Pemuda Episentrum Persatuan
loading...
A
A
A
Muh Jusrianto
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI
Mahasiswa S3 Research in Management UPH
DALAM lintasan sejarah pergerakan bangsa Indonesia senantiasa mengukir peranan golongan muda yang spektakuler. Berjejer nama-nama terkenal yang pemikiran serta semangat kepeloporannya selalu tumbuh membersamai perjalanan bangsa hingga memasuki usianya yang ke-78 tahun - "17 Agustus 1945-17 Agustus 2023". Dari Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Syahrir dan para pelopor-pelopor lainnya berkiprah sejak usia muda untuk mencapai kemerdekaan.
Peristiwa bersejarah pada medio 1928, yang oleh disebut banyak sejarawan dalam leksikon bangsa Indonesia merupakan puncak dari kebangkitan nasional, terpotret menjadi sangat monumental, lantaran pada masa ini, golongan muda dengan penuh keberanian - dan visioner - merumuskan manifesto politik terkait persatuan nasional. Kaum pemuda bersumpah setia untuk bertanah Air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia!
Manifesto politik 1928 datang dari kesadaran revolusioner kaum muda yang diucap secara jujur dan sukarela tanpa paksaan. Ikrar sumpah pemuda ini menjadi perekat yang makin mengokohkan langkah perjuangan kolektif dari segenap elemen bangsa dari berbagai latar kalangan untuk mewujudkan kemerdekaan sebagai suatu etalase menuju peradaban bangsa yang lebih berkeadilan dan bermartabat.
Para pemuda mampu keluar dari kelemekatannya atas identitas-identitas primordial, dimana diferensiasi yang “kontras” dilebur menjadi totalitas kesatuan yang koheren, atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Alih-alih perjuangan kaum muda terbentur ke dalam impase, justru yang ada malah sebaliknya: kesadaran yang tumbuh melampaui zamannya telah membawa perjuangan golongan muda menuju Indonesia sebagai rumah berbangsa dan bernegara.
Pemuda mampu menegaskan nasionalisme ke dalam identitas baru yang bernama Indonesia. Sejalan dengan apa yang dijelaskan R.E Elson (2009), melalui The Idea of Indonesia, bahwa semenjak medio akhir 1920-an, term Indonesia mengorbit jadi sebuah teks hegemonik, dimana gagasan-gagasan mengenai Indonesia diterima luas di kalangan kaum Bumiputera. Sehingga nilai-nilai keindonesiaan dapat dimengerti sebagai titik temu dari kemajemukan.
Secara prinsipil, nilai-nilai keindonesiaan merupakan resapan dari nilai dan cita-cita etis dan moral yang terkandung dalam budaya dan agama. Hal ini terpotret dari nilai luhur yang khas dan membudaya di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, sikap saling tolong-menolong, sopan santun, toleran dan peduli terhadap sesama tanpa menegasi yang berbeda. Nilai-nilai luhur inilah yang merupakan sandaran dari persatuan nasional.
Reinventing Kaum Muda
Kolonialisme telah lama lenyap dari bumi Nusantara. Kolonialisme kini tidak lagi menjadi problem yang hendak menghalangi perjalanan Indonesia dalam mencapai tujuan luhur yang didambakan oleh segenap komponen bangsa, yakni social justice. Social justice bukan hanya berkenaan dengan urusan ekonomi atau hukum an-sich, melainkan dimaknai secara luas dalam konteks kehidupan sosial masyarakat yang di dalamnya mencakup banyak hal: budaya hingga agama.
Kiprah kaum muda, tentunya, bukan semata cerita yang terpotret di literatur-literatur sejarah. Sebaliknya, membincangkan peran generasi muda tidak berarti dimaknai sebagai romantisme dari trayektori sejarah bangsa ini.
Membincangkan pemuda merupakan upaya menelaah pemikiran dan legacy yang dapat dijadikan titik tolak bagi generasi hari ini. Dengan demikian, membincangkan kaum muda adalah untuk menggali dan menemukan relevansinya untuk menuju satu abad Indonesia merdeka pada 2045.
Dewasa ini, bangsa Indonesia telah memasuki sebuah era yang dikenal dengan term bonus demografi (demography dividend). Di mana mayoritas penduduknya berada dalam usia produktif dari pada usia yang tidak produktif. Dalam literatur, fenomena bonus demografi, merujuk pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang bermula dari transformasi struktur usia penduduknya akibat adanya peralihan angka-angka kematian dan kelahiran (Jeffrey G Williamson, 2013).
Berdasarkan data Dukcapil Kemendagri (2022), tercatat kalau penduduk Indonesia per Juni 2022, mencapai 275,36 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, sebanyak 69,3% adalah penduduk usia produktif, sementara 30,7% merupakan tidak produktif. Era ini di proyeksi berlangsung dalam kurun waktu 2012 hingga tahun 2035, di mana momen puncaknya akan terjadi pada 2020 sampai 2030 (BPS, 2022).
Dalam sejarah suatu bangsa, momentum bonus demografi hanyalah muncul sekali dalam sejarah peradaban suatu bangsa. Artinya kesempatan langka ini harus mampu dimanfaatkan dan diberdayakan seoptimal mungkin agar peluang tersebut menjadi berkah, bukan sebaliknya: petaka! Tentu saja, peluang tersebut itu memiliki dimensi yang kompleks, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan urusan pembangunan ekonomi.
Karena itu, pemanfaatan peluang bonus demografi, hendaknya bertumpu ke dalam perencanaan-perencanaan yang komprehensif. Pemerintah tidak hanya dituntut agar memperluas kesempatan kerja, namun di luar itu, akses pada pendidikan berkualitas serta layanan kesehatan - utamanya, bagi ibu-ibu yang melahirkan dan menyusui - juga perlu ditingkatkan sebagai ikhtiar dalam membina potensi generasi masa depan Indonesia.
Bagaimanapun juga bonus demografi layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi peluang strategis dalam mendorong akselerasi pembangunan dengan catatan kesempatan tersebut bisa dimanfaatkan.
Di sisi yang lain, manakala kesempatan itu gagal dimanfaatkan, bisa memicu petaka yang ditandai oleh lahirnya pengangguran massal yang pada gilirannya akan menambah beban negara. Apalagi mayoritas penduduk yang berkategori produktif adalah anak muda.
Dengan komposisi bonus demografi yang di dalamnya didominasi penduduk berusia muda membuat posisi kaum muda menjadi sangat menentukan, Ini dikarenakan perjalanan bangsa menuju satu abad Indonesia merdeka di 2045 mendatang, sangat ditopang oleh kemampuan generasi muda Indonesia. Sebagai tulang punggung dari bangsa ini kedepan, pemuda harus mampu mengambil peranan aktif dalam agenda penting pembangunan.
Menuju Indonesia Emas 2045
Ada harapan ketika menginjak satu abad usia kemerdekaan bangsa Indonesia, pada 2045 mendatang, telah menjadi negara maju yang mandiri, menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), dan melestarikan kearifan lokal dan menjaga lingkungan hidup di tengah “perlombaan” bangsa-bangsa menjalankan pembangunan. Harapan tersebut bersemi dalam diri pemuda/i Indonesia sebagai pemegang estafet kepemimpinan di masa mendatang.
Harapan menjadi negara maju bukanlah mimpi yang tidak menemukan pijakannya di bumi Nusantara. Pasalnya, berdasarkan laporan dari International Monetary Fund (IMF), per 2 November 2022, perekonomian Indonesia masuk ke dalam 20 besar negara dengan ekonomi besar. Apalagi dengan potensi sumberdaya alam dan bonus demografi, peluang mewujudkan harapan menjadi negara maju, sangat terbuka luas, sejauh potensi tersebut dikelola dengan baik.
Pembacaan terhadap bonus demografi sejatinya tidak cukup kalau hanya dipahami sebatas transformasi struktur usia penduduk. Cara pandang semacam ini mereduksi potensi yang inheren dalam diri setiap pemuda yang dicirikan oleh pandangan yang visioner, inovatif, berkarakter dan memiliki optimisme yang tinggi. Karena itu kaum muda harus dilihat dari perspektif alternatif dalam jagad diskursus bonus demografi bangsa ini.
Melampaui pembacaan yang terpusat pada urusan usia, dalam paradigma alternatif, bonus demografi lebih ditekankan pada konfigurasi tingkat pendidikan dari segenap penduduk (Wolfgang Lutz, et.al., 2019). Dengan cara pandang ini, maka, peluang bonus demografi tidak dilihat melalui aspek keterampilan manusia (human capital).
Keterampilan menjadi kompas yang akan menuntun seseorang untuk mengambil peran luas dalam kehidupan sosial. Sehingga konstruksi politik terhadap kaum muda dilihat dalam konteks optimisme sebagai kekuatan.
Oleh karenanya, muda pengertian ini, mengacu kepada mindset, pola pikir dan cara pandang dalam memahami masa depan bangsanya mencapai asa ideal Indonesia emas 2045. Konsekuensinya, kaum muda bisa menjadi objek di satu sisi, sekaligus subjek pada sisi lainnya. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang punya kesempatan yang sama mendapat pendidikan dan pekerjaan.
Paling tidak, ada tiga hal yang bisa dilakukan generasi muda dalam konteks menuju Indonesia maju. Pertama, dalam aspek pengembangan sumber daya manusia.
Para generasi muda Indonesia yang terampil dan terdidik dapat berperan serta dalam mendorong akselerasi pendidikan rakyat yang merata berdasarkan dengan kapasitasnya, seperti mendirikan komunitas-komunitas “edukasi” informal. Aksi-aksi programatik yang demikian tergolong lebih muda di tengah revolusi digital.
Sementara dalam dimensi ekonomi, peranan kaum muda dapat di ejawantah melalui penanaman kesadaran kewirausahaan (entrepreneurship), baik di sektor pariwisata, pertanian hingga lingkungan hidup. Berdasarkan data Global Index (2019), tercatat, kemampuan Indonesia dalam menghasilkan kewirausahaan masih jauh tertinggal dari beberapa tetangganya di ASEAN. Paling pada periode tersebut, Indonesia ada diurutan ke-75 dari total 137 negara.
Kewirausahaan, sebagaimana ditandaskan oleh Joseph Schumpeter (1983) dalam “The Theory of Economic Development”, memiliki peranan penting sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi. Kehadiran entrepreneurship dapat mendorong inovasi, terciptanya lapangan pekerjaan baru, dan meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Artinya gerakan entrepreneurship menjadi alternatif golongan muda dalam meningkatkan kemandirian ekonomi.
Terakhir, dari dimensi tata kelola pemerintahan yang demokratis, para pemuda dapat menunjukkan kontribusinya dengan mendorong konsolidasi demokrasi Indonesia ke arah yang lebih substansial melalui penguatan kontrol masyarakat sipil. Peran ini melampaui sekadar urusan elektoralisme. Kaum muda dapat melakukan pendidikan politik yang diletakkan dalam satu tarikan napas demi tegaknya hak asasi manusia yang menjadi esensi dari demokrasi.
"HUT RI 17 Agustus 2023, Terus Melaju untuk Indonesia Maju"
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal HI PB HMI
Mahasiswa S3 Research in Management UPH
DALAM lintasan sejarah pergerakan bangsa Indonesia senantiasa mengukir peranan golongan muda yang spektakuler. Berjejer nama-nama terkenal yang pemikiran serta semangat kepeloporannya selalu tumbuh membersamai perjalanan bangsa hingga memasuki usianya yang ke-78 tahun - "17 Agustus 1945-17 Agustus 2023". Dari Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy'ari, Syahrir dan para pelopor-pelopor lainnya berkiprah sejak usia muda untuk mencapai kemerdekaan.
Peristiwa bersejarah pada medio 1928, yang oleh disebut banyak sejarawan dalam leksikon bangsa Indonesia merupakan puncak dari kebangkitan nasional, terpotret menjadi sangat monumental, lantaran pada masa ini, golongan muda dengan penuh keberanian - dan visioner - merumuskan manifesto politik terkait persatuan nasional. Kaum pemuda bersumpah setia untuk bertanah Air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia!
Manifesto politik 1928 datang dari kesadaran revolusioner kaum muda yang diucap secara jujur dan sukarela tanpa paksaan. Ikrar sumpah pemuda ini menjadi perekat yang makin mengokohkan langkah perjuangan kolektif dari segenap elemen bangsa dari berbagai latar kalangan untuk mewujudkan kemerdekaan sebagai suatu etalase menuju peradaban bangsa yang lebih berkeadilan dan bermartabat.
Para pemuda mampu keluar dari kelemekatannya atas identitas-identitas primordial, dimana diferensiasi yang “kontras” dilebur menjadi totalitas kesatuan yang koheren, atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Alih-alih perjuangan kaum muda terbentur ke dalam impase, justru yang ada malah sebaliknya: kesadaran yang tumbuh melampaui zamannya telah membawa perjuangan golongan muda menuju Indonesia sebagai rumah berbangsa dan bernegara.
Pemuda mampu menegaskan nasionalisme ke dalam identitas baru yang bernama Indonesia. Sejalan dengan apa yang dijelaskan R.E Elson (2009), melalui The Idea of Indonesia, bahwa semenjak medio akhir 1920-an, term Indonesia mengorbit jadi sebuah teks hegemonik, dimana gagasan-gagasan mengenai Indonesia diterima luas di kalangan kaum Bumiputera. Sehingga nilai-nilai keindonesiaan dapat dimengerti sebagai titik temu dari kemajemukan.
Secara prinsipil, nilai-nilai keindonesiaan merupakan resapan dari nilai dan cita-cita etis dan moral yang terkandung dalam budaya dan agama. Hal ini terpotret dari nilai luhur yang khas dan membudaya di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, sikap saling tolong-menolong, sopan santun, toleran dan peduli terhadap sesama tanpa menegasi yang berbeda. Nilai-nilai luhur inilah yang merupakan sandaran dari persatuan nasional.
Reinventing Kaum Muda
Kolonialisme telah lama lenyap dari bumi Nusantara. Kolonialisme kini tidak lagi menjadi problem yang hendak menghalangi perjalanan Indonesia dalam mencapai tujuan luhur yang didambakan oleh segenap komponen bangsa, yakni social justice. Social justice bukan hanya berkenaan dengan urusan ekonomi atau hukum an-sich, melainkan dimaknai secara luas dalam konteks kehidupan sosial masyarakat yang di dalamnya mencakup banyak hal: budaya hingga agama.
Kiprah kaum muda, tentunya, bukan semata cerita yang terpotret di literatur-literatur sejarah. Sebaliknya, membincangkan peran generasi muda tidak berarti dimaknai sebagai romantisme dari trayektori sejarah bangsa ini.
Membincangkan pemuda merupakan upaya menelaah pemikiran dan legacy yang dapat dijadikan titik tolak bagi generasi hari ini. Dengan demikian, membincangkan kaum muda adalah untuk menggali dan menemukan relevansinya untuk menuju satu abad Indonesia merdeka pada 2045.
Dewasa ini, bangsa Indonesia telah memasuki sebuah era yang dikenal dengan term bonus demografi (demography dividend). Di mana mayoritas penduduknya berada dalam usia produktif dari pada usia yang tidak produktif. Dalam literatur, fenomena bonus demografi, merujuk pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang bermula dari transformasi struktur usia penduduknya akibat adanya peralihan angka-angka kematian dan kelahiran (Jeffrey G Williamson, 2013).
Berdasarkan data Dukcapil Kemendagri (2022), tercatat kalau penduduk Indonesia per Juni 2022, mencapai 275,36 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, sebanyak 69,3% adalah penduduk usia produktif, sementara 30,7% merupakan tidak produktif. Era ini di proyeksi berlangsung dalam kurun waktu 2012 hingga tahun 2035, di mana momen puncaknya akan terjadi pada 2020 sampai 2030 (BPS, 2022).
Dalam sejarah suatu bangsa, momentum bonus demografi hanyalah muncul sekali dalam sejarah peradaban suatu bangsa. Artinya kesempatan langka ini harus mampu dimanfaatkan dan diberdayakan seoptimal mungkin agar peluang tersebut menjadi berkah, bukan sebaliknya: petaka! Tentu saja, peluang tersebut itu memiliki dimensi yang kompleks, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan urusan pembangunan ekonomi.
Karena itu, pemanfaatan peluang bonus demografi, hendaknya bertumpu ke dalam perencanaan-perencanaan yang komprehensif. Pemerintah tidak hanya dituntut agar memperluas kesempatan kerja, namun di luar itu, akses pada pendidikan berkualitas serta layanan kesehatan - utamanya, bagi ibu-ibu yang melahirkan dan menyusui - juga perlu ditingkatkan sebagai ikhtiar dalam membina potensi generasi masa depan Indonesia.
Bagaimanapun juga bonus demografi layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi peluang strategis dalam mendorong akselerasi pembangunan dengan catatan kesempatan tersebut bisa dimanfaatkan.
Di sisi yang lain, manakala kesempatan itu gagal dimanfaatkan, bisa memicu petaka yang ditandai oleh lahirnya pengangguran massal yang pada gilirannya akan menambah beban negara. Apalagi mayoritas penduduk yang berkategori produktif adalah anak muda.
Dengan komposisi bonus demografi yang di dalamnya didominasi penduduk berusia muda membuat posisi kaum muda menjadi sangat menentukan, Ini dikarenakan perjalanan bangsa menuju satu abad Indonesia merdeka di 2045 mendatang, sangat ditopang oleh kemampuan generasi muda Indonesia. Sebagai tulang punggung dari bangsa ini kedepan, pemuda harus mampu mengambil peranan aktif dalam agenda penting pembangunan.
Menuju Indonesia Emas 2045
Ada harapan ketika menginjak satu abad usia kemerdekaan bangsa Indonesia, pada 2045 mendatang, telah menjadi negara maju yang mandiri, menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), dan melestarikan kearifan lokal dan menjaga lingkungan hidup di tengah “perlombaan” bangsa-bangsa menjalankan pembangunan. Harapan tersebut bersemi dalam diri pemuda/i Indonesia sebagai pemegang estafet kepemimpinan di masa mendatang.
Harapan menjadi negara maju bukanlah mimpi yang tidak menemukan pijakannya di bumi Nusantara. Pasalnya, berdasarkan laporan dari International Monetary Fund (IMF), per 2 November 2022, perekonomian Indonesia masuk ke dalam 20 besar negara dengan ekonomi besar. Apalagi dengan potensi sumberdaya alam dan bonus demografi, peluang mewujudkan harapan menjadi negara maju, sangat terbuka luas, sejauh potensi tersebut dikelola dengan baik.
Pembacaan terhadap bonus demografi sejatinya tidak cukup kalau hanya dipahami sebatas transformasi struktur usia penduduk. Cara pandang semacam ini mereduksi potensi yang inheren dalam diri setiap pemuda yang dicirikan oleh pandangan yang visioner, inovatif, berkarakter dan memiliki optimisme yang tinggi. Karena itu kaum muda harus dilihat dari perspektif alternatif dalam jagad diskursus bonus demografi bangsa ini.
Melampaui pembacaan yang terpusat pada urusan usia, dalam paradigma alternatif, bonus demografi lebih ditekankan pada konfigurasi tingkat pendidikan dari segenap penduduk (Wolfgang Lutz, et.al., 2019). Dengan cara pandang ini, maka, peluang bonus demografi tidak dilihat melalui aspek keterampilan manusia (human capital).
Keterampilan menjadi kompas yang akan menuntun seseorang untuk mengambil peran luas dalam kehidupan sosial. Sehingga konstruksi politik terhadap kaum muda dilihat dalam konteks optimisme sebagai kekuatan.
Oleh karenanya, muda pengertian ini, mengacu kepada mindset, pola pikir dan cara pandang dalam memahami masa depan bangsanya mencapai asa ideal Indonesia emas 2045. Konsekuensinya, kaum muda bisa menjadi objek di satu sisi, sekaligus subjek pada sisi lainnya. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang punya kesempatan yang sama mendapat pendidikan dan pekerjaan.
Paling tidak, ada tiga hal yang bisa dilakukan generasi muda dalam konteks menuju Indonesia maju. Pertama, dalam aspek pengembangan sumber daya manusia.
Para generasi muda Indonesia yang terampil dan terdidik dapat berperan serta dalam mendorong akselerasi pendidikan rakyat yang merata berdasarkan dengan kapasitasnya, seperti mendirikan komunitas-komunitas “edukasi” informal. Aksi-aksi programatik yang demikian tergolong lebih muda di tengah revolusi digital.
Sementara dalam dimensi ekonomi, peranan kaum muda dapat di ejawantah melalui penanaman kesadaran kewirausahaan (entrepreneurship), baik di sektor pariwisata, pertanian hingga lingkungan hidup. Berdasarkan data Global Index (2019), tercatat, kemampuan Indonesia dalam menghasilkan kewirausahaan masih jauh tertinggal dari beberapa tetangganya di ASEAN. Paling pada periode tersebut, Indonesia ada diurutan ke-75 dari total 137 negara.
Kewirausahaan, sebagaimana ditandaskan oleh Joseph Schumpeter (1983) dalam “The Theory of Economic Development”, memiliki peranan penting sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi. Kehadiran entrepreneurship dapat mendorong inovasi, terciptanya lapangan pekerjaan baru, dan meningkatkan penerimaan negara melalui pajak. Artinya gerakan entrepreneurship menjadi alternatif golongan muda dalam meningkatkan kemandirian ekonomi.
Terakhir, dari dimensi tata kelola pemerintahan yang demokratis, para pemuda dapat menunjukkan kontribusinya dengan mendorong konsolidasi demokrasi Indonesia ke arah yang lebih substansial melalui penguatan kontrol masyarakat sipil. Peran ini melampaui sekadar urusan elektoralisme. Kaum muda dapat melakukan pendidikan politik yang diletakkan dalam satu tarikan napas demi tegaknya hak asasi manusia yang menjadi esensi dari demokrasi.
"HUT RI 17 Agustus 2023, Terus Melaju untuk Indonesia Maju"
(poe)