Aspek Hukum Masalah Koneksitas
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KONEKSITAS adalah suatu tata cara proses pemeriksaan dalam suatu tindak pidana di mana pelaku anggota militer dan orang sipil bersama-sama diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Hukum acara yang berlaku adalah hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana militer.
Kekhususan dalam hukum acara disebabkan status hukum pelakunya adalah anggota militer, yakni yang masih aktif berdinas di kesatuan TNI. Di dalam UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 89 ayat (1) dinyatakan, bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Polisi Militer ABRI dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
Selanjutnya di dalam Pasal 90 ayat (1) dinyatakan bahwa, untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, di dalam hal terjadi koneksitas maka pertama, terdapat dua opsi jenis peradilan yang berwenang mengadili yaitu peradilan umum sebagai opsi pertama dan memiliki status kewenanngan preferensi.
Opsi kedua, pengadilan militer akan tetapi untuk menetapkan kewenangan peradilan militer harus ada syarat yaitu keputusan Menteri Pertahanan atas persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang Mahkamah Agung). Hal ini belum diubah sejalan dengan kedudukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan yang sejak reformasi 1998 telah dipisahkan dari Kementerian Kehakiman.
Dalam konteks ini maka kewenangan penyidik Puspom ABRI tidak serta merta memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Pembentukan Tim Tetap harus terlebih dulu didasarkan penetapan Menteri Pertahanan yang disetujui Menteri Kehakiman (Mahkamah Agung) sehingga selama peraturan peralihan tentang pelimpahan wewenang dari Menteri Kehakiman ke Ketua MA dalam hal koneksitas belum terjadi maka ketentuan koneksitas Pasal 89 s/d Pasal 94 dalam KUHAP belum dapat dilaksanakan secara efektif dan tuntas.
Perkara suap Basarnas yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan telah menimbulkan pro dan kontra soal kewenangan Puspom ABRI terbukti premature karena perubahan ketentuan Pasal 98 dalam hal persetujuan Menteri Kehakiman belum diubah sampai saat ini.
Dalam keadaan hukum yang bersifat status quo maka KPK sesuai dengan UU KPK yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukan Puspom ABRI atau Tim Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP dan sebagainya.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KONEKSITAS adalah suatu tata cara proses pemeriksaan dalam suatu tindak pidana di mana pelaku anggota militer dan orang sipil bersama-sama diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Hukum acara yang berlaku adalah hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana militer.
Kekhususan dalam hukum acara disebabkan status hukum pelakunya adalah anggota militer, yakni yang masih aktif berdinas di kesatuan TNI. Di dalam UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 89 ayat (1) dinyatakan, bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Polisi Militer ABRI dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
Selanjutnya di dalam Pasal 90 ayat (1) dinyatakan bahwa, untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, di dalam hal terjadi koneksitas maka pertama, terdapat dua opsi jenis peradilan yang berwenang mengadili yaitu peradilan umum sebagai opsi pertama dan memiliki status kewenanngan preferensi.
Opsi kedua, pengadilan militer akan tetapi untuk menetapkan kewenangan peradilan militer harus ada syarat yaitu keputusan Menteri Pertahanan atas persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang Mahkamah Agung). Hal ini belum diubah sejalan dengan kedudukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan yang sejak reformasi 1998 telah dipisahkan dari Kementerian Kehakiman.
Dalam konteks ini maka kewenangan penyidik Puspom ABRI tidak serta merta memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Pembentukan Tim Tetap harus terlebih dulu didasarkan penetapan Menteri Pertahanan yang disetujui Menteri Kehakiman (Mahkamah Agung) sehingga selama peraturan peralihan tentang pelimpahan wewenang dari Menteri Kehakiman ke Ketua MA dalam hal koneksitas belum terjadi maka ketentuan koneksitas Pasal 89 s/d Pasal 94 dalam KUHAP belum dapat dilaksanakan secara efektif dan tuntas.
Perkara suap Basarnas yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dan telah menimbulkan pro dan kontra soal kewenangan Puspom ABRI terbukti premature karena perubahan ketentuan Pasal 98 dalam hal persetujuan Menteri Kehakiman belum diubah sampai saat ini.
Dalam keadaan hukum yang bersifat status quo maka KPK sesuai dengan UU KPK yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukan Puspom ABRI atau Tim Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP dan sebagainya.