Tantangan Pilkada Melahirkan Negarawan
loading...
A
A
A
Salah satu hal penting yang harus disadari adalah kontrol publik dalam menghadapi Pilkada tidak boleh berhenti saat proses penentuan kepala daerah di bilik suara. Kecenderungan minimnya kesadaran masyarakat untuk mengontrol proses kepemimpinan daerah harus menjadi agena kolektif. Apakah kemudian para pemimpin daerah tersebut telah menjalankan amanah kekuasaannya sesuai konstitusi? Bagaimana nantinya para pemimpin daerah itu mengelola kekuasannya untuk mensejahterakan dan memajukan daerahnya?
Pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus menjadi basis kesadaran publik. Suka tidak suka mau tidak mau, UU yang berkaitan dengan Pilkada belum mampu mengcover perilaku politik masyarakat seluruhnya. Aturan yang ada di UU Pemilu hanya menjawab praktik Pilkada yang terkait pada saat tahapan Pilkada dimulai. Implikasinya, para petahana yang diduga memanfaatkan bansos penanganan Covid-19 untuk menggenjot elektablititas misalnya belum bisa diatasi secara serius.
Potret demokrasi itulah yang kemudian harus menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluuruh masyarakat. Mengimplementasikan demokrasi substantif harus menjadi basis kolektif seluruh unsur masyarakat. Rakyat yang menjadi mahkamah tertinggi saat Pilkada tidak boleh hanya menjadi jargon tanpa komitmen nyata.
Civil society, para pemimpin daerah, pemangku elite partai politik dan unsur pemerintah lainnya sesungguhnya akan diuji untuk menerapkan konstitusi secara bertanggung jawab. Kita semua harus berjanji untuk lolos dari ujian ini. Menjalankan pesta demokrasi Pilkada dengan kesadaran tinggi hanya mengacu pada konstitusi.
Takdir menjalankan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 sejatinya menjadi proses sejarah politik penting bagi seluruh elemen bangsa. Mengamalkan pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dan juga menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan penuh komitmen. Pada akhirnya, kita semua akan lolos dari ujian sebagai sebuah bangsa yang maju, beradab, bermartabat.
Pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus menjadi basis kesadaran publik. Suka tidak suka mau tidak mau, UU yang berkaitan dengan Pilkada belum mampu mengcover perilaku politik masyarakat seluruhnya. Aturan yang ada di UU Pemilu hanya menjawab praktik Pilkada yang terkait pada saat tahapan Pilkada dimulai. Implikasinya, para petahana yang diduga memanfaatkan bansos penanganan Covid-19 untuk menggenjot elektablititas misalnya belum bisa diatasi secara serius.
Potret demokrasi itulah yang kemudian harus menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluuruh masyarakat. Mengimplementasikan demokrasi substantif harus menjadi basis kolektif seluruh unsur masyarakat. Rakyat yang menjadi mahkamah tertinggi saat Pilkada tidak boleh hanya menjadi jargon tanpa komitmen nyata.
Civil society, para pemimpin daerah, pemangku elite partai politik dan unsur pemerintah lainnya sesungguhnya akan diuji untuk menerapkan konstitusi secara bertanggung jawab. Kita semua harus berjanji untuk lolos dari ujian ini. Menjalankan pesta demokrasi Pilkada dengan kesadaran tinggi hanya mengacu pada konstitusi.
Takdir menjalankan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 sejatinya menjadi proses sejarah politik penting bagi seluruh elemen bangsa. Mengamalkan pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dan juga menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan penuh komitmen. Pada akhirnya, kita semua akan lolos dari ujian sebagai sebuah bangsa yang maju, beradab, bermartabat.
(maf)