Bawaslu Usul Pilkada 2024 Ditunda, KPU Beri Respons Begini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap mempersiapkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 , meskipun mendapatkan usulan penundaan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Demikian disampaikan oleh Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik.
Dia mengatakan, hal itu berdasarkan Pasal 3 huruf d Undang-Undang (UU) nomor 7 Tahun 2017 yang menjelaskan dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU harus melaksanakan prinsip berkepastian hukum.
"Saat ini Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 masih efektif berlaku, di mana pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada November 2024," katanya, Jumat (14/7/2023).
Kata dia, sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada, KPU harus siap melaksanakan tahapan penyelenggaraannya yang diatur UU Pemilu. Diketahui, Pilkada serentak dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024.
"Oleh karena itu, KPU fokus pada persiapan kebijakan teknis penyelenggaraan agar penyelenggaraan pemilihan serentak nasional lebih partisipatif dan berintegritas," katanya.
Lanjut Idham, terkait perubahan materi dari sebuah UU, itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengusulkan untuk membahas opsi penundaan Pilkada 2024 yang dijadwalkan akan digelar pada November 2024.
Menurutnya, opsi penundaan Pilkada serentak 2024 perlu dibahas mengingat pelaksanaannya beriringan dengan Pemilu 2024 dan ada pula potensi terganggunya keamanan serta ketertiban.
Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Kementerian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP) dengan tema Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu serta Strategi Nasional Penanggulangannya di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
"Kami khawatir sebenarnya Pemilihan 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti. Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada) karena ini pertama kali serentak," kata dia.
Bagja juga menyinggung apabila ada gangguan keamanan di suatu daerah, polisi berpotensi kesulitan mendapatkan bantuan dari pasukan daerah lain lantaran daerah lainnya juga tengah menyelenggarakan Pilkada.
"Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari Polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ujarnya.
Selain itu, dia juga menyinggung masalah lain seperti pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik Pilkada seperti surat suara, atau beban kerja penyelenggara Pemilu yang terlalu tinggi.
Tak hanya itu, ia juga menyinggung belum optimalnya sinergi antara Bawaslu dan KPU terkait Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
"Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja malah sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B itu juga bisa menimbulkan masalah," katanya.
Bagja juga menyinggung marak terjadinya politik uang. Dia mengatakan belum optimalnya transparansi pelaporan dana kampanye, netralitas ASN dan penggunaan alat peraga kampanye (APK).
Kemudian, ia bicara terkait pengalaman Pemilu sebelumnya yang mana banyak kesulitan dalam menggunakan hak pilih hingga penyebaran hoaks dan hate speech.
"Ini nanti kalau sudah penetapan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan hoaks dan 'hate speech' akan ramai kembali. Kita perlu melakukan antisipasi," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya pencegahan dengan berbagai strategi salah satunya memperluas pengawasan partisipatif.
"Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif," jelasnya.
Dia mengatakan, hal itu berdasarkan Pasal 3 huruf d Undang-Undang (UU) nomor 7 Tahun 2017 yang menjelaskan dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU harus melaksanakan prinsip berkepastian hukum.
"Saat ini Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 masih efektif berlaku, di mana pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada November 2024," katanya, Jumat (14/7/2023).
Kata dia, sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada, KPU harus siap melaksanakan tahapan penyelenggaraannya yang diatur UU Pemilu. Diketahui, Pilkada serentak dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024.
"Oleh karena itu, KPU fokus pada persiapan kebijakan teknis penyelenggaraan agar penyelenggaraan pemilihan serentak nasional lebih partisipatif dan berintegritas," katanya.
Lanjut Idham, terkait perubahan materi dari sebuah UU, itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengusulkan untuk membahas opsi penundaan Pilkada 2024 yang dijadwalkan akan digelar pada November 2024.
Menurutnya, opsi penundaan Pilkada serentak 2024 perlu dibahas mengingat pelaksanaannya beriringan dengan Pemilu 2024 dan ada pula potensi terganggunya keamanan serta ketertiban.
Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Kementerian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP) dengan tema Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu serta Strategi Nasional Penanggulangannya di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
"Kami khawatir sebenarnya Pemilihan 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti. Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada) karena ini pertama kali serentak," kata dia.
Bagja juga menyinggung apabila ada gangguan keamanan di suatu daerah, polisi berpotensi kesulitan mendapatkan bantuan dari pasukan daerah lain lantaran daerah lainnya juga tengah menyelenggarakan Pilkada.
"Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari Polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ujarnya.
Selain itu, dia juga menyinggung masalah lain seperti pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik Pilkada seperti surat suara, atau beban kerja penyelenggara Pemilu yang terlalu tinggi.
Tak hanya itu, ia juga menyinggung belum optimalnya sinergi antara Bawaslu dan KPU terkait Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
"Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja malah sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B itu juga bisa menimbulkan masalah," katanya.
Bagja juga menyinggung marak terjadinya politik uang. Dia mengatakan belum optimalnya transparansi pelaporan dana kampanye, netralitas ASN dan penggunaan alat peraga kampanye (APK).
Kemudian, ia bicara terkait pengalaman Pemilu sebelumnya yang mana banyak kesulitan dalam menggunakan hak pilih hingga penyebaran hoaks dan hate speech.
"Ini nanti kalau sudah penetapan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan hoaks dan 'hate speech' akan ramai kembali. Kita perlu melakukan antisipasi," tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya pencegahan dengan berbagai strategi salah satunya memperluas pengawasan partisipatif.
"Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif," jelasnya.
(maf)