Dinasti Politik, Sinyal Kuat Makin Tergerusnya Demokrasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Politik dinasti kembali menguat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Gibran Rakabuming Raka (putra Presiden Jokowi), Bobby Nasution (menantu Jokowi), Rahayu Saraswati (keponakan Prabowo Subianto), Siti Nur Azizah (putri Ma’ruf Amin), dan Hanindhito Himawan Pramono (putra Pramono Anung), meramaikan palagan Pilkada 2020.
(Baca: Politik Dinasti Jangan Sampai Reduksi Kualitas Calon)
Pengamat politik Anang Sujoko menerangkan fenomena ini menunjukkan ternyata menjadi penguasa di Indonesia itu menyenangkan atau menguntungkan. Ini menjadi sebuah sinyal bahwa demokrasi semakin tergerus dan kaderisasi parpol gagal.
“Dinasti menunjukkan bahwa popularitas instan membutuhkan biaya yang tidak tinggi. Jika berhasil, akan mengantarkan ke peningkatan elektabilitas,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (28/7/2020).
Dinasti politik selalu hadir dalam pilkada maupun pemilihan legislatif. Sebelum nama-nama itu muncul, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang bertarung dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Lalu, ada Andika Hazrumy yang maju sebagai calon Wagub Banten. Andika merupakan anak dari mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
(Baca: Jokowi Dorong Gibran, Bung Karno sampai Amien Rais Juga Punya Regenerasi)
Keberuntungan tidak selalu menyertai anak, isteri atau kerabat dari tokoh politik. AHY harus menelan pil pahit setelah tumbang di putaran pertama. Nasib serupa pernah dialami isteri dari mantan Bupati Bandung Barat (alm) Abu Bakar, Elin Suharliah. Elin kalah di dari pasangan Aa Umbara-Hengky Kurniawan pada pilkada 2018.
Andika berhasil duduk sebagai Banten-2. Terpilihnya Andika boleh dibilang sebuah anomali meskipun bukan sebagai Banten-1. Dalam waktu beberapa tahun terakhir dua keluarga besarnya terlibat korupsi, yakni sang Ibu Ratu Atut dan paman, Tubagus Chaeri Wardana. Namun, itu tidak mempengaruhi pilihan politik masyarakat Banten.
Anang mengatakan perilaku pemilih Indonesia masih didominasi sikap pragmatisme emosional. Bukan kritis terhadap janji politik, kebijakan yang pernah dilakukan, dan rekam jejak di masa lalu.
(Baca: Soal Isu Dinasti Politik Jokowi, Ini Jawaban Gamblang Gibran)
Dosen Universitas Brawijaya itu menuturkan keuntungan dari dinasti politik itu coba diteruskan kepada lingkaran dalam keluarga. Asumsinya, menurut Anang, tokoh-tokoh tersebut ingin kesejahteraan diprioritaskan ke keluarganya terlebih dahulu.
“Ini menjadi sinyal bahwa visi dan misi pemimpin atau tokoh kita yang menjalankan politik dinasti sangat sempit. Ini patut dipertanyakan visi menyejahterakan rakyat,” pungkasnya.
(Baca: Politik Dinasti Jangan Sampai Reduksi Kualitas Calon)
Pengamat politik Anang Sujoko menerangkan fenomena ini menunjukkan ternyata menjadi penguasa di Indonesia itu menyenangkan atau menguntungkan. Ini menjadi sebuah sinyal bahwa demokrasi semakin tergerus dan kaderisasi parpol gagal.
“Dinasti menunjukkan bahwa popularitas instan membutuhkan biaya yang tidak tinggi. Jika berhasil, akan mengantarkan ke peningkatan elektabilitas,” ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (28/7/2020).
Dinasti politik selalu hadir dalam pilkada maupun pemilihan legislatif. Sebelum nama-nama itu muncul, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang bertarung dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Lalu, ada Andika Hazrumy yang maju sebagai calon Wagub Banten. Andika merupakan anak dari mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
(Baca: Jokowi Dorong Gibran, Bung Karno sampai Amien Rais Juga Punya Regenerasi)
Keberuntungan tidak selalu menyertai anak, isteri atau kerabat dari tokoh politik. AHY harus menelan pil pahit setelah tumbang di putaran pertama. Nasib serupa pernah dialami isteri dari mantan Bupati Bandung Barat (alm) Abu Bakar, Elin Suharliah. Elin kalah di dari pasangan Aa Umbara-Hengky Kurniawan pada pilkada 2018.
Andika berhasil duduk sebagai Banten-2. Terpilihnya Andika boleh dibilang sebuah anomali meskipun bukan sebagai Banten-1. Dalam waktu beberapa tahun terakhir dua keluarga besarnya terlibat korupsi, yakni sang Ibu Ratu Atut dan paman, Tubagus Chaeri Wardana. Namun, itu tidak mempengaruhi pilihan politik masyarakat Banten.
Anang mengatakan perilaku pemilih Indonesia masih didominasi sikap pragmatisme emosional. Bukan kritis terhadap janji politik, kebijakan yang pernah dilakukan, dan rekam jejak di masa lalu.
(Baca: Soal Isu Dinasti Politik Jokowi, Ini Jawaban Gamblang Gibran)
Dosen Universitas Brawijaya itu menuturkan keuntungan dari dinasti politik itu coba diteruskan kepada lingkaran dalam keluarga. Asumsinya, menurut Anang, tokoh-tokoh tersebut ingin kesejahteraan diprioritaskan ke keluarganya terlebih dahulu.
“Ini menjadi sinyal bahwa visi dan misi pemimpin atau tokoh kita yang menjalankan politik dinasti sangat sempit. Ini patut dipertanyakan visi menyejahterakan rakyat,” pungkasnya.
(muh)