Tangkal Depresi, Cegah Bunuh Diri
loading...
A
A
A
Padahal, kata dia, seharusnya ketika di lingkungan sekitar ada orang yang menunjukkan tanda-tanda depresi berupa gangguan perilaku atau emosi, seharusnya diberi dukungan.
“Bukan justru menganggapnya lemah, tapi harus di-support. Kalau perlu sarankan dia ke ahli karena masalah mental itu memang ada yang harus ditangani oleh orang profesional,” ujarnya.
Kesehatan mental seseorang terganggu bisa disebabkan banyak faktor, antara lain biologis, psikologis, sosial, kultural, maupun spiritual. “Banyak yang bisa jadi pemicunya, kompleks. Bahkan gangguan mental bisa terjadi sejak dari janin karena saat hamil ibu sedang ada masalah,” ujarnya.
Rama mendukung agar kampanye kesehatan mental untuk mencegah depresi terus dilakukan. Apalagi masih banyak orang yang belum paham tentang bahaya depresi. Memang dia mengakui saat ini kampanye kesehatan mental sudah lebih baik dibanding 10 tahun lalu karena ada platform media sosial yang menyediakan banyak informasi. (Baca juga: Sambangi Muhammadiyah, Nadiem Makarim Bungkam)
“Tapi perlu terus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa depresi itu riil ada, enggak bohong. Itu bukan hanya karena kelemahan iman. Kalau ada indikasi gangguan emosi, tolong datang ke profesional,” tandasnya.
Persoalan Regulasi
Di tengah situasi sulit akibat pandemi, pemerintah diminta lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakat. Nova Riyanti Yusuf mengatakan, masalah kesehatan mental belum menjadi prioritas pemerintah. Alasannya hingga hari ini belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Selain itu dari sisi anggaran juga masih kecil. Meskipun anggaran naik menjadi Rp45 miliar dari sebelumnya Rp9,5 miliar, hal itu dialokasikan untuk IPWL (instansi penerima wajib lapor) terkait kasus narkotika.
“Nah, anggarannya harus dinaikkan untuk kegiatan promotif, preventif. Kalau yang kuratif nggak masalah, tingkatkan saja,” ujarnya.
Tindakan preventif gangguan kesehatan mental bisa dilakukan dengan memperkuat telemedicine yang ada. Menurut dia, masyarakat yang berkonsultasi lewat Sehatpedia saat ini memang gratis, namun psikiater yang mendampinginya harus tetap dibayar agar mereka memberikan jasanya tidak asal-asalan. Pemerintah, menurut Nova, harus menyiapkan infrastruktur untuk menghadapi arus masalah kejiwaan yang akan muncul di masa depan. “Jadi enggak cuma kesiapan tenaga kesehatan jiwanya, tapi juga teknologinya. Misalnya mau pakai telemedicine harus disiapin dong. Anggarannya jangan sekecil itu,” ujarnya. (Baca juga: Indonesia-Turki Coba Kerjasama di Bidang Penerbangan dan Antariksa)
Menanggapi tudingan pemerintah masih abai pada kesehatan mental warganya, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membantah. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengatakan sudah ada beberapa peraturan turunan UU Keswa yang dibuat.
“Bukan justru menganggapnya lemah, tapi harus di-support. Kalau perlu sarankan dia ke ahli karena masalah mental itu memang ada yang harus ditangani oleh orang profesional,” ujarnya.
Kesehatan mental seseorang terganggu bisa disebabkan banyak faktor, antara lain biologis, psikologis, sosial, kultural, maupun spiritual. “Banyak yang bisa jadi pemicunya, kompleks. Bahkan gangguan mental bisa terjadi sejak dari janin karena saat hamil ibu sedang ada masalah,” ujarnya.
Rama mendukung agar kampanye kesehatan mental untuk mencegah depresi terus dilakukan. Apalagi masih banyak orang yang belum paham tentang bahaya depresi. Memang dia mengakui saat ini kampanye kesehatan mental sudah lebih baik dibanding 10 tahun lalu karena ada platform media sosial yang menyediakan banyak informasi. (Baca juga: Sambangi Muhammadiyah, Nadiem Makarim Bungkam)
“Tapi perlu terus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa depresi itu riil ada, enggak bohong. Itu bukan hanya karena kelemahan iman. Kalau ada indikasi gangguan emosi, tolong datang ke profesional,” tandasnya.
Persoalan Regulasi
Di tengah situasi sulit akibat pandemi, pemerintah diminta lebih memperhatikan kesehatan mental masyarakat. Nova Riyanti Yusuf mengatakan, masalah kesehatan mental belum menjadi prioritas pemerintah. Alasannya hingga hari ini belum ada peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa). Selain itu dari sisi anggaran juga masih kecil. Meskipun anggaran naik menjadi Rp45 miliar dari sebelumnya Rp9,5 miliar, hal itu dialokasikan untuk IPWL (instansi penerima wajib lapor) terkait kasus narkotika.
“Nah, anggarannya harus dinaikkan untuk kegiatan promotif, preventif. Kalau yang kuratif nggak masalah, tingkatkan saja,” ujarnya.
Tindakan preventif gangguan kesehatan mental bisa dilakukan dengan memperkuat telemedicine yang ada. Menurut dia, masyarakat yang berkonsultasi lewat Sehatpedia saat ini memang gratis, namun psikiater yang mendampinginya harus tetap dibayar agar mereka memberikan jasanya tidak asal-asalan. Pemerintah, menurut Nova, harus menyiapkan infrastruktur untuk menghadapi arus masalah kejiwaan yang akan muncul di masa depan. “Jadi enggak cuma kesiapan tenaga kesehatan jiwanya, tapi juga teknologinya. Misalnya mau pakai telemedicine harus disiapin dong. Anggarannya jangan sekecil itu,” ujarnya. (Baca juga: Indonesia-Turki Coba Kerjasama di Bidang Penerbangan dan Antariksa)
Menanggapi tudingan pemerintah masih abai pada kesehatan mental warganya, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membantah. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Fidiansjah mengatakan sudah ada beberapa peraturan turunan UU Keswa yang dibuat.