TGB Lebih Potensial Dipilih Jadi Cawapres Ketimbang Mahfud MD, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Harian Nasional DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) TGB Muhammad Zainul Majdi dinilai lebih potensial dipilih menjadi calon wakil presiden (cawapres) ketimbang Menko Polhukam Mahfud MD. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengungkapkan alasannya.
Selain faktor popularitas dan elektabilitas, faktor tokoh dalam bersikap juga dinilai menjadi penentu bagi elite parpol dalam menentukan cawapres. Dedi berpandangan, figur yang dipilih sebagai cawapres adalah tokoh yang tidak tidak mengganggu kontestasi di tingkat masyarakat, dan juga tidak mengganggu kepentingan elite.
“Iya satu sisi gini kalau cawapres itu muncul dan dia dianggap sebagai tokoh yang yang qualified dalam dalam hal gagasan, ide, itu saya kira nomor dua ya, dalam aspek keputusan elite, keputusan pertama pasti yang pertama adalah tokoh yang sekiranya tidak akan mengganggu kontestasi di tingkatan publik, sekaligus tidak mengganggu kepentingan-kepentingan elite,” kata Dedi dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji” secara daring, Sabtu (17/6/2023).
Dedi melihat para elite itu besar kemungkinan akan menyukai tokoh-tokoh yang selama ini dia tidak terlalu menonjol karakternya. Ia pun mencontohkan TGB Zainul Majdi yang dianggap tidak membuat kegaduhan sama sekali, sehingga berpotensi besar dipilih oleh masyarakat Indonesia Timur, tapi juga Indonesia Tengah dan Barat.
“Dia (TGB) tidak tidak terlalu membuat kegaduhan bahkan bisa dianggap dia tidak membuat kegaduhan sama sekali begitu ya. Sehingga dia tidak saja diterima oleh kelompok Indonesia timur, tengah tapi bisa saja dia juga diterima oleh kelompok Indonesia barat misalnya,” ujarnya.
Namun sebaliknya, menurut Dedi, Mahfud MD tidak akan dilirik oleh elite. Meskipun Mahfud memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi, sikap Mahfud selama ini cukup kritis baik terhadap pemerintah, maupun kelompok di luar pemerintah.
“Misalnya kita sebut Mahfud MD, saya punya prediksi dalam beberapa catatan Mahfud MD tidak akan dilirik oleh elite, meskipun punya elektabilitas dan popularitas tertinggi. Kenapa? Karena beliau punya intensitas kritik terhadap pemerintah yang baik, sekaligus punya intensitas kritik terhadap oposisi. Elite tidak akan sukai dengan kelompok yang semacam ini,” ujar Dedi.
Dedi menilai, kalau kemudian tokoh itu dianggap satu sisi patuh, tapi juga diterima oleh publik, maka dia besar kemungkinan akan punya potensi keterpilihan lebih besar dibandingkan kelompok yang lain. “Meskipun dari elektabilitas masih rendah, karena elektabilitas itu akan bagus dibangun kalau memang popularitas itu juga rendah, tetapi kalau yang elektabilitasnya rendah sementara popularitasnya sudah tinggi ini akan sulit dikonversi jadi elektabilitas,” pungkasnya.
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
Selain faktor popularitas dan elektabilitas, faktor tokoh dalam bersikap juga dinilai menjadi penentu bagi elite parpol dalam menentukan cawapres. Dedi berpandangan, figur yang dipilih sebagai cawapres adalah tokoh yang tidak tidak mengganggu kontestasi di tingkat masyarakat, dan juga tidak mengganggu kepentingan elite.
“Iya satu sisi gini kalau cawapres itu muncul dan dia dianggap sebagai tokoh yang yang qualified dalam dalam hal gagasan, ide, itu saya kira nomor dua ya, dalam aspek keputusan elite, keputusan pertama pasti yang pertama adalah tokoh yang sekiranya tidak akan mengganggu kontestasi di tingkatan publik, sekaligus tidak mengganggu kepentingan-kepentingan elite,” kata Dedi dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji” secara daring, Sabtu (17/6/2023).
Dedi melihat para elite itu besar kemungkinan akan menyukai tokoh-tokoh yang selama ini dia tidak terlalu menonjol karakternya. Ia pun mencontohkan TGB Zainul Majdi yang dianggap tidak membuat kegaduhan sama sekali, sehingga berpotensi besar dipilih oleh masyarakat Indonesia Timur, tapi juga Indonesia Tengah dan Barat.
“Dia (TGB) tidak tidak terlalu membuat kegaduhan bahkan bisa dianggap dia tidak membuat kegaduhan sama sekali begitu ya. Sehingga dia tidak saja diterima oleh kelompok Indonesia timur, tengah tapi bisa saja dia juga diterima oleh kelompok Indonesia barat misalnya,” ujarnya.
Namun sebaliknya, menurut Dedi, Mahfud MD tidak akan dilirik oleh elite. Meskipun Mahfud memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi, sikap Mahfud selama ini cukup kritis baik terhadap pemerintah, maupun kelompok di luar pemerintah.
“Misalnya kita sebut Mahfud MD, saya punya prediksi dalam beberapa catatan Mahfud MD tidak akan dilirik oleh elite, meskipun punya elektabilitas dan popularitas tertinggi. Kenapa? Karena beliau punya intensitas kritik terhadap pemerintah yang baik, sekaligus punya intensitas kritik terhadap oposisi. Elite tidak akan sukai dengan kelompok yang semacam ini,” ujar Dedi.
Dedi menilai, kalau kemudian tokoh itu dianggap satu sisi patuh, tapi juga diterima oleh publik, maka dia besar kemungkinan akan punya potensi keterpilihan lebih besar dibandingkan kelompok yang lain. “Meskipun dari elektabilitas masih rendah, karena elektabilitas itu akan bagus dibangun kalau memang popularitas itu juga rendah, tetapi kalau yang elektabilitasnya rendah sementara popularitasnya sudah tinggi ini akan sulit dikonversi jadi elektabilitas,” pungkasnya.
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
(rca)