Jalankan Fungsi Pajak, Ekonomi Stabil

Senin, 12 Juni 2023 - 19:03 WIB
loading...
Jalankan Fungsi Pajak, Ekonomi Stabil
Abdul Hofir, Pegawai DJP Kemenkeu RI. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Abdul Hofir
Pegawai DJP Kemenkeu RI

BANK Indonesia (BI) pada awal Mei 2023 merilis laporan perekonomian yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global. Hal ini sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I 2023 sebesar 5,03%, sedikit meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 5,01%.

Sementara, IMF melalui World Economic Outlook pada April 2023 memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 sebesar 2,9%. Situasi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina yang belum tahu kapan berakhir menjadi penyebab perlambatan ekonomi dunia di samping kondisi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19.

Kendati demikian, di tengah ketidakpastian ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diprediksi tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3% dengan faktor pendorong berupa perbaikan permintaan domestik dan kinerja ekspor yang positif. Kita patut bersyukur bahwa aktivitas masyarakat makin meningkat dan karenanya layak dikatakan bahwa ekonomi kita sudah kembali atau setidaknya menuju titik normal.

Mari sejenak kita melihat program ekonomi pemerintah Indonesia selama pandemi Covid-19. Sejak dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO pada Maret 2020, sejumlah negara berupaya menyelamatkan kesehatan masyarakat. Selain lockdown dan larangan penerbangan, juga dilakukan penutupan perbatasan, physical distancing melalui penutupan sekolah, kantor, dan kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, pemerintah Indonesia menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai 3-20 Juli 2021. Beberapa istilah dan kebijakan pun diberlakukan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Adaptasi Kebiasan Baru (AKB).

Banyaknya korban meninggal dunia baik dari kalangan masyarakat biasa maupun tenaga medis menunjukkan betapa Covid-19 adalah sebuah ancaman serius. Data terakhir menunjukkan angka meninggal dunia sebanyak 161.797 jiwa dari 6,808 juta kasus di Indonesia (sumber: covid19.go.id).

Harus diakui, Covid-19 mengubah wajah sosial ekonomi dunia. Ekonomi dunia nyaris di jurang resesi. Ketika PSBB diimplementasikan pada triwulan kedua 2020,pertumbuhan ekonomi nasional sebesar-5,3%. Pada akhir 2020, pertumbuhan tercatat sebesar -2,19%. Ada tekanan tajam, baik di sisi permintaan (konsumsi masyarakat) maupun di sisi penawaran (sektor-sektor yang menghentikan aktivitasnya).

Akibatnya, aktivitas ekonomi dari hulu hingga hilir terganggu. Sektor yang paling rentan dan terimbas ialah manufaktur, perdagangan (besar dan ritel), transportasi, dan akomodasi (restoran dan perhotelan). Ini berdampak pada gangguan arus kas, penurunan kinerja bisnis, PHK, serta ancaman gulung tikar.

Melalui program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), pemerintah melakukan berbagai langkah. Laporan Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa hingga November 2022 anggaran PC-PEN terealisasi sebesar Rp280,7 triliun atau 61,6% dari alokasi sebanyak Rp455,62 triliun.

Angka tersebut terdiri dari realisasi program penanganan kesehatan sebesar Rp48,6 triliun, perlindungan masyarakat Rp123,1 triliun, dan penguatan pemulihan ekonomi sebesar Rp109,0 triliun.

Di tengah berbagai kekurangan dalam PC-PEN, kita berharap agar upaya yang dilakukan pemerintah dapat memulihkan perekonomian menuju kondisi yang stabil. Kestabilan itu bisa dilihat setidaknya pada tiga aspek yakni nilai kurs terhadap mata uang yang stabil,inflasi pada tingkat aman, serta target ekspor-impor sesuai dan devisa negara terpenuhi.

Nilai kurs rupiah terhadap dollar AS pada akhir Desember 2021 sebesar Rp14.265,00/USD. Pada akhir Desember 2022, nilanya menjadi Rp15.655,00/USD. Sedangkan, kurs saat ini sebesar Rp14.855,00/USD.

Inflasi tahunan pada akhir 2021 mencapai 1,87%. Sedangkan, pada Desember 2022 sebesar 5,51%. Sementara, inflasi pada Maret 2023 mencapai 4,33%. Jika dibandingkan dengan target inflasi dalam APBN 2023, angka ini masih lebih tinggi dari asumsi sebesar 3,6%.

Bagaimana dengan devisa? Data BI melaporkan cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2023 mencapai Rp145,2 miliar dollas AS. Ini setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, masih di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Ada faktor lain yang berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian yaitu pajak. Dalam banyak literatur, pajak disebut mempunyai fungsi anggaran (budgeter), mengatur (regulasi), pemerataan (distribusi), dan stabilisasi.

Terkait fungsi anggaran, target penerimaan pajak disesuaikan dengan kebutuhan APBN. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020 menyebutkan, penerimaan pajak dalam negeri mencapai Rp1.248,415 triliun atau 75,76% dari total penerimaan negara dan hibah.

Tahun 2021, penerimaan sebesar Rp1.474,145 triliun atau 73,29%. Sementara tahun 2022, penerimaan sebesar Rp2.045,500 triliun atau 77,46% dari total penerimaan negara dan hibah.

Sebagai fungsi regulasi, pajak digunakan untuk mengatur perekonomian seperti menghambat laju inflasi, pendorong kegiatan ekspor, perlindungan terhadap barang produksi dari dalam negeri (misalnya Pajak Pertambahan Nilai atau PPN), serta menarik modal untuk membantu perekonomian agar semakin produktif.

Pajak juga punya peran pemerataan/distribusi kepada masyarakat. Bentuknya bisa berupa pembangunan infrastruktur, subsidi, maupun pembagian pendapatan antara pusat dan daerah.

Manfaat pajak kepada masyarakat jangan hanya dilihat dari sisi pengeluaran negara dalam APBN saja. Ada yang luput dari perhatian kita yaitu belanja perpajakan yang merupakan faktor pengurang penerimaan pajak, tetapi bermanfaat langsung kepada masyarakat.

Menurut OECD belanja perpajakan adalah transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung (direct transfer) tetapi melalui pengurangan kewajiban pajak dengan mengacu pada standar perpajakan yang berlaku (tax benchmark).

Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report-TER) tahun 2021 menyajikan informasi bahwa pada 2021 estimasi belanja perpajakan adalah Rp299,1 triliun atau 1,76% dari PDB. Dibandingkan estimasi belanja perpajakan tahun 2020 sebesar Rp241,6 triliun, angka tahun 2021 meningkat sebesar 23,8%.

Berdasarkan jenis pajak, belanja perpajakan tahun 2021 terbesar adalah PPN dan PPnBM yang mencapai Rp175,0 triliun atau 58,5% dari total estimasi belanja perpajakan. Berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp4,8 miliar serta pengecualian PPN atas barang dan jasa tertentu sebagai kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, transportasi umum, jasa pendidikan.

Demikian juga fasilitas PPN ditanggung pemerintah atas penyerahan barang atau jasa untuk penanganan Covid-19 dan bea masuk dibebaskan untuk impor pengadaan vaksin. Peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi juga menyebabkan pemanfaatan insentif perpajakan yang mendukung kegiatan tersebut semakin tinggi.

TER 2022 belum terbit. Namun, belanja perpajakan tahun 2022 diproyeksikan menurun dibandingkan tahun 2021 akibat berakhirnya beberapa kebijakan insentif perpajakan untuk penanganan pandemi Covid-19. Namun, kenaikan tarif dari 10% menjadi 11% sejak April 2022 diprakirakan menaikkan belanja perpajakan di bidang PPN.

Terakhir, pajak memainkan peran stabilisasi antara lain untuk mengatasi inflasi.Saat inflasi, pemerintah menetapkan pajak tinggi sehingga jumlah uang yang beredar dapat dikurangi. Saat ekonomi lesu atau deflasi, pemerintah menurunkan pajak, sehingga jumlah uang yang beredar ditambah dan deflasi dapat diatasi.

*Pendapat pribadi, tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2433 seconds (0.1#10.140)