Mengapa OTT KPK Menjadi Polemik?
loading...
A
A
A
Upaya pencegahan kurang memperoleh apresiasi masyarakat dibandingkan dengan penindakan. Reaksi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sejak era Reformasi 1998 sampai saat ini masih terobsesi paham lex talionis (syahwat pembalasan dendam) sekalipun paham tersebut muncul sejak abad 15 dan 16 serta berkembang sejak abad 18 dianut dalam sistem hukum pidana di Eropa.
Lex talionis mewujud dalam asas hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan sekalipun demikian, sistem hukum (acara) pidana Indonesia pascaberlakunya UU Nomor 8 tahun 1981 KUHAP, lex talionis “dilumpuhkan” dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan perlakuan di muka hukum (equality before the law).
Para ahli yang kontra atas “penghalusan” hukum (acara) pidana tersebut merupakan kelemahan dan meniadakan lex talionis dari kehidupan dan bekerjanya hukum (acara) pidana. Contoh, keinginan masyarakat sipil dan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya petinggi hukum untuk menerapkan konsep restorative justice (keadilan restoratif) ke dalam pemeriksaan kasus pidana yang telah dinormakan -- baik oleh PerJA Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 169/DHI/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative justice di Lingkungan Peradilan Umum -- bahwa tindak pidana dapat ditempuh melalui keadilan restoratif, kecuali untuk tindak pidana terotisme, korupsi dan narkoba.
Berdasarkan keempat produk hukum lembaga tinggi negara bidang hukum, dapat disimpulkan bahwa di tengah mayoritas anggota masyarakat yang berpaham lex talionis, telah tampak keinginan kuat dimungkinkan arah politik hukum yang berbeda jauh dengan paham tersebut dimana status pelaku, korban dan masyarakat (diwakili negara) adalah sejajar dan memiliki hak kewajiban yang sama antara pelaku dan korban; tergantung dari kesepakatan pelaku-korban di bawah aparatur hukum selaku mediator bukan penyidik/penuntut.
Lex talionis mewujud dalam asas hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan sekalipun demikian, sistem hukum (acara) pidana Indonesia pascaberlakunya UU Nomor 8 tahun 1981 KUHAP, lex talionis “dilumpuhkan” dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan perlakuan di muka hukum (equality before the law).
Para ahli yang kontra atas “penghalusan” hukum (acara) pidana tersebut merupakan kelemahan dan meniadakan lex talionis dari kehidupan dan bekerjanya hukum (acara) pidana. Contoh, keinginan masyarakat sipil dan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya petinggi hukum untuk menerapkan konsep restorative justice (keadilan restoratif) ke dalam pemeriksaan kasus pidana yang telah dinormakan -- baik oleh PerJA Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 169/DHI/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative justice di Lingkungan Peradilan Umum -- bahwa tindak pidana dapat ditempuh melalui keadilan restoratif, kecuali untuk tindak pidana terotisme, korupsi dan narkoba.
Berdasarkan keempat produk hukum lembaga tinggi negara bidang hukum, dapat disimpulkan bahwa di tengah mayoritas anggota masyarakat yang berpaham lex talionis, telah tampak keinginan kuat dimungkinkan arah politik hukum yang berbeda jauh dengan paham tersebut dimana status pelaku, korban dan masyarakat (diwakili negara) adalah sejajar dan memiliki hak kewajiban yang sama antara pelaku dan korban; tergantung dari kesepakatan pelaku-korban di bawah aparatur hukum selaku mediator bukan penyidik/penuntut.
(poe)