Perlu Kebijakan Antisipatif Sikapi Perkembangan Kecerdasan Buatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menilai, perlu kebijakan antisipatif dan adaptif sebagai panduan etis dan legal dalam menyikapi perkembangan teknologi di era pemanfaatan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
"Dunia semakin cerdas dengan teknologi berkembang cepat, bila tidak disikapi secara bijaksana akan jadi ancaman," katanya saat diskusi daring bertema Sikap dan Kebijakan Indonesia tentang Kecerdasan Buatan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/6/2023).
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, penyikapan terhadap kecerdasan buatan sangat dipengaruhi bagaimana menempatkan perkembangan teknologi dalam aspek kemanusiaan itu sendiri.
"Salah satu kekhawatiran adalah semakin manusia bergantung pada teknologi, manusia akan semakin kehilangan nilai. Selain itu, manusia berpotensi tidak dapat mengontrol dirinya, tunduk pada alat yang diciptakan," ujarnya.
Kekhawatiran lain, kata anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, kecerdasan buatan dengan ragam aplikasi cerdas dapat mengganti peran pekerja di berbagai sektor, termasuk pendidikan.
"Keberadaan teknologi modern menuntut kita untuk berpikir tentang masa depan manusia, khususnya masa depan generasi penerus bangsa. Jika kita tidak melakukan persiapan dan antisipasi perkembangan AI dengan sejumlah kebijakan yang tepat, kemudahan yang kita dapatkan berpotensi akan berubah menjadi bencana," kata anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini.
Founder Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Bambang Riyanto Trilaksono mengungkapkan pada awalnya AI adalah cara manusia membuat komputer lebih cerdas, sehingga dapat mengatasi masalah sesuai dengan yang dipikirkan manusia.
Penerapan AI, diakui Bambang, bisa memberi dampak yang luas. Di Amerika Serikat dan Tiongkok pemanfaatan AI mampu berdampak pada peningkatan GDP signifikan pada kedua negara itu.
"Pemanfaatan AI di sejumlah negara sudah diterapkan di banyak sektor seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perbankan, ritel, media, ekonomi hingga politi," ujarnya.
"Dunia semakin cerdas dengan teknologi berkembang cepat, bila tidak disikapi secara bijaksana akan jadi ancaman," katanya saat diskusi daring bertema Sikap dan Kebijakan Indonesia tentang Kecerdasan Buatan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (21/6/2023).
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, penyikapan terhadap kecerdasan buatan sangat dipengaruhi bagaimana menempatkan perkembangan teknologi dalam aspek kemanusiaan itu sendiri.
"Salah satu kekhawatiran adalah semakin manusia bergantung pada teknologi, manusia akan semakin kehilangan nilai. Selain itu, manusia berpotensi tidak dapat mengontrol dirinya, tunduk pada alat yang diciptakan," ujarnya.
Kekhawatiran lain, kata anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, kecerdasan buatan dengan ragam aplikasi cerdas dapat mengganti peran pekerja di berbagai sektor, termasuk pendidikan.
"Keberadaan teknologi modern menuntut kita untuk berpikir tentang masa depan manusia, khususnya masa depan generasi penerus bangsa. Jika kita tidak melakukan persiapan dan antisipasi perkembangan AI dengan sejumlah kebijakan yang tepat, kemudahan yang kita dapatkan berpotensi akan berubah menjadi bencana," kata anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini.
Founder Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Bambang Riyanto Trilaksono mengungkapkan pada awalnya AI adalah cara manusia membuat komputer lebih cerdas, sehingga dapat mengatasi masalah sesuai dengan yang dipikirkan manusia.
Penerapan AI, diakui Bambang, bisa memberi dampak yang luas. Di Amerika Serikat dan Tiongkok pemanfaatan AI mampu berdampak pada peningkatan GDP signifikan pada kedua negara itu.
"Pemanfaatan AI di sejumlah negara sudah diterapkan di banyak sektor seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perbankan, ritel, media, ekonomi hingga politi," ujarnya.