Pemerintah Diminta Bedakan TPPO dan Pekerja Migran Unprosedural
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tengah menjadi fokus penanganan aparat hukum di Indonesia. Banyak pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi korban perdagangan orang di luar negeri.
Ketua Umum Forum Komunikasi Pekerja Migran Indonesia (FKPMI) Dato Muhammad Zaenul Arifin menjelaskan, calon PMI yang hendak bekerja ke luar negeri dan tidak memenuhi syarat dokumen tidak bisa dikategorikan dalam kasus TPPO. Sebab, tidak ada unsur paksaan atau dengan kesadaran sendiri calon PMI tersebut untuk bekerja ke luar negeri.
Makna TPPO, kata Zaenul Arifin, mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, harus memenuhi unsur ancaman kekerasan untuk tujuan eksploitasi.
"Calon PMI yang akan bekerja ke luar negeri bukan TPPO, melainkan PMI yang unprosedural. Ini merupakan fenomena WNI yang dengan sadar ingin bekerja ke luar negeri, dikarenakan aturan dan lapangan kerja yang sempit, sehingga menjadikan mereka berangkat bekerja tidak sesuai aturan," kata praktisi hukum ini.
Ia menjelaskan, makna TPPO sangat berbeda jika dilihat di UU 21 Tahun 2007, kejahatan TPPO harus memenuhi unsur ancaman kekerasan untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Selain itu juga, pemerintah pusat harus peka terhadap penduduk masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, misalnya Kepulauan Riau. Sebab, masyarakat di daerah perbatasan seperti Kepulauan Riau sudah terbiasa keluar masuk Malaysia maupun ke Singapura seperti kampung halaman mereka sendiri. Boleh dikatakan mereka lebih mengenal negara Malaysia dan Singapura dari pada Ibu kota negara Indonesia.
Penduduk Malaysia, Singapura, dan Riau adalah masyarakat serumpun dari nenek moyang yang sama sejak zaman Kerajaan Johor Riau dan Lingga berkuasa dahulu sebelum masing-masing negara merdeka. Maka tidak heran apabila mereka sering keluar masuk ke sana apakah karena bekerja membantu usaha keluarga mereka di sana maupun sekedar kunjungan keluarga.
"Namun dengan adanya UU TPPO ini menjadi hambatan bagi penduduk masyarakat perbatasan karena tidak seperti sebelumnya bebas keluar masuk dengan menggunakan paspor wisata," katanya.
Terpisah, Pemangku Adat Kerajaan Melayu Bintan Dato Huzrin Hood mengatakan, UU TPPO membuat resah masyarakat Kepulauan Riau yang hidup berbatasan dengan negara jiran Malaysia dan Singapura. Ia mendorong pemerintah meninjau kembali UU TPPO dan memberikan pengecualian bagi penduduk bagi daerah-daerah yang tinggal di perbatasan negara.
"Mereka hendaknya diberi kemudahan untuk keluar masuk menyeberang ke Malaysia dan Singapura, mungkin berbeda perlakuannya untuk penduduk yang bukan asli berasal dari Kepulauan Riau yang menggunakan pintu perbatasan ini untuk keluar masuk, patut untuk dicurigai atau dibuat pemeriksaan lebih dalam saat di pintu keluar," kata Hoozrin Noor.
Dia mencontohkan penduduk Johor yang hendak menyeberang ke Singapura, baik bekerja maupun kunjungan keluarga, mereka diberi kemudahan. Begitu juga penduduk Thailand yang tinggal berbatasan langsung dengan Malaysia mereka juga diberi kemudahan keluar masuk di daerah perbatasan asalkan kartu identitas mereka adalah benar dari penduduk tempatan yang tinggal diperbatasan.
"pemerintah hendaknya mempertimbangkan UU TPPO ini agar tepat sasaran sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, jangan sampaikan menyusahkan masyarakat dan menganggu dari segi perekonomian dan kerukunan hidup bermasyarakat dan bersaudara yang sudah lama terjalin," kata Dato Hoozrin.
Humas Asosiasi Pengusaha Kapal Penumpang Indonesia (APKAPI) Dato Bainuri Bay mengatakan, UU TPPO sangat berimbas bagi usaha maritim di bidang angkutan laut penumpang karena pintu keluar ke negara perbatasan diperketat. Selama ini masyarakat menggunakan sarana transpotasi laut sebagai alat berpergian penyeberangan ke Singapura dan Malaysia.
"Dari daerah Karimun misalnya jarak tempuh ke Malaysia hanya dalam tempo waktu 50 menit namun dengan adanya aturan ini masyarakat tidak dapat berpergian seperti sebelumnya, dapat keluar masuk sesukanya menggunakan paspor wisata. Mereka harus benar-benar jelas maksud tujuan berpergian, barulah diberi izin untuk berangkat, padahal Singapura dan Malaysia seperti kampung halaman mereka sendiri dan keluarga keluarga mereka yang sudah berdomisili di sana juga sangat banyak," kata Ketua Bidang Maritim Gerakan Rakyat Kepri Sukses ini.
Banyak pengusaha angkutan laut mengeluh dengan diperketatnya pelabuhan keluar dari daerah perbatasan. Yang biasanya penumpang berangkat dalam jumlah puluhan hingga ratusan sekarang tinggal 10 hingga 15 orang saja per trip. Hal ini berdampak besar dari segi investasi armada yang telah dikeluarkan, belum lagi dengan biaya operasional yang tinggi, dengan penumpang yang diangkut dalam jumlah tersebut tidak mencukupi untuk biaya operasional dan gaji pekerja, akibatnya perusahaan akan melakukan efesiensi pengurangan trip perjalanan dan pengurangan tenaga kerja maka tingkat pengangguran meningkat.
Menurutnya, pada prinsipnya masyarakat akan selalu patuh dan taat dengan aturan dan perundang-undangan namun dampak dari setiap kebijakan harus ada solusi diberikan karena kalau tidak akan berimbas pada perekonomian masyarakat luas.
Ketua Umum Forum Komunikasi Pekerja Migran Indonesia (FKPMI) Dato Muhammad Zaenul Arifin menjelaskan, calon PMI yang hendak bekerja ke luar negeri dan tidak memenuhi syarat dokumen tidak bisa dikategorikan dalam kasus TPPO. Sebab, tidak ada unsur paksaan atau dengan kesadaran sendiri calon PMI tersebut untuk bekerja ke luar negeri.
Makna TPPO, kata Zaenul Arifin, mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, harus memenuhi unsur ancaman kekerasan untuk tujuan eksploitasi.
"Calon PMI yang akan bekerja ke luar negeri bukan TPPO, melainkan PMI yang unprosedural. Ini merupakan fenomena WNI yang dengan sadar ingin bekerja ke luar negeri, dikarenakan aturan dan lapangan kerja yang sempit, sehingga menjadikan mereka berangkat bekerja tidak sesuai aturan," kata praktisi hukum ini.
Ia menjelaskan, makna TPPO sangat berbeda jika dilihat di UU 21 Tahun 2007, kejahatan TPPO harus memenuhi unsur ancaman kekerasan untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Selain itu juga, pemerintah pusat harus peka terhadap penduduk masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan, misalnya Kepulauan Riau. Sebab, masyarakat di daerah perbatasan seperti Kepulauan Riau sudah terbiasa keluar masuk Malaysia maupun ke Singapura seperti kampung halaman mereka sendiri. Boleh dikatakan mereka lebih mengenal negara Malaysia dan Singapura dari pada Ibu kota negara Indonesia.
Penduduk Malaysia, Singapura, dan Riau adalah masyarakat serumpun dari nenek moyang yang sama sejak zaman Kerajaan Johor Riau dan Lingga berkuasa dahulu sebelum masing-masing negara merdeka. Maka tidak heran apabila mereka sering keluar masuk ke sana apakah karena bekerja membantu usaha keluarga mereka di sana maupun sekedar kunjungan keluarga.
"Namun dengan adanya UU TPPO ini menjadi hambatan bagi penduduk masyarakat perbatasan karena tidak seperti sebelumnya bebas keluar masuk dengan menggunakan paspor wisata," katanya.
Terpisah, Pemangku Adat Kerajaan Melayu Bintan Dato Huzrin Hood mengatakan, UU TPPO membuat resah masyarakat Kepulauan Riau yang hidup berbatasan dengan negara jiran Malaysia dan Singapura. Ia mendorong pemerintah meninjau kembali UU TPPO dan memberikan pengecualian bagi penduduk bagi daerah-daerah yang tinggal di perbatasan negara.
"Mereka hendaknya diberi kemudahan untuk keluar masuk menyeberang ke Malaysia dan Singapura, mungkin berbeda perlakuannya untuk penduduk yang bukan asli berasal dari Kepulauan Riau yang menggunakan pintu perbatasan ini untuk keluar masuk, patut untuk dicurigai atau dibuat pemeriksaan lebih dalam saat di pintu keluar," kata Hoozrin Noor.
Dia mencontohkan penduduk Johor yang hendak menyeberang ke Singapura, baik bekerja maupun kunjungan keluarga, mereka diberi kemudahan. Begitu juga penduduk Thailand yang tinggal berbatasan langsung dengan Malaysia mereka juga diberi kemudahan keluar masuk di daerah perbatasan asalkan kartu identitas mereka adalah benar dari penduduk tempatan yang tinggal diperbatasan.
"pemerintah hendaknya mempertimbangkan UU TPPO ini agar tepat sasaran sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, jangan sampaikan menyusahkan masyarakat dan menganggu dari segi perekonomian dan kerukunan hidup bermasyarakat dan bersaudara yang sudah lama terjalin," kata Dato Hoozrin.
Humas Asosiasi Pengusaha Kapal Penumpang Indonesia (APKAPI) Dato Bainuri Bay mengatakan, UU TPPO sangat berimbas bagi usaha maritim di bidang angkutan laut penumpang karena pintu keluar ke negara perbatasan diperketat. Selama ini masyarakat menggunakan sarana transpotasi laut sebagai alat berpergian penyeberangan ke Singapura dan Malaysia.
"Dari daerah Karimun misalnya jarak tempuh ke Malaysia hanya dalam tempo waktu 50 menit namun dengan adanya aturan ini masyarakat tidak dapat berpergian seperti sebelumnya, dapat keluar masuk sesukanya menggunakan paspor wisata. Mereka harus benar-benar jelas maksud tujuan berpergian, barulah diberi izin untuk berangkat, padahal Singapura dan Malaysia seperti kampung halaman mereka sendiri dan keluarga keluarga mereka yang sudah berdomisili di sana juga sangat banyak," kata Ketua Bidang Maritim Gerakan Rakyat Kepri Sukses ini.
Banyak pengusaha angkutan laut mengeluh dengan diperketatnya pelabuhan keluar dari daerah perbatasan. Yang biasanya penumpang berangkat dalam jumlah puluhan hingga ratusan sekarang tinggal 10 hingga 15 orang saja per trip. Hal ini berdampak besar dari segi investasi armada yang telah dikeluarkan, belum lagi dengan biaya operasional yang tinggi, dengan penumpang yang diangkut dalam jumlah tersebut tidak mencukupi untuk biaya operasional dan gaji pekerja, akibatnya perusahaan akan melakukan efesiensi pengurangan trip perjalanan dan pengurangan tenaga kerja maka tingkat pengangguran meningkat.
Menurutnya, pada prinsipnya masyarakat akan selalu patuh dan taat dengan aturan dan perundang-undangan namun dampak dari setiap kebijakan harus ada solusi diberikan karena kalau tidak akan berimbas pada perekonomian masyarakat luas.
(abd)