Gapasdap Sebut Keselamatan Angkutan Ferry Sudah Standar Internasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aturan keselamatan angkutan Ferry di Indonesia ditegaskan telah memenuhi standar dunia. Sebab, aturan saat ini telah merativikasi SOLAS (Safety of Life at Sea) yang digunakan sebagai aturan internasional.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekartono menanggapi penilaian Internasional Maritim Organization (IMO) yang menyebut Indonesia masuk dalam jajaran negara dengan keselamatan rendah bersama Bangladesh dan Filipina sebagai negara berkembang secara global.
Menurut Bambang, parameter keselamatan yang disematkan IMO bukan kesalahan perusahaan pelayaran yang tergabung dalam asosiasi, terutama Gapasdap. Sebab, keselamatan ini Gapasdap sudah merativikasi aturan international yaitu SOLAS.
Bambang menjelaskan, regulasi nonkonvensi yang diadaptasi Indonesia saat ini di atas aturan regulasi SOLAS dan mengacu kepada aturan Australia. Beberapa negara maju menggunakan aturan nonkonvensi yang di bawah SOLAS, seperti Jepang dengan menggunakan Japanese Government, Kanada dengan Goverment of Canada, dan Filiphina dengan Marina Philipine Goverment untuk transportasi domestik lautnya.
"Demikian juga beberapa negara kepulauan lainnya. Sementara Indonesia mengacu pada aturan konvensi SOLAS dan bahkan nonkonvensi yang jauh diatas aturan SOLAS untuk aturan domestiknya," kata BHS, sapaan akrab Bambang Haryo Soekartono, di Yogyakarta, Jumat (21/7/2023).
Alumni ITS Perkapalan ini mengatakan, aturan konvensi juga telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran laut di bawah asosiasi INSA dan asosiasi PELRA. Semua kapal di bawah asosiasi-asosiasi tersebut telah terdaftar di IMO (International Maritim Organization) dan mengacu pada aturan SOLAS.
"Untuk diketahui di luar daripada anggota asosiasi-asosiasi pelayaran tersebut, ternyata masih banyak kapal-kapal yang belum terdaftar di IMO, sehingga mereka tidak menggunakan aturan SOLAS dan bahkan tidak dikelaskan di Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) walaupun mereka berlayar di Indonesia. Itulah yang sebenarnya keselamatannya yang di bawah standarisasi yang juga menjadi penilaian IMO," katanya.
Di Indonesia hanya ada 13.000 kapal yang terdaftar di IMO sesuai dengan data UNCTAD 2022, termasuk di dalamnya adalah semua kapal Ferry di Indonesia. Jumlah kapal yang terdaftar di pemerintah/Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) ada 82.000 kapal (Data Dehbub 2019), termasuk 13.000 kapal yang tercatat di IMO, sedangkan sisanya lebih dari 60.000 kapal tidak terdaftar di IMO. Untuk melakukan pendaftaran, semua kapal-kapal di Indonesia yang belum terdaftar di IMO, itu adalah tugas daripada pemerintah.
Demikian juga klasifikasi yang mengatur keselamatan yaitu Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) hanya baru bisa mendaftarkan kapal-kapal di Indonesia jumlahnya sekitar 40.000 kapal. Termasuk di dalamnya adalah semua kapal Ferry di Indonesia.
Menurut HBS, hal ini yang mengakibatkan penilaian IMO terhadap semua kapal di Indonesia masuk dalam kategori rendah. Selain itu, Biro Klasifikasi Indonesia masih belum diakui oleh dunia pelayaran internasional karena belum menjadi mamber IACS (International Association of Classification Societies). Klasifikasi Indonesia yang diwajibkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran belum memenuhi syarat untuk kepentingan international dan ini menjadi salah satu pertimbangan dan pernilaian international termasuk IMO.
Karena angkutan Ferry di Indonesia sudah mengacu kepada aturan keselamatan internasional tertinggi, maka seharusnya pemerintah bersama seluruh asosiasi pengusaha pelayaran untuk menyosialisasikan kepada masyarakat, baik domestik maupun internasional.
"Aturan keselamatan di angkutan Ferry sudah sangat baik dan jauh lebih baik daripada aturan keselamatan yang ada di negara negara maju. Tentunya akan juga mempengaruhi penilaian asuransi terhadap industri angkutan Ferry di Indonesia, sehingga akan berdampak terhadap besaran nilai premi dan cover dari asuransi tersebut," katanya.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Haryo Soekartono menanggapi penilaian Internasional Maritim Organization (IMO) yang menyebut Indonesia masuk dalam jajaran negara dengan keselamatan rendah bersama Bangladesh dan Filipina sebagai negara berkembang secara global.
Menurut Bambang, parameter keselamatan yang disematkan IMO bukan kesalahan perusahaan pelayaran yang tergabung dalam asosiasi, terutama Gapasdap. Sebab, keselamatan ini Gapasdap sudah merativikasi aturan international yaitu SOLAS.
Bambang menjelaskan, regulasi nonkonvensi yang diadaptasi Indonesia saat ini di atas aturan regulasi SOLAS dan mengacu kepada aturan Australia. Beberapa negara maju menggunakan aturan nonkonvensi yang di bawah SOLAS, seperti Jepang dengan menggunakan Japanese Government, Kanada dengan Goverment of Canada, dan Filiphina dengan Marina Philipine Goverment untuk transportasi domestik lautnya.
"Demikian juga beberapa negara kepulauan lainnya. Sementara Indonesia mengacu pada aturan konvensi SOLAS dan bahkan nonkonvensi yang jauh diatas aturan SOLAS untuk aturan domestiknya," kata BHS, sapaan akrab Bambang Haryo Soekartono, di Yogyakarta, Jumat (21/7/2023).
Alumni ITS Perkapalan ini mengatakan, aturan konvensi juga telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pelayaran laut di bawah asosiasi INSA dan asosiasi PELRA. Semua kapal di bawah asosiasi-asosiasi tersebut telah terdaftar di IMO (International Maritim Organization) dan mengacu pada aturan SOLAS.
"Untuk diketahui di luar daripada anggota asosiasi-asosiasi pelayaran tersebut, ternyata masih banyak kapal-kapal yang belum terdaftar di IMO, sehingga mereka tidak menggunakan aturan SOLAS dan bahkan tidak dikelaskan di Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) walaupun mereka berlayar di Indonesia. Itulah yang sebenarnya keselamatannya yang di bawah standarisasi yang juga menjadi penilaian IMO," katanya.
Di Indonesia hanya ada 13.000 kapal yang terdaftar di IMO sesuai dengan data UNCTAD 2022, termasuk di dalamnya adalah semua kapal Ferry di Indonesia. Jumlah kapal yang terdaftar di pemerintah/Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) ada 82.000 kapal (Data Dehbub 2019), termasuk 13.000 kapal yang tercatat di IMO, sedangkan sisanya lebih dari 60.000 kapal tidak terdaftar di IMO. Untuk melakukan pendaftaran, semua kapal-kapal di Indonesia yang belum terdaftar di IMO, itu adalah tugas daripada pemerintah.
Demikian juga klasifikasi yang mengatur keselamatan yaitu Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) hanya baru bisa mendaftarkan kapal-kapal di Indonesia jumlahnya sekitar 40.000 kapal. Termasuk di dalamnya adalah semua kapal Ferry di Indonesia.
Menurut HBS, hal ini yang mengakibatkan penilaian IMO terhadap semua kapal di Indonesia masuk dalam kategori rendah. Selain itu, Biro Klasifikasi Indonesia masih belum diakui oleh dunia pelayaran internasional karena belum menjadi mamber IACS (International Association of Classification Societies). Klasifikasi Indonesia yang diwajibkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran belum memenuhi syarat untuk kepentingan international dan ini menjadi salah satu pertimbangan dan pernilaian international termasuk IMO.
Karena angkutan Ferry di Indonesia sudah mengacu kepada aturan keselamatan internasional tertinggi, maka seharusnya pemerintah bersama seluruh asosiasi pengusaha pelayaran untuk menyosialisasikan kepada masyarakat, baik domestik maupun internasional.
"Aturan keselamatan di angkutan Ferry sudah sangat baik dan jauh lebih baik daripada aturan keselamatan yang ada di negara negara maju. Tentunya akan juga mempengaruhi penilaian asuransi terhadap industri angkutan Ferry di Indonesia, sehingga akan berdampak terhadap besaran nilai premi dan cover dari asuransi tersebut," katanya.
(abd)