Anggota Kehormatan Mapala UI Ini Dorong Generasi Muda Suka Berlayar

Selasa, 01 Agustus 2023 - 02:11 WIB
loading...
Anggota Kehormatan Mapala UI Ini Dorong Generasi Muda Suka Berlayar
Bedah Buku Susuk Kapal Borobudur di Tentang Kopi, Cilangkap, Jakarta Timur, Sabtu (30/7/2023). FOTO/SINDOnews/HENDRI IRAWAN
A A A
JAKARTA - Anggota Kehormatan Mapala Universitas Indonesia (UI) Syamsirwan Ichien mendorong generasi muda menyukai dunia berlayar dan mengetahui tentang kapal layar atau kapal kayu tradisional buatan Indonesia. Menurut Ichien, sebagai bangsa bahari dan terkenal dengan slogannya Nenek Moyangku Orang Pelaut,sudah sepatutnya generasi muda Indonesia tahu tentang dunia berlayar.

"Minimal tahu apa itu kapal layar, bagaimana mengemudikannya. Ini penting agar generasi muda Indonesia tidak kehilangan identitas kebangsaannya," tutur Ichien dalam acara bedah buku Susuk Kapal Borobudurdi Tentang Kopi, Cilangkap, Jakarta Timur, Sabtu (30/7/2023).

Ichien bercerita, pada 1988 silam, seorang jurnalis sekaligus petualang, Effendi Sulaiman pernah berlayar dengan perahu kayu berukuran kecil. Ekspedisi yang diberi nama Cadik Nusantara ini dilakukan Effendi Sulaiman seorang diri dan sukses berlayar sampai ke Brunei Darussalam.

"Saya waktu itu sempat mendokumentasikan ekspedisi tersebut, memotret kapalnya dan sempat juga menjajal kapalnya. Tapi sayang, walau banyak catatan dan berita di media tentang ekspedisi Cadik Nusantara tersebut, tapi tidak sempat dibukukan. Jadi generasi muda juga banyak yang tidak tahu ceritanya, terputus," ujar Ichien.

Ia mengatakan, dengan hadirnya buku Susuk Kapal Borobudurbisa menambah bacaan dan sedikit memberi pengetahuan tentang dunia pelayaran kepada generasi muda.

"Apalagi buku ini ditulis langsung oleh empat kru dari tim Ekspedisi Kapal Borobudur dan bukunya bergaya novel pula, sehingga enteng dibaca. Mudah-mudahan generasi muda khususnya kalangan milenial menyenangi buku ini, dan tertarik untuk berlayar," katanya.

Setali tiga uang, salah satu penulis buku, Muhammad Habibie juga berharap, buku yang mereka tulis bisa menularkan semangat cinta bahari kepada generasi muda.

"Orang Indonesia memang banyak yang bisa buat kapal dari kayu. Tapi tak banyak lagi masyarakat kita yang paham dua pengetahuan manual tentang kapal, yakni ilmu perbintangan atau navigasi laut, dan teknik melayarkan kapal. Hanya segelintir orang yang tahu cara menaikkan layar, mengendalikan kemudi kapal," ujar Habibie.

Untuk itulah, kata Habibie, dirinya bersama tiga penulis lainnya, yakni Abdul Aziz, Mujoko dan Irvan Risnandar, berinisiatif menulis tentang pengalaman Ekspedisi Kapal Borobudur yang mereka jalani, dalam sebuah buku.

"Kita ingin memberikan manfaat lebih kepada generasi muda tentang ekspedisi yang pernah kita jalani dulu, tahun 2003. Agar generasi muda tahu tentang kebaharian, tahu tentang kapal berikut potensi lautnya yang luas, yang pada akhirnya generasi muda punya ketertarikan untuk berlayar," tukasnya.

Novelis Irene Dyah Respati mengucapkan terima kasih atas hadirnya buku novel Susuk Kapal Borobudur. Dia berharap, ke depan semakin banyak lagi buku khususnya novel yang bercerita tentang kapal atau dunia pelayaran.

"Bangsa kita kan bangsa bahari, yang tentunya tak lepas dari kapal. Tapi, sepengetahuan saya hanya ada satu novel yang bercerita tentang kapal, judulnya Pada Sebuah Kapal, yang ditulis Nh Dini. Jadi sangat kurang sekali," katanya.

Tentang Buku Susuk Kapal Borobudur

Sementara itu, dalam acara bedah buku Susuk Kapal Borobudurdiungkapkan, bahwa cerita dalam buku diambil dari kisah perjalanan Ekspedisi Kapal Borobudur yang berlayar dari Indonesia ke Afrika dalam rangka membawa misi kebudayaan pada 2003 silam.

Selain bercerita tentang petualangan, historis, dan seabrek dinamika selama pelayaran, kisah di novel ini tentunya membangkitkan memori tentang narasi besar bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari.

Anak-anak muda Indonesia yang saat itu menjadi kru Kapal Borobudur sebagai wujud nyata untuk membangkitkan semangat bahari pemuda Nusantara. Ketangguhan mereka mengarungi lautan dan samudera selama perjalanan Ekspedisi Kapal Borobudur, hal luar biasa yang patut diapresiasi.

Selama tujuh bulan, para kru yang saat itu masih berstatus mahasiswa mengendarai kapal kayu berukuran 18,29 meter, menempuh medan berat perairan Indonesia-Afrika yang berjarak 11.000 mil.

Kapal layar tak bermesin yang hanya mengandalkan kekuatan angin, lepas landas dari laut Pagerungan, Jawa Timur (tempat dibuatnya Kapal Borobudur), tiba di perairan Ancol Jakarta (dilepas secara resmi oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri), menjelajah dua samudera Hindia dan Atlantik, melintasi Madagaskar, hingga berakhir di Ghana, Afrika.

Relief di Dinding Candi Borobudur

Diceritakan pula dalam buku terbitan Kayasa ini, Ekspedisi Kapal Borubudur digagas Philip Belae, saat berkunjung untuk kali pertama ke Candi Borobudur, pada 8 November 1982.

Kala itu, turis asal Inggris yang masih berusia 20 tahun ini mengamati dengan seksama panel demi panel relief pada dinding Candi Borobudur. Bak membaca lembaran buku, ia terpaku saat matanya menatap relief Jataka-Avadana panel 86.

"Wow, menakjubkan! Kapal apa ini?" lama kakinya terpaku di tempat itu. Ketika sudah beranjak lagi, dia kembali menemukan panel yang menggambarkan kapal. "Paling tidak ada tiga jenis kapal," ujar Philip sebagaimana ditulis dalam buku ini.

Philip langsung membidikkan kamera yang dibawanya ke relief-relief candi. Ia tak mau ada bagian relief yang terlewatkan. Setiap detail relief direkam dengan penuh seksama. Tak terasa ia sudah menghabiskan 6 jam hanya untuk membaca 2.672 panel relief. Tentu, waktu paling lama dihabiskan di panel-panel yang menggambarkan keberadaan kapal.

Kembali ke negaranya, Philip melanjutkan kuliah jurusan politik di The University of Hull, di negerinya Ratu Elizabeth II. Memori relief-relief di Candi Borobudur itu selalu menggoda hati. "Aku akan mewujudkan kisah yang ada pada relief Borobudur," gumam dia.

Kapal siapa itu, sampai di mana kapal itu berlayar, dan untuk apa kapal itu berlayar? Rentetan pertanyaan itu selalu tergiang-ngiang di kepala Philip. Waktu berlalu bak kitiran tanpa henti. Telah empat tahun berlalu. Philip sudah berdinas di Angkatan Laut Inggris dengan pangkat Letnan Dua.

Sebagai perwira muda, ia pernah keliling Eropa dengan kapal perusak HMS Cardiff. Tapi pelet relief Candi Borobudur yang menggambarkan belasan pelaut tengah berlayar dengan kapal bercadik dan tiga layar itu kian melekat pekat di benaknya.

"Kalau dari slogan orang Indonesia yang sering mengaku nenek moyang pelaut, sangat masuk akal karena wilayah mereka kepulauan. Tidak ada cara lain selain berlayar untuk berhubungan antarpulau," demikian Philip merenung. Ia juga paham, banyak pelaut asal Indonesia saat ini yang menjadi pelaut di kapal niaga di seantero dunia.

Benarkah dulu nenek moyang bangsa Indonesia pelaut, atau kerjanya sekadar menarik jangkar, memutar kemudi, dan membalik layar, dengan kata lain hanya pekerja? Atau sebaliknya, suatu bangsa yang di samping pelaut tangguh juga menguasai jalur perdagangan laut, memiliki angkatan perang laut yang disegani, dan nelayannya hidup layak pada masanya?

Philip terus mencoba-coba menerka dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rumitnya itu. Hingga akhirnya, setelah 21 tahun berselang, persisnya tahun 2003 atau saat Philip berusia 41 tahun, barulah ia kembali lagi ke Indonesia.

Bersama para pemuda tangguh Indonesia dan dari sejumlah negara lainnya, Philip mewujudkan mimpi besarnya. Membuat Ekspedisi Kapal Borobudur yang di-support penuh oleh Pemerintah Indonesia dan pihak terkait lainnya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4317 seconds (0.1#10.140)