Pakar Hukum Bisnis Ini Menyebut Ada Ribuan Perjanjian Perdagangan Internasional Merugikan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (Untar), Prof Ariawan Gunadi menyebut, saat ini ada ribuan perjanjian perdagangan internasional justru merugikan Pemerintah Indonesia.
baca juga: Rupiah Jadi Alat Transaksi Perdagangan Internasional Harus Didukung
Menurut Prof Ariawan, dalam perdagangan Internasional, Indonesia harus memiliki peran lebih di kawasan. Apalagi sebagai Presiden G-20 dan Ketua ASEAN 2023, Indonesia harusnya memiliki bargaining position dengan negara lain, terutama terkait perjanjian perdagangan internasional.
“Pemerintah harus memfilter perjanjian perdagangan internasional, agar produk-produk Indonesia mampu bersaing dan tidak dirugikan dengan produk-produk luar yang terus membanjiri Indonesia,” kata Ariawan, saat berdiskusi dengan media, di Jakarta, Kamis, (13/7).
Ketua Yayasan Tarumanagara ini mengungkapkan, saat ini banyak sekali perjanjian perdagangan internasional yang melibatkan Indonesia, sehingga membuat Indonesia terikat dan tidak berkembang, seperti perjanjian Trans Pacific partnership, Indonesia dengan Jepang, AFTA, ASEAN – China Free trade, atau perjanjian bilateral, regional.
baca juga: Disetujui Jadi UU, Indonesia Punya Jalan Tol Perdagangan Internasional
Menurut Ariawan, perjanjian dagang internasional arusnya ada titik equilibrium antara negara maju dan negara berkembang. Agar lebih berimbang dan tidak merugikan, perlu entri dumping law.
“Kita harus memiliki safe guard, bagaimana untuk ke depan indonesia memiliki playing field yang bagus, dan Indonesia bisa bersaing,” tutur Ariawan yang merupakan penerima rekor MURI sebagai guru besar termuda bidang hukum bisnis.
Prof Ariawan mencontohkan adanya perjanjian antara Laos sebagai negara berkembang dan Amerika Serikat atau China. Menurutnya, posisi perjanjian perdagangan seperti ini tidak equal, “Banyak konsekwensi Indonesia dalam konteks perdagangan internasional juga dirugikan,” katanya.
baca juga: UU Cipta Kerja Gairahkan Investasi dan Perdagangan Internasional
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah Indonesia harusnya terus mendorong UMKM agar produk-produk barang dan jasa Indonesia mampu bersaing dengan produk luar. “Misalnya ada produk luar yang masuk ke Indonesia lebih murah, maka harus diberlakukan hukum anti-dumping atau entri dumping law dengan memberikan subsidi sehingga produk kita berimbang,” ujar Prof Ariawan.
Ariawan berpandangan, kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah Jokowi dengan mendorong produk barang dan jasa UMKM untuk naik kelas sudah baik. Karena jika tidak dilakukan produk Indonesia akan habis jika bersaing dengan produk luar.
“Saya lebih bring on agar posisi perdagangan Indonesia ke depan bisa lebih baik karena banyak produk yang saat ini impor. Kita peniti aja impor,” kata Ariawan yang disertasinya terkait “Pembaruan hukum perdagangan internasional, mewujudkan perdagangan bebas yang berkeadilan.”
Kembali Ariawan menegaskan, konsekuensi dalam sebuah perjanjian perdagangan internasional sebenarnya justru membuat Indonesia terikat dan akhirnya tidak kompetitif. “Contoh lainnya, bank asing masuk ke Indonesia banyak sekali. Tapi berapa banyak bank milik Indonesia memiliki kompetitifnes di tempat lain. Bank mana milik Indonesia yang bisa bersaing,” pungkas Ariawan.
baca juga: Rupiah Jadi Alat Transaksi Perdagangan Internasional Harus Didukung
Menurut Prof Ariawan, dalam perdagangan Internasional, Indonesia harus memiliki peran lebih di kawasan. Apalagi sebagai Presiden G-20 dan Ketua ASEAN 2023, Indonesia harusnya memiliki bargaining position dengan negara lain, terutama terkait perjanjian perdagangan internasional.
“Pemerintah harus memfilter perjanjian perdagangan internasional, agar produk-produk Indonesia mampu bersaing dan tidak dirugikan dengan produk-produk luar yang terus membanjiri Indonesia,” kata Ariawan, saat berdiskusi dengan media, di Jakarta, Kamis, (13/7).
Ketua Yayasan Tarumanagara ini mengungkapkan, saat ini banyak sekali perjanjian perdagangan internasional yang melibatkan Indonesia, sehingga membuat Indonesia terikat dan tidak berkembang, seperti perjanjian Trans Pacific partnership, Indonesia dengan Jepang, AFTA, ASEAN – China Free trade, atau perjanjian bilateral, regional.
baca juga: Disetujui Jadi UU, Indonesia Punya Jalan Tol Perdagangan Internasional
Menurut Ariawan, perjanjian dagang internasional arusnya ada titik equilibrium antara negara maju dan negara berkembang. Agar lebih berimbang dan tidak merugikan, perlu entri dumping law.
“Kita harus memiliki safe guard, bagaimana untuk ke depan indonesia memiliki playing field yang bagus, dan Indonesia bisa bersaing,” tutur Ariawan yang merupakan penerima rekor MURI sebagai guru besar termuda bidang hukum bisnis.
Prof Ariawan mencontohkan adanya perjanjian antara Laos sebagai negara berkembang dan Amerika Serikat atau China. Menurutnya, posisi perjanjian perdagangan seperti ini tidak equal, “Banyak konsekwensi Indonesia dalam konteks perdagangan internasional juga dirugikan,” katanya.
baca juga: UU Cipta Kerja Gairahkan Investasi dan Perdagangan Internasional
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah Indonesia harusnya terus mendorong UMKM agar produk-produk barang dan jasa Indonesia mampu bersaing dengan produk luar. “Misalnya ada produk luar yang masuk ke Indonesia lebih murah, maka harus diberlakukan hukum anti-dumping atau entri dumping law dengan memberikan subsidi sehingga produk kita berimbang,” ujar Prof Ariawan.
Ariawan berpandangan, kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah Jokowi dengan mendorong produk barang dan jasa UMKM untuk naik kelas sudah baik. Karena jika tidak dilakukan produk Indonesia akan habis jika bersaing dengan produk luar.
“Saya lebih bring on agar posisi perdagangan Indonesia ke depan bisa lebih baik karena banyak produk yang saat ini impor. Kita peniti aja impor,” kata Ariawan yang disertasinya terkait “Pembaruan hukum perdagangan internasional, mewujudkan perdagangan bebas yang berkeadilan.”
Kembali Ariawan menegaskan, konsekuensi dalam sebuah perjanjian perdagangan internasional sebenarnya justru membuat Indonesia terikat dan akhirnya tidak kompetitif. “Contoh lainnya, bank asing masuk ke Indonesia banyak sekali. Tapi berapa banyak bank milik Indonesia memiliki kompetitifnes di tempat lain. Bank mana milik Indonesia yang bisa bersaing,” pungkas Ariawan.
(hdr)