Reklamasi, Sedimentasi, dan Ekosistem Pesisir

Jum'at, 30 Juni 2023 - 18:43 WIB
loading...
Reklamasi, Sedimentasi, dan Ekosistem Pesisir
Mahasiswa Doktoral FTK ITS, Suwardi. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Suwardi, ST, M.Si
Mahasiswa Doktoral FTK ITS
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar Kementerian Kelautan dan Perikanan

SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia dikenal dengan potensi sumber daya laut yang melimpah seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya hingga mineral energi. Kekayaan laut ini kemudian melahirkan industri turunan seperti pariwisata, perhubungan, farmakologi, dan industri jasa lainnya. Namun potensi ekonomi yang demikian besar bisa melayang bila aktivitas reklamasi serta pengerukan sebagai bagian dari proses pembangunan, tidak atau setidaknya kurang memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap ekosistem di sekitarnya.

Di sinilah peran regulator sangat menentukan. Sebagaimana diketahui, pemerintah sedang mendorong peningkatan dan percepatan investasi melalui pembangunan infrastruktur serta kemudahan dan integrasi perizinan berusaha, termasuk pada sektor kelautan. Regulasi terbaru, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 (PP 5/2021), mewajibkan pelaku usaha memenuhi persyaratan dasar perizinan berusaha dan/atau perizinan berusaha berbasis risiko.

Dalam Pasal 4 PP 5/2021, persyaratan dasar berusaha meliputi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi. KKPR terdiri atas darat dan laut (KKPRL). KKPRL merupakan instrumen dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang laut, yang diberikan dalam bentuk Persetujuan KKPRL (PKKPRL) atau Konfirmasi Kesesuaian Ruang Laut (KKRL). PKKPRL diperuntukkan bagi kegiatan berusaha atau kegiatan non berusaha yang bersifat strategis nasional, sedangkan KKRL untuk kegiatan non usaha atau kegiatan pemerintah/pemerintah daerah atau kegiatan masyarakat lokal/masyarakat tradisonal/masyarakat hukum adat (Pasal 114 PermenKP 28/2021).

Penilaian PKKPRL/KKRL didasarkan pada kesesuaian tata ruang/zonasi yang saling melengkapi pada rencana tata ruang wilayah daratan dan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut, baik level provinsi, antar wilayah, kawasan, maupun nasional. PKKPRL dapat diberikan mempertimbangkan kajian multidisipilin ilmu, sesuai Pasal 125 PermenKP 28/2021.

Beberapa di antaranya yaitu fungsi peruntukan zona (keilmuan geomatika/planologi); jenis kegiatan dan skala usaha (keilmuan ekonomi, insustri, dll); daya dukung dan daya tampung/ketersediaan ruang laut (keilmuan lingkungan); kebutuhan ruang untuk mendukung kepentingan kegiatan (keilmuan teknis kelautan, perikanan, sipil, kimia, dll); pemanfaatan ruang laut yang telah ada (keilmuan geografi); teknologi yang digunakan (keilmuan teknik lingkungan); dan potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan (keilmuan lingkungan, kimia, industri, dll).

Dengan demikian, luasan perairan yang diizinkan digunakan untuk kegiatan pemanfaatan ruang laut tidak serta merta hanya berdasarkan permohonan. Bisa saja permohonan PKKPRL ditolak atau disetujui namun dengan pengurangan luasan. Atau, justru ditambah luasannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keilmuan di atas.

Jenis kegiatan pemanfaatan ruang laut yang berbeda akan memiliki kesimpulan penilaian yang berbeda pula, kendati telah sesuai fungsi peruntukan zonanya. Misalnya berdasarkan pertimbangan bahwa daya dukung tidak cukup, atau dampak yang ditimbulkan dapat menurunkan kualitas ekosistem (lingkungan) yang cukup besar.

Sementara itu, dalam poin 7 Pasal 19 UU Nomor 6/2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU dinyatakan bahwa KKPRL diberikan untuk 17 kegiatan utama plus kegiatan pemanfaatan ruang laut lain. Dari ini, yang perlu mendapat kajian dan pertimbangan ketat di antaranya kegiatan yang akan mengubah rona lingkungan awal perairan laut, misalnya reklamasi, pengerukan, dan dumping.

Tiga aktivitas tersebut diperkirakan akan mengalirkan partikel-partikel ikutan (sedimen transport), baik dari material reklamasi atau material keruk/sedimen laut, ke lingkungan sekitar area kegiatan. Untuk itu, aktivitas pemanfataan ruang laut yang menghasilkan sedimen transport, terutama kegiatan pengerukan/pemanfaatan sedimen laut dan reklamasi, seharusnya berada sejauh mungkin dari batas kawasan konservasi, atau dapat dikendalikan dengan penerapan teknologi.

Dengan begitu, aktivitas reklamasi, pengerukan atau dumping tidak menurunkan kualitas lingkungan di bawah baku mutunya. Dengan kata lain, area kegiatan pengerukan/pemanfaatan sedimen atau reklamasi sesungguhnya bukan semata-mata luasan potensi sedimen yang akan dikeruk, tetapi dapat mencakup area sekitar yang terdampak secara fisik.

Oleh karena itu, PKKPRL bisa membatasi, mengurangi, atau menolak area pengerukan atau reklamasi baru karena di kawasan tersebut sudah over capacity. Sebab dampaknya bisa mempengaruhi lingkungan lebih luas seperti terjadi sedimentasi di alur pelayaran, area pantai umum, muara sungai, pelabuhan, atau yang merusak ekosistem sebagai habitat penting jenis ikan setempat.

Reklamasi, Pengerukan, dan Sedimentasi Laut

Mengapa aktivitas pengerukan dan reklamasi perlu dipertimbangkan dengan demikian panjang dan terkesan njelimet? Sebab kawasan pesisir atau pantai adalah kawasan yang subur, tempat terjadinya proses produksi bentik penting dalam mendukung produksi ikan demersal. Kegiatan pengerukan sedimen di dekat pantai dapat mempengaruhi tingkat kepekaan proses produksi bentik ini dan membutuhkan waktu yang panjang untuk pemulihan setelah penghentian pengerukan atau reklamasi (Newell, Seiderer and Hitchcock, 1998).

Potensi dampak pada spesies bentik juga bergantung pada proses biologis termasuk mekanisme makan, tingkat mobilitas, karakteristik riwayat hidup, tahap perkembangan dan kondisi lingkungan (Fraser et al., 2017). Itu sebabnya pertimbangan lingkungan dan ekologi sangat ditekankan dalam proses pengerukan sedimen laut.

Proses pemindahan sedimen dalam kondisi endapan alaminya dengan menggunakan peralatan mekanis atau hidrolik tidak bisa dihindari memiliki dampak lingkungan yang nyata pada flora dan fauna laut, menggangu navigasi, dan bahkan dapat menimbulkan sedimentasi di tempat lain (Bianchini et al., 2019). Kegiatan pengerukan dan reklamasi pantai dapat mempengaruhi perubahan pola hidrodinamika perairan, yang berefek berantai pada aspek sirkulasi dan biologi perairan, yang otomatis mengganggu mekanisme transportasi bio massa air, dan jika terus berlanjut akan mengancam biota laut.

Studi kasus di Teluk Benoa, dengan menggunakan simulasi numerik, kecepatan aliran selama rentang waktu sebelum dan setelah reklamasi Pulau Serangan dan Pelabuhan Benoa, dari berkisar antara 0-1,4 m/s berubah berkisar antara 0-1,2 m/s., dan ditemukan saat surut rendah, beberapa area di dalam teluk tidak terendam air karena laju sedimentasi yang tinggi dan distribusi sedimen yang tidak stabil (Wisha et al., 2018).

Dalam proses pengerukan, partikel kontaminen di dalamnya juga perlu mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan sedimen laut adalah penyerap utama polutan baik organik dan anorganik, termasuk logam berat yang membahayakan ekosistem dan biota laut. Jika tidak dikendalikan, karena sedimen yang dikeruk ini dapat terburai kembali ke sistem air hingga masuk ke dalam rantai makanan (Labianca et al., 2022).

Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa penilaian status suatu lingkungan sebelum, saat dan pasca pengerukan, terutama di lokasi pantai yang sensitif, sangat penting.

Rusaknya Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Ikan

Sedimentasi di perairan laut dapat bersumber dari banjir daratan, reklamasi pantai, atau arus laut. Bahaya sedimentasi yang berlebihan adalah dapat merusak eksositem alami pantai, yaitu mangrove, lamun, dan terumbu karang, dan dapat berimbas pada produksi perikanan sebagai tempat hidup ikan. Kegiatan pembangunan pantai dengan metode reklamasi yang tidak terkendali dengan dalih pemenuhan lahan kawasan industri, pemukiman, atau pelabuhan, akan mempercepat laju sedimentasi, merusak ekosistem khususnya mangrove, dan menghambat jalur pelayaran dan fishing ground nelayan.

Contoh kasus adalah Selat Madura bagian barat antara Gresik-Bangkalan. Berdasarkan data citra satelit, terdapat perbedaan signifikan pemanfaatan ruang laut di wilayah tersebut. Terutama di pesisir pantai Gresik, semakin banyak area industri dibangun dengan metode reklamasi, bahkan semakin jauh ke arah laut dalam rentang waktu 40 tahun terakhir.

Ruang pesisir di wilayah laut Gresik di Selat Madura semakin rapat karena munculnya area lahan reklamasi baru. Selain itu terlihat pula pendangkalan di area tersebut. Sebagian besar pantai Gresik dan Bangkalan adalah wilayah ekosistem mangrove, tempat pembesaran ikan penting dan ekonomis masyarakat sekitar, misalnya kepiting, udang, rajungan, teripang, dan kerang-kerangan. Eksistensi hutan mangrove tersebut bisa terancam dengan kegiatan reklamasi yang tak terkendali.

Ini sangat mungkin terjadi terlebih setelah terbit Pepres Nomor 60 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertosusilo). Beleid ini mendorong semakin tingginya kebutuhan lahan industri yang langsung memiliki akses dengan jalur pelayaran laut. Indikasinya adalah terus bertambahnya permohonan izin lokasi (PKKPRL) dan izin reklamasi di wilayah ini.

Bila benar terjadi, diperkirakan muara-muara sungai dan jalur lalu lintas nelayan kecil semakin dangkal karena sedimen dari sungai terjebak di area sekitar reklamasi. Sumber daya ikan berkurang karena hilangnya daerah hutan mangrove setempat. Ujung-ujungnya, tangkapan ikan nelayan lokal dan tradisional juga terus menurun.

Di sisi lain, jalur pelayaran internasional dari kapal-kapal cargo yang keluar masuk dari Pelabuhan Internasional Tanjung Perak atau Terminal Teluk Lamong juga semakin sempit. Berdasarkan peta bathimetri Pushidrosal, kedalaman jalur pelayaran masih sekitar 14 meter. Tetapi di beberapa titik sudah mengalami pendangkalan, sehingga kedalamannya hanya 12 meter, terutama di sisi sebelah barat itu pun berada di tengah selat.

Sebagai respons, perusahaan operator pelabuhan/tersus/TUKS baru mengajukan permohonan reklamasi dengan lokasi semakin jauh ke tengah laut/jalur pelayaran, Bahkan, perusahaan lama pun berlomba-lomba memindahkan dermaga lebih ke tengah dengan mereklamasi area dermaga lama. Praktik ini jelas membuat pendangkalan di dekat pantai dan di tengah selat.

Dinas Perikanan Kabupaten Gresik mencatat saat ini banyak jalur dan lokasi labuh kapal nelayan Gresik mengalami pendangkalan sehingga mengganggu kegiatan melaut dan sandar kapal. Tidak kurang dari 19 lokasi sentra nelayan di 10 desa telah mengajukan usulan pengerukan alur dan area tambatan perahu nelayan dengan luas perkiraan sebesar 118.730 m2. Kota Surabaya pun mengajukan permohonan pengerukan sedimentasi di wilayah Pantai Kenjeran atas keluhan dari nelayan yang kerap mengalami kapal kandas saat sandar maupun melaut.

Memperhatikan hal-hal di atas, penulis mengusulkan agar kawasan perairan Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya bisa dijadikan lokasi kajian pengelolaan hasil sedimentasi di laut sebagai turunan dari PP 26 Tahun 2023. Hal ini akan menunjukkan keadilan keberpihakan pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap nelayan Indonesia. Dan, kesan bahwa PP 26 Tahun 2023 hanya untuk memuluskan ekspor pasir laut akan terdistorsi dengan sendirinya.

Daftar Referensi
- Astor, Y. (2021) ‘Construction map model of water location permits in the implementation of licensing for marine space utilization’, IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1098(5), p. 052017. Available at: https://doi.org/10.1088/1757-899x/1098/5/052017.

- Bianchini, A. et al. (2019) ‘Sediment management in coastal infrastructures: Techno-economic and environmental impact assessment of alternative technologies to dredging’, Journal of Environmental Management, 248(July), p. 109332. Available at: https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2019.109332.

- Cooper, K.M. et al. (2008) ‘Assessment of ecosystem function following marine aggregate dredging’, Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 366(1–2), pp. 82–91. Available at: https://doi.org/10.1016/j.jembe.2008.07.011.

- Fraser, M.W. et al. (2017) ‘Effects of dredging on critical ecological processes for marine invertebrates, seagrasses and macroalgae, and the potential for management with environmental windows using Western Australia as a case study’, Ecological Indicators, 78, pp. 229–242. Available at: https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2017.03.026.

- Labianca, C. et al. (2022) ‘A review of the in-situ capping amendments and modeling approaches for the remediation of contaminated marine sediments’, Science of the Total Environment, 806(151257). Available at: https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.151257.

- Lee, D.I. et al. (2010) ‘Scoping the effective marine environmental assessment of dredging and ocean disposal of coastal sediments in Korea’, Marine Policy, 34(5), pp. 1082–1092. Available at: https://doi.org/10.1016/j.marpol.2010.03.008.

- Lowe, R. and Ghisalberti, M. (2016) ‘Sediment transport processes within coral reef and vegetated coastal ecosystems: a review’, WAMSI Dredging Science Node [Preprint], (June).

- Newell, R.C., Seiderer, L.J. and Hitchcock, D.R. (1998) ‘The impact of dredging works in coastal waters: A review of the sensitivity to disturbance and subsequent recovery of biological resources on the sea bed’, Oceanography and Marine Biology, 36, pp. 127–178.

- Nieuwaal, M. (2001) ‘Requirements for sediment plumes caused by dredging’, Department of Civil engineering, Section Hydraulics, (December), p. 89.

- De Padova, D. et al. (2020) ‘Management of dredging activities in a highly vulnerable site: Simulation modelling and monitoring activity’, Journal of Marine Science and Engineering, 8(12), pp. 1–18. Available at: https://doi.org/10.3390/jmse8121020.

- Setneg (1985) UU 17 Tahun 1985 tetang Pengesahaan UNCLOS.

- Wisha, U.J. et al. (2018) ‘Current movement in Benoa Bay water, Bali, Indonesia: Pattern of tidal current changes simulated for the condition before, during, and after reclamation’, Regional Studies in Marine Science, 18, pp. 177–187. Available at: https://doi.org/10.1016/j.rsma.2017.10.006.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2509 seconds (0.1#10.140)