Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku Susuk Kapal Borobudur
loading...
A
A
A
Philip langsung membidikkan kamera yang dibawanya ke relief-relief candi. Ia tak mau ada bagian relief yang terlewatkan. Setiap detail relief direkam dengan penuh seksama. Tak terasa ia sudah menghabiskan 6 jam hanya untuk membaca 2.672 panel relief. Tentu, waktu paling lama dihabiskan di panel-panel yang menggambarkan keberadaan kapal.
Kembali ke negaranya, Philip melanjutkan kuliah jurusan politik di The University of Hull, di negerinya Ratu Elizabeth II. Memori relief-relief di Candi Borobudur itu selalu menggoda hati. “Aku akan mewujudkan kisah yang ada pada relief Borobudur,” batinnya.
Kapal siapa itu, sampai di mana kapal itu berlayar, dan untuk apa kapal itu berlayar? Rentetan pertanyaan itu selalu tergiang-ngiang di kepala Philip. Waktu berlalu bak kitiran tanpa henti. Telah empat tahun berlalu. Philip sudah berdinas di Angkatan Laut Inggris dengan pangkat letnan dua.
Sebagai perwira muda, ia pernah keliling Eropa dengan kapal perusak HMS Cardiff. Tapi pelet relief Candi Borobudur yang menggambarkan belasan pelaut tengah berlayar dengan kapal bercadik dan tiga layar itu kian melekat pekat di benaknya.
baca juga: Genjot RI Jadi Poros Maritim Dunia, Pelaku Usaha Kawal Aturan Turunan UU Ciptaker
“Kalau dari slogan orang Indonesia yang sering mengaku nenek moyangku pelaut sangat masuk akal, karena wilayah mereka kepulauan. Tidak ada cara lain selain berlayar untuk berhubungan antarpulau,” demikian Philip merenung. Ia juga mahfum, banyak pelaut asal Indonesia saat ini yang menjadi pelaut di kapal niaga di seantero dunia.
Tapi, benarkah dulu nenek moyang bangsa Indonesia pelaut, atau kerjanya sekadar menarik jangkar, memutar kemudi, dan membalik layar, dengan kata lain hanya pekerja? Atau sebaliknya, suatu bangsa yang di samping pelaut tangguh juga menguasai jalur perdagangan laut, memiliki angkatan perang laut yang disegani, dan nelayannya hidup layak pada masanya?
Philip terus mencoba-coba menerka dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rumitnya itu. Setelah 21 tahun berselang, persisnya tahun 2003 atau saat Philip berusia 41 tahun, barulah ia kembali lagi ke Indonesia. Bersama para pemuda tangguh Indonesia dan dari sejumlah negara lainnya, ia mewujudkan gagasan besarnya itu, membuatEkspedisi Kapal Borobudur yang di-support penuh oleh Pemerintah Indonesia.
Kembali ke negaranya, Philip melanjutkan kuliah jurusan politik di The University of Hull, di negerinya Ratu Elizabeth II. Memori relief-relief di Candi Borobudur itu selalu menggoda hati. “Aku akan mewujudkan kisah yang ada pada relief Borobudur,” batinnya.
Kapal siapa itu, sampai di mana kapal itu berlayar, dan untuk apa kapal itu berlayar? Rentetan pertanyaan itu selalu tergiang-ngiang di kepala Philip. Waktu berlalu bak kitiran tanpa henti. Telah empat tahun berlalu. Philip sudah berdinas di Angkatan Laut Inggris dengan pangkat letnan dua.
Sebagai perwira muda, ia pernah keliling Eropa dengan kapal perusak HMS Cardiff. Tapi pelet relief Candi Borobudur yang menggambarkan belasan pelaut tengah berlayar dengan kapal bercadik dan tiga layar itu kian melekat pekat di benaknya.
baca juga: Genjot RI Jadi Poros Maritim Dunia, Pelaku Usaha Kawal Aturan Turunan UU Ciptaker
“Kalau dari slogan orang Indonesia yang sering mengaku nenek moyangku pelaut sangat masuk akal, karena wilayah mereka kepulauan. Tidak ada cara lain selain berlayar untuk berhubungan antarpulau,” demikian Philip merenung. Ia juga mahfum, banyak pelaut asal Indonesia saat ini yang menjadi pelaut di kapal niaga di seantero dunia.
Tapi, benarkah dulu nenek moyang bangsa Indonesia pelaut, atau kerjanya sekadar menarik jangkar, memutar kemudi, dan membalik layar, dengan kata lain hanya pekerja? Atau sebaliknya, suatu bangsa yang di samping pelaut tangguh juga menguasai jalur perdagangan laut, memiliki angkatan perang laut yang disegani, dan nelayannya hidup layak pada masanya?
Philip terus mencoba-coba menerka dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rumitnya itu. Setelah 21 tahun berselang, persisnya tahun 2003 atau saat Philip berusia 41 tahun, barulah ia kembali lagi ke Indonesia. Bersama para pemuda tangguh Indonesia dan dari sejumlah negara lainnya, ia mewujudkan gagasan besarnya itu, membuatEkspedisi Kapal Borobudur yang di-support penuh oleh Pemerintah Indonesia.
(hdr)