FDI, Harapan di Tengah Tantangan Pelemahan Ekonomi Dunia

Senin, 03 Juli 2023 - 08:47 WIB
loading...
FDI, Harapan di Tengah...
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

MEMASUKI tahun 2023, harga komoditas mulai mengalami normalisasi dan menurun dari level tahun 2022. Data Bank Dunia mencatat bahwa hingga akhir kuartal I-2023, beberapa komoditas unggulan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, seperti batubara turun (40,38%), kelapa sawit turun (45,30%) dan Nikel turun (31,35%).

Kinerja ekspor Indonesia juga terdampak dari situasi tersebut di atas, karena melandainya permintaan pasar global, dan diikuti oleh kinerja perekonomian mitra dagang yang menurun. Aktivitas manufaktur dari mitra dagang Indonesia seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat cenderung mengalami penurunan ke fase kontraktif.

Hal ini tercermin dari indeks PMI manufaktur global yang berada pada 49,6. Angka tersebut berada dalam posisi arah melemah ke bawah yang sedang mengalami kontraksi.

Data juga menunjukkan bahwa indeks PMI manufaktur hampir di 60% negara G-20 dan ASEAN-6 masih melemah. Bahkan, Vietnam yang selama ini cukup resilien pun telah mengalami hantaman perlemahan dari PMI manufaktur sebagai imbas perlemahan negara-negara tujuan ekspor Vietnam.

Kini, di tengah kinerja ekspor Indonesia yang terus mengalami tekanan, maka harapan Indonesia bertumpu pada investasi, terutama FDI (foreign direct investment). Dalam kacamata makro ekonomi, variabel investasi memiliki peran strategis dalam mendongkrak Produk Domestik Bruto (PDB).

FDI merupakan salah satu jenis Investasi yang berhubungan langsung dengan sektor riil, sehingga berdampak positif untuk pengembangan sektor manufaktur, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi serta menopang pendapatan negara. Pada perkembangannya dalam lima tahun terakhir (2017-2021) Indonesia berhasil menarik lebih dari US$ 100 miliar investasi asing.

World Investment Report (2002) menyebutkan bahwa secara umum FDI dapat meningkatkan ekspor melalui beberapa cara, di antaranya ialah dengan menambah modal dalam negeri untuk ekspor, melakukan transfer teknologi dan produk baru untuk ekspor, lalu memberikan akses kepada pasar yang baru atau pasar asing, serta menyediakan pelatihan kepada tenaga kerja di dalam negeri yang dapat meningkatkan kemampuan teknis dan skill management. Dorongan pada ekspor ini akan berdampak pada neraca perdagangan (balance of trade) yang membaik, serta menopang neraca transaksi berjalan (current account) secara positif.

Peluang FDI di Indonesia
Kontribusi penanaman FDI pada kuartal I/2023 mencapai Rp177,0 triliun atau 53,8% dari total realisasi, lebih tinggi dari realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp151,9 triliun atau mencapai 46,2% dari total realisasi investasi kuartal I/2023. Realisasi FDI di sektor pengolahan terus meningkat sejak 2020 hingga kuartal I/2023.

Adapun dampak positifnya ialah terindikasi dari peningkatan penyerapan tenaga kerja di kuartal I/2023 yang tercatat mencapai 165.797 orang, dan merupakan penyerapan tenaga kerja yang terbesar setidaknya sejak 2019.

Indonesia sebenarnya memiliki daya tarik (attractiveness) tersendiri bagi para investor tatkala dunia tengah menghadapi pelemahan ekonomi. Stabilitas makro ekonomi Indonesia saat ini, salah satu yang terbaik di dunia.

Beberapa negara maju saat ini masih harus berjibaku dengan kenaikan suku bunga akibat menjulangnya inflasi yang melemahkan perekonomian mereka. Sementara, Indonesia tetap resilien di tengah hantaman pelemahan ekonomi global tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan 1 2023 tumbuh sebesar 5,03%, melampaui sebagian besar perkiraan analis pasar dan berada di atas pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang berada pada level 4,5% pada triwulan yang sama.

Selain itu, daya tarik lain yang dimiliki oleh Indonesia dalam menarik investor adalah sisi konsumsi yang masih dominan. Dengan jumlah penduduk yang besar, konsumsi masyarakat merupakan bagian yang paling besar dan dominan di dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga menjadi salah satu pemikat bagi investor.

Kenaikan konsumsi rumah tangga terus menunjukkan penguatan seiring dengan adanya peningkatan mobilitas, membaiknya ekspektasi pendapatan, serta terkendalinya inflasi. Kinerja positif ekonomi Indonesia juga berdampak baik pada perkembangan kinerja industri pengolahan di Indonesia.

Kinerja industri pengolahan yang tumbuh masif tercermin dari nilai Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juni 2023. Data Kemenperin RI (2022) mencatat bahwa deks Kepercayaan Industri (IKI) Juni 2023 mencapai 53,93 meningkat 3,03 poin dibandingkan Mei 2023. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak IKI dirilis November 2022.

Selain karena faktor Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dengan struktur demografi muda dan berlimpah sumber daya alam, hal itu juga karena faktor pembangunan fisik atau infrastruktur yang masif. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade terakhir, Indonesia telah berhasil membangun 1.540 kilometer jalan tol, 29 bandara, dan 9 konstruksi yang ditargetkan selesai tahun 2023.

Selain itu, pemerintah telah menyelesaikan 12 bendungan dan sedang membangun 27 bendungan baru yang ditargetkan selesai pada 2024. Selain itu, saat ini pemerintah juga masih terus mendorong akselerasi pembangunan di berbagai desa untuk menopang aktivitas ekonomi masyarakat di seluruh penjuru Nusantara.

Mendorong Perbaikan Kualitas Investasi di Indonesia
Persaingan yang semakin ketat di antara negara-negara di dunia untuk menarik FDI mendorong setiap negara, termasuk Indonesia, untuk lebih meningkatkan iklim investasi melalui policy framework yang lebih komprehensif. Data Bank Dunia (2020). Mencatat bahwa Peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia sejatinya telah mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir yakni dari posisi 120 (2015) menjadi 73 (2020) dari 190 negara di dunia.

Akan tetapi, sejak tahun 2018-2020 peringkat Indonesia tersebut tidak mengalami perubahan berada di peringkat 73. Ada beberapa indikator yang menyebabkan EoDB Indonesia belum optimal, di mana seluruhnya berkaitan dengan perizinan, hukum, dan perpajakan. Misalnya pada indikator untuk memulai bisnis, Indonesia masih berada di peringkat 140.

Selanjutnya, Indonesia berada di posisi 139 dalam penegakan kontrak, lalu perdagangan antarnegara di peringkat 116, persetujuan untuk izin pembangunan di peringkat 110, dan pendaftaran properti berada di peringkat 106. Berkaca pada kondisi tersebut mengartikan bahwa terobosan baru mutlak perlu dilakukan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia.

Tingkat efisiensi investasi bisa dilihat dari angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Saat ini ICOR Indonesia masih cukup tinggi. BPS mencatat, ICOR Indonesia hanya mengalami sedikit penurunan dalam lima tahun terakhir, namun sempat naik drastis pada 2021. Tahun 2016 ICOR tercatat sebesar 6,73%, dan meningkat pada 2017 sebesar 6,95%. Tingginya ICOR menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia makin kurang efisien.

Di sisi lain penyebab peringkat daya saing Indonesia adalah hambatan daya saing sumber daya manusia (SDM), inovasi, dan adopsi teknologi. Tak sedikit pekerja di Indonesia yang memiliki pendidikan rendah serta kemampuan terbatas.

Nilai HCI (human capital index) Indonesia tercatat sebesar 0,54 di tahun 2020 atau di bawah rata-rata nilai HCI ASEAN. Skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Capaian skor PISA Indonesia untuk keterampilan matematika, sains, dan membaca masih berada di bawah 400 pada tahun 2018. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan dan sekolah di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Kompleksitas permasalahan hambatan investasi yang dihadapi Indonesia tak bisa hanya diselesaikan oleh satu instansi pemangku kebijakan saja, melainkan perlu kerjasama antar berbagai pihak terkait. Penting bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan terkait untuk bekerja sama secara sinergis.

Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif, dengan menyederhanakan regulasi, mempercepat proses perizinan, dan memberikan kepastian hukum kepada investor. Selain itu, pemerintah juga harus berkomitmen untuk memperbaiki infrastruktur, pendidikan, dan birokrasi guna menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing. Semoga.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1052 seconds (0.1#10.140)