Mengapa OTT KPK Menjadi Polemik?
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PROSES beracara dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP memang didesain tidak memudahkan penetapan dan penahanan serta segala tindakan hukum yang berpotensi melanggar hak asasi sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi UUD45 Bab XA. Tindak pidana korupsi tidak saja bencana bagi kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada umumnya dilakukan secara meluas dan sistematis.
Tindak pidana korupsi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Tetapi dituntut cara-cara luar biasa melebihi wewenang kepolisian dan kejaksaan yang berbeda signifikan dalam melakukan tindakan hukum antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam satu tangan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, KPK diberi beban tugas untuk koordinasi dan supervisi atas kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Korupsi melibatkan penyelenggara negara, batasan nilai korupsi yang wajib ditangani KPK, yaitu kerugian negara di atas Rp 1 miliar dan kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat luas. Dalam ketentuan UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Dalam praktik, pemberantasan korupsi yang melibatkan penyelenggara negara sering mengalami hambatan-hambatan baik bersifat internal maupun eksternal, dan modus operandi korupsi khusus suap yang sulit pembuktiannya.
Untuk mengatasi hambatan tesebut kepada KPK diberikan wewenang penyadapan (interception) tanpa memerlukan izin dari ketua pengadilan. Diakui bahwa keberhasilan KPK sejak di bawah Abraham Samad cs ditopang oleh wewenang penyadapan, dan bahkan sebanyak 80% keberhasilan kasus korupsi karena wewenang tersebut.
Hasil berbeda jika pemberantasan korupsi melalui proses membentuk-kasus (case-building) yang memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang tidak sedikit namun faktor ketelitian dalam proses penyelidikan dan penyidikan lebih menjamin ketercukupan bukti permulaan dari suatu kasus korupsi.
Penyadapan oleh KPK lazim diltindaklanjuti dengan cara “operasi-tangkap- tangan” (OTT) yang dibenarkan dalam rangka proses penyelidikan yang bertujuan menemukan bukti yang dapat membuat terang suatu perkara korupsi. Terlepas dari pro dan kontra OTT dalam pemberantasan korupsi fakta menunjukkan bahwa laporan kinerja Kejaksaan menangani kasus korupsi melalui case-building (tanpa OTT) lebih efisien dibandingkan KPK. Hal ini membuktikan bahwa OTT tidak selalu serta merta merupakan jaminan keberhasilan pemberantasan korupsi.
OTT seharusnya digunakan dalam keadaan sangat terpaksa dan solusi terakhir (the last resort) yang dipastikan dapat mengungkap tuntas suatu kasus korupsi. Alternatif upaya lain disamping penindakan adalah menggunakan strategi pencegahan (preventive measures) yang sistematis, intensif dan terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain termasuk PPATK.
Strategi pencegahan pemberantasan korupsi telah diatur dalam tiga peraturan perundang-undnangan yaitu, UU No 28/1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU KPK dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 3/2018 tentang Struktur Organisasi KPK. Namun sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan mencegah korupsi sehingga tampak ketimpangan kelemahan pemberantasan selama ini. Memasukkan koruptor ke penjara adalah satu hal, sedangkan mencegah agar orang tidak melakukan korupsi adalah lain hal.
Upaya pencegahan kurang memperoleh apresiasi masyarakat dibandingkan dengan penindakan. Reaksi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sejak era Reformasi 1998 sampai saat ini masih terobsesi paham lex talionis (syahwat pembalasan dendam) sekalipun paham tersebut muncul sejak abad 15 dan 16 serta berkembang sejak abad 18 dianut dalam sistem hukum pidana di Eropa.
Lex talionis mewujud dalam asas hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan sekalipun demikian, sistem hukum (acara) pidana Indonesia pascaberlakunya UU Nomor 8 tahun 1981 KUHAP, lex talionis “dilumpuhkan” dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan perlakuan di muka hukum (equality before the law).
Para ahli yang kontra atas “penghalusan” hukum (acara) pidana tersebut merupakan kelemahan dan meniadakan lex talionis dari kehidupan dan bekerjanya hukum (acara) pidana. Contoh, keinginan masyarakat sipil dan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya petinggi hukum untuk menerapkan konsep restorative justice (keadilan restoratif) ke dalam pemeriksaan kasus pidana yang telah dinormakan -- baik oleh PerJA Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 169/DHI/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative justice di Lingkungan Peradilan Umum -- bahwa tindak pidana dapat ditempuh melalui keadilan restoratif, kecuali untuk tindak pidana terotisme, korupsi dan narkoba.
Berdasarkan keempat produk hukum lembaga tinggi negara bidang hukum, dapat disimpulkan bahwa di tengah mayoritas anggota masyarakat yang berpaham lex talionis, telah tampak keinginan kuat dimungkinkan arah politik hukum yang berbeda jauh dengan paham tersebut dimana status pelaku, korban dan masyarakat (diwakili negara) adalah sejajar dan memiliki hak kewajiban yang sama antara pelaku dan korban; tergantung dari kesepakatan pelaku-korban di bawah aparatur hukum selaku mediator bukan penyidik/penuntut.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PROSES beracara dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP memang didesain tidak memudahkan penetapan dan penahanan serta segala tindakan hukum yang berpotensi melanggar hak asasi sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi UUD45 Bab XA. Tindak pidana korupsi tidak saja bencana bagi kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada umumnya dilakukan secara meluas dan sistematis.
Tindak pidana korupsi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa. Tetapi dituntut cara-cara luar biasa melebihi wewenang kepolisian dan kejaksaan yang berbeda signifikan dalam melakukan tindakan hukum antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam satu tangan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, KPK diberi beban tugas untuk koordinasi dan supervisi atas kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Korupsi melibatkan penyelenggara negara, batasan nilai korupsi yang wajib ditangani KPK, yaitu kerugian negara di atas Rp 1 miliar dan kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat luas. Dalam ketentuan UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Dalam praktik, pemberantasan korupsi yang melibatkan penyelenggara negara sering mengalami hambatan-hambatan baik bersifat internal maupun eksternal, dan modus operandi korupsi khusus suap yang sulit pembuktiannya.
Untuk mengatasi hambatan tesebut kepada KPK diberikan wewenang penyadapan (interception) tanpa memerlukan izin dari ketua pengadilan. Diakui bahwa keberhasilan KPK sejak di bawah Abraham Samad cs ditopang oleh wewenang penyadapan, dan bahkan sebanyak 80% keberhasilan kasus korupsi karena wewenang tersebut.
Hasil berbeda jika pemberantasan korupsi melalui proses membentuk-kasus (case-building) yang memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang tidak sedikit namun faktor ketelitian dalam proses penyelidikan dan penyidikan lebih menjamin ketercukupan bukti permulaan dari suatu kasus korupsi.
Penyadapan oleh KPK lazim diltindaklanjuti dengan cara “operasi-tangkap- tangan” (OTT) yang dibenarkan dalam rangka proses penyelidikan yang bertujuan menemukan bukti yang dapat membuat terang suatu perkara korupsi. Terlepas dari pro dan kontra OTT dalam pemberantasan korupsi fakta menunjukkan bahwa laporan kinerja Kejaksaan menangani kasus korupsi melalui case-building (tanpa OTT) lebih efisien dibandingkan KPK. Hal ini membuktikan bahwa OTT tidak selalu serta merta merupakan jaminan keberhasilan pemberantasan korupsi.
OTT seharusnya digunakan dalam keadaan sangat terpaksa dan solusi terakhir (the last resort) yang dipastikan dapat mengungkap tuntas suatu kasus korupsi. Alternatif upaya lain disamping penindakan adalah menggunakan strategi pencegahan (preventive measures) yang sistematis, intensif dan terkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lain termasuk PPATK.
Strategi pencegahan pemberantasan korupsi telah diatur dalam tiga peraturan perundang-undnangan yaitu, UU No 28/1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU KPK dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No 3/2018 tentang Struktur Organisasi KPK. Namun sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan mencegah korupsi sehingga tampak ketimpangan kelemahan pemberantasan selama ini. Memasukkan koruptor ke penjara adalah satu hal, sedangkan mencegah agar orang tidak melakukan korupsi adalah lain hal.
Upaya pencegahan kurang memperoleh apresiasi masyarakat dibandingkan dengan penindakan. Reaksi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sejak era Reformasi 1998 sampai saat ini masih terobsesi paham lex talionis (syahwat pembalasan dendam) sekalipun paham tersebut muncul sejak abad 15 dan 16 serta berkembang sejak abad 18 dianut dalam sistem hukum pidana di Eropa.
Lex talionis mewujud dalam asas hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan sekalipun demikian, sistem hukum (acara) pidana Indonesia pascaberlakunya UU Nomor 8 tahun 1981 KUHAP, lex talionis “dilumpuhkan” dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan perlakuan di muka hukum (equality before the law).
Para ahli yang kontra atas “penghalusan” hukum (acara) pidana tersebut merupakan kelemahan dan meniadakan lex talionis dari kehidupan dan bekerjanya hukum (acara) pidana. Contoh, keinginan masyarakat sipil dan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya petinggi hukum untuk menerapkan konsep restorative justice (keadilan restoratif) ke dalam pemeriksaan kasus pidana yang telah dinormakan -- baik oleh PerJA Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 169/DHI/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative justice di Lingkungan Peradilan Umum -- bahwa tindak pidana dapat ditempuh melalui keadilan restoratif, kecuali untuk tindak pidana terotisme, korupsi dan narkoba.
Berdasarkan keempat produk hukum lembaga tinggi negara bidang hukum, dapat disimpulkan bahwa di tengah mayoritas anggota masyarakat yang berpaham lex talionis, telah tampak keinginan kuat dimungkinkan arah politik hukum yang berbeda jauh dengan paham tersebut dimana status pelaku, korban dan masyarakat (diwakili negara) adalah sejajar dan memiliki hak kewajiban yang sama antara pelaku dan korban; tergantung dari kesepakatan pelaku-korban di bawah aparatur hukum selaku mediator bukan penyidik/penuntut.
(poe)