Demokrat Tolak RUU Kesehatan, Ibas Beberkan 2 Alasan
loading...
A
A
A
Mandatory spending ini kewajiban negara dan pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah anggaran untuk sektor kesehatan.
“Bukankah kita peduli dan ingin mendukung kemajuan bidang kesehatan? Bukankah kita ingin kesehatan di negeri kita semakin baik, maju, dan berkelas?,” ujarnya.
Ibas juga menyampaikan, UU Kesehatan Tahun 2009 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebetulnya telah mengalokasikan mandatory spending kesehatan sebesar 5%.
“Demokrat berpandangan, anggaran pendidikan saja bisa memiliki mandatory spending sebanyak 20% ya karena kita tahu, angka dari kemajuan sumber daya manusia kita itu salah satunya, ya pendidikan. Maka kalau kita bicara usulan Demokrat, minimal tetap dipertahankan 5% itu sesungguhnya menunjukkan keberpihakan negara kepada kesehatan manusia dan masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Wakil Ketua Banggar ini juga menyampaikan, masyarakat Indonesia sebagai salah satu pilar utama dalam Human Development Index, yang mana kalau dipelajari lebih lanjut dan didalami, sebetulnya segaris dengan SDGs (Sustainable Development Goals) yang dulu Pemerintahan SBY juga ikut menjadi bagian dalam menyusunnya.
“Jadi clear di situ bahwa Fraksi Partai Demokrat menginginkan mandatory spending 5% untuk bidang kesehatan kita tetap berjalan bahkan kalau perlu ditingkatkan,” tegas Ibas.
Selain itu, kata dia, materi terkait liberalisasi dokter dan tenaga medis asing untuk menjalankan praktik di Indonesia juga menjadi sorotan. Fraksi Demokrat tentu mendukung modernisasi hospital atau rumah sakit dan peningkatan kompetensi dokter dan tenaga medis. Pihaknya ingin adanya kemajuan tidak hanya infrastruktur kesehatan saja, tetapi juga sumber daya, para dokter, para perawat, dan para tenaga lainnya.
“Sama seperti kalau kita lihat, pergi ke rumah sakit RSPAD katakan lah, seperti itu juga, semakin hari semakin modern, semakin maju,” imbuhnya.
Akan tetapi, menurutnya, liberalisasi dokter dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan, tidak tepat, dan tidak adil. Hal ini sama seperti saat protes dan marah rakyat ketika tenaga kerja asing terlalu melebihi kewajaran dalam satu bidang usaha skala tertentu.
“Ingat, dokter di Indonesia juga kalau mau berpraktik di luar negeri ada aturan-aturannya. Saya pikir tidak semudah dibayangkan pergi ke Singapura, Australia, Amerika, Tokyo, Eropa, dan seterusnya. Ada aturan-aturan yang saya pikir ketat yang tidak semudah dibayangkan bagi dokter dan tenaga medis kita untuk bekerja di luar negeri,” tegasnya
“Bukankah kita peduli dan ingin mendukung kemajuan bidang kesehatan? Bukankah kita ingin kesehatan di negeri kita semakin baik, maju, dan berkelas?,” ujarnya.
Ibas juga menyampaikan, UU Kesehatan Tahun 2009 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebetulnya telah mengalokasikan mandatory spending kesehatan sebesar 5%.
“Demokrat berpandangan, anggaran pendidikan saja bisa memiliki mandatory spending sebanyak 20% ya karena kita tahu, angka dari kemajuan sumber daya manusia kita itu salah satunya, ya pendidikan. Maka kalau kita bicara usulan Demokrat, minimal tetap dipertahankan 5% itu sesungguhnya menunjukkan keberpihakan negara kepada kesehatan manusia dan masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Wakil Ketua Banggar ini juga menyampaikan, masyarakat Indonesia sebagai salah satu pilar utama dalam Human Development Index, yang mana kalau dipelajari lebih lanjut dan didalami, sebetulnya segaris dengan SDGs (Sustainable Development Goals) yang dulu Pemerintahan SBY juga ikut menjadi bagian dalam menyusunnya.
“Jadi clear di situ bahwa Fraksi Partai Demokrat menginginkan mandatory spending 5% untuk bidang kesehatan kita tetap berjalan bahkan kalau perlu ditingkatkan,” tegas Ibas.
Selain itu, kata dia, materi terkait liberalisasi dokter dan tenaga medis asing untuk menjalankan praktik di Indonesia juga menjadi sorotan. Fraksi Demokrat tentu mendukung modernisasi hospital atau rumah sakit dan peningkatan kompetensi dokter dan tenaga medis. Pihaknya ingin adanya kemajuan tidak hanya infrastruktur kesehatan saja, tetapi juga sumber daya, para dokter, para perawat, dan para tenaga lainnya.
“Sama seperti kalau kita lihat, pergi ke rumah sakit RSPAD katakan lah, seperti itu juga, semakin hari semakin modern, semakin maju,” imbuhnya.
Akan tetapi, menurutnya, liberalisasi dokter dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan, tidak tepat, dan tidak adil. Hal ini sama seperti saat protes dan marah rakyat ketika tenaga kerja asing terlalu melebihi kewajaran dalam satu bidang usaha skala tertentu.
“Ingat, dokter di Indonesia juga kalau mau berpraktik di luar negeri ada aturan-aturannya. Saya pikir tidak semudah dibayangkan pergi ke Singapura, Australia, Amerika, Tokyo, Eropa, dan seterusnya. Ada aturan-aturan yang saya pikir ketat yang tidak semudah dibayangkan bagi dokter dan tenaga medis kita untuk bekerja di luar negeri,” tegasnya