KPK Minta Maaf ke TNI dalam Kasus Basarnas, Ini Kata Pukat UGM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) meminta maaf kepada TNI atas penetapan tersangka dua anggota TNI. Keduanya adalah Kepala Basarnas 2021-2023 Marsdya TNI (Purn) Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenurrohman menilai, permintaan maaf itu satu-satunya langkah yang bisa ditempuh KPK karena tidak ada dasar hukum dalam menetapkan anggota TNI aktif sebagai tersangka.
"Memang saya pribadi tidak menemukan dasar hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan ketika KPK menetapkan seorang anggota TNI aktif sebagai tersangka," katanya kepada SINDOnews, Jumat (28/7/2023) malam.
Zainurrohman menjelaskan, sebenarnya ada yang bisa dilakukan KPK jika menemukan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan bersama-sama antara pelaku sipil dan militer. KPK bisa membentuk tim koneksitas yang bekerja sejak tahap penyidikan.
Tim koneksitas terdiri dari unsur KPK, Puspom TNI, dan auditor militer. Pembentukan tim koneksitas ini diatur dalam Pasal 89, 90, 91 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun pembentukan tim koneksitas itu dengan persetujuan bersama antara KPK dengan TNI.
"Dan nanti begitu juga di dalam proses peradilannya," katanya.
Ketika kerugiannya lebih dominan kepada kepentingan umum, maka proses peradilannya di pengadilan umum. Namun jika kerugiaannya condok pada kepentingan militer, maka persidangannya di pengadilan militer.
Menurut Zaenurrohman, kerugian dalam kasus Basarnas lebih condong di bidang SAR dan di bidang lebih besar. Karena bukan kerugian di lingkungan militer, maka seharusnya ini diadili di lingkungan pengadilan umum.
"Tetapi gitu ya sekali lagi proses penyidikan dan penuntutannya dilakukan oleh tim koneksitas," katanya.
Melihat langkah KPK yang melakukan tangkap tangan kemudian menetapkan seorang anggota TNI aktif sebagai tersangka, kata Zaenurrohman, memunculkan pertanyaan soal dasar hukumnya. Seharusnya ketika melakukan operasi tangkap tangan, KPK boleh menangkap sipil dan militernya. Selanjutnya pelaku sipil bisa langsung ditetapkan tersangka dalam waktu 1 x 24 jam, sedangkan pelaku militer diserahkan kepada Puspom TNI.
"Tetapi idealnya adalah sebelumnya juga sudah ada komunikasi, sehingga bisa dibentuk tim koneksitas itu tadi," katanya.
Terkait permintaan maaf KPK kepada TNI, menurut Zaenurrohman, berdampak kepada citra profesionalitas KPK. Namun dia menduga KPK mengambil keputusan tangkap tangan karena melihat dari berbagai kasus di masa lalu yang pernah ditangani. Antara lain adalah korupsi pengadaan helikopter Agusta di lingkungan Badan Keamanan Laut (Bakamla). KPK menganggap penanganan kasus tersebut tidak lancar.
Zaenurrohman juga melihat tidak tepat ketika pimpinan KPK menyalahkan penyidik. Sebab, penetapan seseorang menjadi tersangka sudah dilakukan gelar perkara di depan direktur, deputi, dan pimpinan KPK.
"Di samping itu sprindiknya ditandatangani oleh pimpinan KPK, sehingga seharusnya jangan menyalahkan penyidik. Tidak tepat menyalahkan dan kemudian kesalahan itu memang tidak bisa lepas dari pimpinan bukan kemudian menyalahkan anak buah," katanya.
Peneliti Pukat UGM ini mendorong pembentukan tim koneksitas untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi di Basarnas, sehingga bisa memberikan jaminan rasa keadilan masyarakat. Zaenurrohman juga berharap kasus ini disidangkan di peradilan umum, termasuk pelaku militernya.
Meski sesuai KUHP, TNI bisa mengambil kebijakan menangani sendiri kasus yang melibatkan anggotanya tapi ada satu ketentuan undang-undang yang mengikat semua pihak, yaitu Pasal 42 Undang-Undang 32 tentang KPK. Pasal itu menyebutkan KPK berwenang mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan penyidikan dan penuntutan yang tindak pidananya itu dilakukan bersama-sama antara sipil dan militer.
"Jadi KPK itu bisa mengkoordinasikan dan mengendalikan prosesnya. Sehingga jangan sampai ada disparitas, jadi pilihannya ada dua ya dibentuk tim konektivitas atau dilakukan sendiri. Tetapi kalau dilakukan sendiri-sendiri KPK harus melakukan koordinasi dan pengendalian perkara itu, itu undang-undang yang memberi jaminan," katanya.
Zaenurrohman percaya Puspom TNI akan terbuka dalam perkara yang sudah diketahui publik secara luas. Dalam peradilan akan terlihat dengan jelas bagaimana perkara ini dilakukan oleh para pihak.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenurrohman menilai, permintaan maaf itu satu-satunya langkah yang bisa ditempuh KPK karena tidak ada dasar hukum dalam menetapkan anggota TNI aktif sebagai tersangka.
"Memang saya pribadi tidak menemukan dasar hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan ketika KPK menetapkan seorang anggota TNI aktif sebagai tersangka," katanya kepada SINDOnews, Jumat (28/7/2023) malam.
Zainurrohman menjelaskan, sebenarnya ada yang bisa dilakukan KPK jika menemukan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan bersama-sama antara pelaku sipil dan militer. KPK bisa membentuk tim koneksitas yang bekerja sejak tahap penyidikan.
Tim koneksitas terdiri dari unsur KPK, Puspom TNI, dan auditor militer. Pembentukan tim koneksitas ini diatur dalam Pasal 89, 90, 91 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun pembentukan tim koneksitas itu dengan persetujuan bersama antara KPK dengan TNI.
"Dan nanti begitu juga di dalam proses peradilannya," katanya.
Ketika kerugiannya lebih dominan kepada kepentingan umum, maka proses peradilannya di pengadilan umum. Namun jika kerugiaannya condok pada kepentingan militer, maka persidangannya di pengadilan militer.
Menurut Zaenurrohman, kerugian dalam kasus Basarnas lebih condong di bidang SAR dan di bidang lebih besar. Karena bukan kerugian di lingkungan militer, maka seharusnya ini diadili di lingkungan pengadilan umum.
"Tetapi gitu ya sekali lagi proses penyidikan dan penuntutannya dilakukan oleh tim koneksitas," katanya.
Melihat langkah KPK yang melakukan tangkap tangan kemudian menetapkan seorang anggota TNI aktif sebagai tersangka, kata Zaenurrohman, memunculkan pertanyaan soal dasar hukumnya. Seharusnya ketika melakukan operasi tangkap tangan, KPK boleh menangkap sipil dan militernya. Selanjutnya pelaku sipil bisa langsung ditetapkan tersangka dalam waktu 1 x 24 jam, sedangkan pelaku militer diserahkan kepada Puspom TNI.
"Tetapi idealnya adalah sebelumnya juga sudah ada komunikasi, sehingga bisa dibentuk tim koneksitas itu tadi," katanya.
Terkait permintaan maaf KPK kepada TNI, menurut Zaenurrohman, berdampak kepada citra profesionalitas KPK. Namun dia menduga KPK mengambil keputusan tangkap tangan karena melihat dari berbagai kasus di masa lalu yang pernah ditangani. Antara lain adalah korupsi pengadaan helikopter Agusta di lingkungan Badan Keamanan Laut (Bakamla). KPK menganggap penanganan kasus tersebut tidak lancar.
Zaenurrohman juga melihat tidak tepat ketika pimpinan KPK menyalahkan penyidik. Sebab, penetapan seseorang menjadi tersangka sudah dilakukan gelar perkara di depan direktur, deputi, dan pimpinan KPK.
"Di samping itu sprindiknya ditandatangani oleh pimpinan KPK, sehingga seharusnya jangan menyalahkan penyidik. Tidak tepat menyalahkan dan kemudian kesalahan itu memang tidak bisa lepas dari pimpinan bukan kemudian menyalahkan anak buah," katanya.
Peneliti Pukat UGM ini mendorong pembentukan tim koneksitas untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi di Basarnas, sehingga bisa memberikan jaminan rasa keadilan masyarakat. Zaenurrohman juga berharap kasus ini disidangkan di peradilan umum, termasuk pelaku militernya.
Meski sesuai KUHP, TNI bisa mengambil kebijakan menangani sendiri kasus yang melibatkan anggotanya tapi ada satu ketentuan undang-undang yang mengikat semua pihak, yaitu Pasal 42 Undang-Undang 32 tentang KPK. Pasal itu menyebutkan KPK berwenang mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan penyidikan dan penuntutan yang tindak pidananya itu dilakukan bersama-sama antara sipil dan militer.
"Jadi KPK itu bisa mengkoordinasikan dan mengendalikan prosesnya. Sehingga jangan sampai ada disparitas, jadi pilihannya ada dua ya dibentuk tim konektivitas atau dilakukan sendiri. Tetapi kalau dilakukan sendiri-sendiri KPK harus melakukan koordinasi dan pengendalian perkara itu, itu undang-undang yang memberi jaminan," katanya.
Zaenurrohman percaya Puspom TNI akan terbuka dalam perkara yang sudah diketahui publik secara luas. Dalam peradilan akan terlihat dengan jelas bagaimana perkara ini dilakukan oleh para pihak.
(abd)