lantas menjadi kadet militer akademi di Yogyakarta dan turut bergabung dengan pasukan Siliwangi saat ber-long march kembali ke Jawa Barat.
Kemudian pada tahun 1948, dia mengikuti penugasan operasi menghadapi Belanda di front Subang atau Bandung Utara. Himawan juga pernah menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya.
Pada tahun yang sama, Himawan sempat mengikuti Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, AS. Setelah lulus dan menyandang pangkat letnan dua, dia langsung bertugas di batalyon artileri di kediri, Jawa Timur.
Tahun 1949, Himawan harus kembali berjuang untuk menghadapi Belanda dan menumpas gerakan DI/TII. Barulah setelah Indonesia bebas dari Belanda, pria asal Magetan ini ditunjuk menjadi Perwira Operasi Resimen Infanteri 6/Sriwijaya.
Dalam beberapa tahun, tugas operasi yang dijalani oleh Himawan terus bertambah. Salah satunya adalah operasi gempur pada 1963, untuk merebut kembali Polewali yang merupakan pusat dari pasukan pembangkang pimpinan Letkol Andi Selle, salah satu kekuatan utama pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Ketika Himawan menjabat sebagai Pangdam VI/Siliwangi periode 1975-1978, dia kembali harus menghadapi peristiwa besar.
Pada saat itu, pendudukan kampus ITB oleh tentara pasca Pemilihan umum 1977 yang muncul sebagai akibat penolakan pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk Sidang Istimewa MPR RI 1977.
Namun, Himawan yang berkuasa di Jawa Barat justru enggan untuk menertibkan kampus ITB dari gerakan demonstrasi tersebut. Hal ini membuatnya harus dinonaktifkan sebagai Pangdam Siliwangi dan membuat para serdadu lain menyerbu kampus-kampus di Bandung.
Tindakannya yang enggan untuk menertibkan para mahasiswa ini membuat Himawan dimutasi menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia sementara waktu, sebelum akhirnya kembali dipindah tugaskan menjadi Panglima Kostranas pada 1978.
Selama bertugas di militer, Himawan tercatat pernah menduduki sejumlah posisi penting. Di antaranya Kepala Staf Operasi Dephankam (1983), dan Kepala Staf Umum ABRI (1984).
Lihat Juga: 2 Mantan Pangdivif Kostrad Kini Jadi Pangdam, Salah Satunya Teman Seangkatan Panglima TNI
(okt)