Transformasi Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Minggu, 30 Juli 2023 - 21:39 WIB
loading...
Transformasi Tata Kelola...
Khudori - Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Foto/Dok Pribadi
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

Pemerintah bersama PT Pupuk Indonesia (Persero) tengah menggodok perubahan skema subsidi pupuk menjadi bantuan langsung yang disalurkan ke rekening perbankan atau dompet digital milik petani. Rencana ini sebagai respons Presiden Joko Widodo pada rapat 15 Maret 2023 yang meminta agar harga pupuk di pasar hanya satu. Tidak seperti saat ini: barang yang sama tapi harganya berbeda antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi. Disparitas harga yang besar itu menjadi salah satu sumber moral hazard.

Transformasi skema subsidi dari subsidi barang ke subsidi langsung memerlukan dukungan sistem hulu-hilir. Di hulu, titik krusial adalah menyediakan data valid penerima subsidi. Pemerintah kin mengintegrasikan data petani di Kementerian Pertanian dengan data Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Di hilir atau penyaluran saat ini pemerintah tengah mengujicoba iPubers, aplikasi integrasi pupuk bersubsidi dari PT Pupuk Indonesia (Persero) dan Kementerian Pertanian yang diluncurkan Juni 2023. Pada Agustus 2023, pemerintah menargetkan iPubers diintegrasikan dengan kartu tani digital.

Gagasan mengubah skema pupuk dari subsidi barang ke subsidi orang sebenarnya sudah diwacanakan sejak 2015. Namun, wacana itu menggantung karena tidak pernah dieksekusi. Selain anggaran yang besar (rerata Rp25 triliun per tahun), problematika pupuk bersubsidi adalah disparitas antara kebutuhan dan ketersediaan serta efektifitas subsidi, baik dalam penyaluran maupun hasil produksi.

Merujuk data kebutuhan di e-RDKK, kebutuhan tahunan pupuk sekitar 24 juta ton, tapi yang disediakan sekitar 40%.
Sebagai sasaran pokok, program pupuk bersubsidi diletakkan sebagai instrumen dalam peningkatan produksi komoditas pertanian. Sayangnya, ketika anggaran subsidi pupuk terus naik dalam satu dekade terakhir ternyata tidak diikuti peningkatan produksi pangan. Bahwa pupuk hanya salah satu dari sekian faktor penentu produksi adalah benar.Akan tetapi, pupuk adalah kebutuhan primer yang tidak bisa digantikan oleh yang lain.

Menjadi krusial jika salah satu penentu produksi ini juga bersoal dalam penyaluran.Merujuk kajian Ombudsman RI (2021), ada lima potensi malaadministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi. Pertama, kriteria detail petani penerima pupuk bersubsidi tidak dituangkan dalam peraturan, dalam hal ini Peraturan Menteri Pertanian. Kedua, data petani penerima pupuk bersubsidi tidak akurat. Data petani penerima pupuk bersubsidi dikumpulkan setiap tahun dengan proses lama tetapi berujung tidak akurat. Jika data yang tidak akurat ini dijadikan dasar perencanaan penyaluran, ujungnya akan bikin runyam.

Ketiga, akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi terbatas. Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6 tepat: tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Kelima, mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi belum efektif. Dari lima persoalan yang disigi Ombudsman, titik krusial ada pada satu hal: data. Dalam konteks ini, data Sensus Pertanian (ST) 2023 bisa jadi opsi perbaikan tata kelola.

ST 2023 mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi termutakhir, termasuk teknologi geospasial. Dengan teknologi geospasial, ST 2023 dapat menghasilkan secara akurat data pelaku usaha pertanian by name by address berikut volume usaha. Baik luasan lahan maupun lokasi usaha. Dengan data seperti ini, ST 2023 menyediakan basis data yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesesaikan berbagai persoalan yang masih membelit sektor pertanian, seperti subsidi sarana produksi pertanian yang tidak tepat. Dari semua subsidi sarana produksi saat ini, yang penting adalah subsidi pupuk.

Transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsidi langsung, pertama-tama harus dimulai dari sasaran subsidi: petani seperti apa yang berhak menerima pupuk subsidi? Merujuk Permentan No. 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, penyaluran pupuk bersubsidi ditujukan untuk petani yang mampu memenuhi syarat. Yakni petani yang tergabung di kelompok tani, terdaftar di SIMLUHTAN, menggarap lahan maksimal dua hektare, dan menggunakan Kartu Tani. Petani bisa menebus pupuk bersubsidi di kios-kios resmi yang ditentukan untuk melayani kelompok tani setempat.

Persyaratan ini, di satu sisi, amat longgar alias kurang detail. Apakah hanya petani pemilik atau termasuk petani penggarap dan penyewa? Apa mencakup semua usahatani? Dalam regulasi baru, dua jenis pupuk bersubsidi (ZA dan NPK) hanya buat 9 komoditas: padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Pembatasan 9 komoditas ini tentu tidak adil bagi petani yang mengusahakan komoditas di luar 9 ini. Di sisi lain, luas diketahui bahwa hanya sebagian kecil petani tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di SIMLUHTAN. Syarat ini, lagi-lagi, tak adil bagi petani.

Pembatasan petani berlahan maksimal dua hektare juga tidak adil. Apalagi, tidak membedakan petani pangan, petani hortikultura, dan petani lain. Data yang dikumpulkan ST 2023 ihwal petani kecil juga bisa dipertimbangkan. Berbeda dengan sensus sebelumnya, ST 2023 mengadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi FAO. FAO mengklasifikasi petani kecil dalam 2 ukuran: fisik dan ekonomi. Ukuran fisik mencakup lahan pertanian yang dikelola dan jumlah ternak yang dipelihara. Petani yang mengelola lahan pertanian kurang 2 hektare dan ternak kurang dari 3 tropical livestock unit (TLU, 1 TLU setara dengan seekor sapi) tergolong petani kecil. Dari sisi ekonomi, petani yang berpendapatan kurang Rp18,8 juta dalam setahun dikategorikan sebagai petani kecil.

Apapun kriteria yang dianut, penting untuk menimbang ketersediaan anggaran dan prinsip keadilan. Anggaran yang terbatas di satu sisi, sementara tuntutan subsidi amat luas di sisi lain, aspek prioritas jadi keniscayaan. Salah satu yang patut dipertimbangkan adalah aspek penguatan ketahanan pangan negara. Dari sini bisa diturunkan komoditas apa saja yang menjadi prioritas, demikian pula sasaran penerima subsidi. Desain ini mesti diintegrasikan dengan cadangan pangan pemerintah, yang pengelolaannya diserahkan ke BUMN pangan. Pendek kata, transformasi skema subsidi pupuk dari subsidi barang ke subsisi orang harus dibarengi dengan penciptaan ekosistem hulu-hilir yang terintegrasi.
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1152 seconds (0.1#10.140)