Tantangan Pilkada Melahirkan Negarawan
loading...
A
A
A
Sunanto
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
TAHUN 2020 merupakan momentum pengujian total bagi eksistensi bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki sistem politik elektoral langsung untuk memilih pemimpin daerahnya. Bagaimana tidak, saat bangsa Indonesia sedang bekerja keras menghadapi pandemi global coronavirus disease (Covid-19), para pemangku kepentingan memutuskan untuk menggelar hajatan demokrasi di 270 daerah pada 9 Desember 2020 mendatang.
Meski agenda Pilkada serentak ditunda dari jadwal sebelumnya pada 23 September 2020, Pemerintah dalam hal ini Kemendagri, KPU, Bawaslu bersama DPR telah bersepakat bahwa proses politik untuk memilih 9 gubernur, 224 Bupati dan 37 walikota bersama dengan wakilnya akan dilaksanakan pada 9 Desember. Keputusan yang disepakati pada 14 April 2020 itu, tentu dengan komitmen melaksanakan Pilkada dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Salah satu konsekuensi yang mencolok adalah pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang menyebutkan bahwa untuk menggelar Pilkada di tengah pandemi Covid-19 dibutuhkan tambahan dana sebesar Rp 1,4 Triliun. Dana tambahan itu diperlukan untuk pemenuhan penerapan protokol kesehatan Covid-19 salah satunya pengadaan alat pelindung diri (APD).
Pilkada Di Tengah Covid-19
Banyak pihak yang khawatir pesta demokrasi memilih pemimpin di 270 daerah itu justru akan menimbulkan banyaknya klaster baru penyebaran Covid-19.Munculnya isu terbatasnya teknologi informasi, termasuk kesimpangsiuran ketersediaan uang dan barang dalam pemenuhan alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu dari level pusat hingga level terbawah di Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Masalah tersebut harus segera di-clearkan ke publik, agar terbangun kepercayaan publik yang bermuara pada partisipasi politik dalam mensukseskan Pilkada serentak ini.
Bagaimanapun pesta demokrasi memilih para pemimpin daerah tidak boleh hanya hanya bermodal keyakinan, tekat dan semangat semata. Sebagai negara yang memiliki tata aturan konstitusi, para pemangku otoritas yang terkait erat dengan Pilkada harus benar-benar mengacu pada nilai aturan main (konstitusi). Dengan demikian target substantif dari kelahiran Pilkada itu sendiri akan tercapai.
Kekhawatiran sebagian ahli tentang dampak Pilkada yang dapat membuat penyebaran Covid-19 harus benar-benar menjadi alarm dan sekaligus pembuktian bagi para penyelenggara untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Data kasus Covid-19 per 23 Juli 2020 yang menyebutkan 93.657 orang di Indonesia tekah terjangkit wabah mematikan asal Kota Wuhan, China ini tidak boleh dianggap bukan masalah.
Para penyelenggara harus benar-benar memahami ada aturan dan pola kerja yang berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Sebagaimana tercantum pada pasal 8C PKPU 17/2020 bahwa seluruh tahapan, program dan jadwal pemilihan dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19. Penyelenggara, peserta Pilkada dan juga masyarakat harus menjadi subjek aktif dalam mensukseskan pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi global Covid-9 ini.
Publik Memilih Kandidat
Meski saat ini semua pihak sedang fokus pada pandemi Covid-19, perlu dicatat bahwa ruh dari kesuksesan Pilkada adalah terpilihnya sosok-sosk yang memilki kapasitas dan integritas untuk kemudian diuji untuk merebut kursi kepemimpinan daerah. Terlepas dari pro dan kontra dari pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi, masyarakat harus terlibat total dalam menentukan siapa saja para calon yang akhirnya diusung oleh masing-masing partai politik.
Di luar kemunculan calon perseorangan di banyak daerah, kecenderungan penguasaan partai politik dalam memilih kandidat harus diubah. Masyarakat harus dilibatkan saat melakukan screening untuk menentukan para calon yang akan bertarung merebut kursi kepemimpinan daerahnya. Partai politik juga tidak boleh mengabaikan suara dan kehendak publik.
Partai politik harus melibatkan simpul-simpul masyarakat di bawah untuk diajak bicara dalam menentukan sosok yang tepat untuk diusung sebagai kandidat. Dengan proses politik yang minim hegemoni kekuasaan parpol, maka kandidat yang ditawarkan akan benar-benar mewakili politik substantif (kepentingan publik) yang menjamin masa depan di setiap daerah.
Jika proses politik pra Pilkada memfasilitasi peran masyarakat, maka kekhawatiran tentang kemunculan calon tanpa memiliki kapasitas dan integritas akan minim terjadi. Termasuk munculnya kandidat yang didasari kedekatan politik praktis juga akan dapat dihindari.
Isu politik dinasti, kandidat yang hanya bermodal uang dan isu-isu yang menggejala dan merusak substansi dari demokrasi bisa dihilangkan. Cara dan pola pikir politik semacam ini harus dimulai, mengedepankan calon berkualitas demi menciptakan suatu proses politik yang mewakili kepentingan masyarakat adalah keniscayaan.
Pilkada Melahirkan Negarawan
Tujuan lahirnya Pilkada sejatinya adalah proses ujian bagi seluruh elemen bangsa untuk memilih secara terbuka pemimpin yang dapat melanjutkan perjuangan dan nilai luhur para pendiri bangsa.
Pilkada adalah instrumen politik untuk menguji seberapa arif masyarakat dalam berkompetisi, menerima kemenangan sekaligus kekalahan yang bermuara pada persatuan sebagai sebuah bangsa. Perebutan kekuasaan di 270 daerah nanti harus menjadi ajang kematangan politik bagi seluruh anak bangsa. Pertarungan memberikan hikmah bagi kedewasaan politik masyarakat. Kegigihan dalam menjual visi dan gagasan pembangunan daerah harus menjadi perilaku calon, partai dan juga masyarakat. Pilkada tanpa kebohongan dan citra politik semata menjadi tradisi politik seperti apa yang telah dilakukan oleh negarawan terdahulu.
Jika dulu Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, KH Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Soekarni, BM Diah dan para pejuang proklamasi menyatukan pikiran dan persatuan untuk memproklamasikan kemerdekaan, maka saat ini para pewaris kemerdekaan dituntut untuk menjaga dan menjalankan konstitusi dengan penuh tanggung jawab.
Kontrol Publik
Salah satu hal penting yang harus disadari adalah kontrol publik dalam menghadapi Pilkada tidak boleh berhenti saat proses penentuan kepala daerah di bilik suara. Kecenderungan minimnya kesadaran masyarakat untuk mengontrol proses kepemimpinan daerah harus menjadi agena kolektif. Apakah kemudian para pemimpin daerah tersebut telah menjalankan amanah kekuasaannya sesuai konstitusi? Bagaimana nantinya para pemimpin daerah itu mengelola kekuasannya untuk mensejahterakan dan memajukan daerahnya?
Pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus menjadi basis kesadaran publik. Suka tidak suka mau tidak mau, UU yang berkaitan dengan Pilkada belum mampu mengcover perilaku politik masyarakat seluruhnya. Aturan yang ada di UU Pemilu hanya menjawab praktik Pilkada yang terkait pada saat tahapan Pilkada dimulai. Implikasinya, para petahana yang diduga memanfaatkan bansos penanganan Covid-19 untuk menggenjot elektablititas misalnya belum bisa diatasi secara serius.
Potret demokrasi itulah yang kemudian harus menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluuruh masyarakat. Mengimplementasikan demokrasi substantif harus menjadi basis kolektif seluruh unsur masyarakat. Rakyat yang menjadi mahkamah tertinggi saat Pilkada tidak boleh hanya menjadi jargon tanpa komitmen nyata.
Civil society, para pemimpin daerah, pemangku elite partai politik dan unsur pemerintah lainnya sesungguhnya akan diuji untuk menerapkan konstitusi secara bertanggung jawab. Kita semua harus berjanji untuk lolos dari ujian ini. Menjalankan pesta demokrasi Pilkada dengan kesadaran tinggi hanya mengacu pada konstitusi.
Takdir menjalankan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 sejatinya menjadi proses sejarah politik penting bagi seluruh elemen bangsa. Mengamalkan pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dan juga menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan penuh komitmen. Pada akhirnya, kita semua akan lolos dari ujian sebagai sebuah bangsa yang maju, beradab, bermartabat.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
TAHUN 2020 merupakan momentum pengujian total bagi eksistensi bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki sistem politik elektoral langsung untuk memilih pemimpin daerahnya. Bagaimana tidak, saat bangsa Indonesia sedang bekerja keras menghadapi pandemi global coronavirus disease (Covid-19), para pemangku kepentingan memutuskan untuk menggelar hajatan demokrasi di 270 daerah pada 9 Desember 2020 mendatang.
Meski agenda Pilkada serentak ditunda dari jadwal sebelumnya pada 23 September 2020, Pemerintah dalam hal ini Kemendagri, KPU, Bawaslu bersama DPR telah bersepakat bahwa proses politik untuk memilih 9 gubernur, 224 Bupati dan 37 walikota bersama dengan wakilnya akan dilaksanakan pada 9 Desember. Keputusan yang disepakati pada 14 April 2020 itu, tentu dengan komitmen melaksanakan Pilkada dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Salah satu konsekuensi yang mencolok adalah pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang menyebutkan bahwa untuk menggelar Pilkada di tengah pandemi Covid-19 dibutuhkan tambahan dana sebesar Rp 1,4 Triliun. Dana tambahan itu diperlukan untuk pemenuhan penerapan protokol kesehatan Covid-19 salah satunya pengadaan alat pelindung diri (APD).
Pilkada Di Tengah Covid-19
Banyak pihak yang khawatir pesta demokrasi memilih pemimpin di 270 daerah itu justru akan menimbulkan banyaknya klaster baru penyebaran Covid-19.Munculnya isu terbatasnya teknologi informasi, termasuk kesimpangsiuran ketersediaan uang dan barang dalam pemenuhan alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu dari level pusat hingga level terbawah di Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Masalah tersebut harus segera di-clearkan ke publik, agar terbangun kepercayaan publik yang bermuara pada partisipasi politik dalam mensukseskan Pilkada serentak ini.
Bagaimanapun pesta demokrasi memilih para pemimpin daerah tidak boleh hanya hanya bermodal keyakinan, tekat dan semangat semata. Sebagai negara yang memiliki tata aturan konstitusi, para pemangku otoritas yang terkait erat dengan Pilkada harus benar-benar mengacu pada nilai aturan main (konstitusi). Dengan demikian target substantif dari kelahiran Pilkada itu sendiri akan tercapai.
Kekhawatiran sebagian ahli tentang dampak Pilkada yang dapat membuat penyebaran Covid-19 harus benar-benar menjadi alarm dan sekaligus pembuktian bagi para penyelenggara untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Data kasus Covid-19 per 23 Juli 2020 yang menyebutkan 93.657 orang di Indonesia tekah terjangkit wabah mematikan asal Kota Wuhan, China ini tidak boleh dianggap bukan masalah.
Para penyelenggara harus benar-benar memahami ada aturan dan pola kerja yang berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Sebagaimana tercantum pada pasal 8C PKPU 17/2020 bahwa seluruh tahapan, program dan jadwal pemilihan dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19. Penyelenggara, peserta Pilkada dan juga masyarakat harus menjadi subjek aktif dalam mensukseskan pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi global Covid-9 ini.
Publik Memilih Kandidat
Meski saat ini semua pihak sedang fokus pada pandemi Covid-19, perlu dicatat bahwa ruh dari kesuksesan Pilkada adalah terpilihnya sosok-sosk yang memilki kapasitas dan integritas untuk kemudian diuji untuk merebut kursi kepemimpinan daerah. Terlepas dari pro dan kontra dari pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi, masyarakat harus terlibat total dalam menentukan siapa saja para calon yang akhirnya diusung oleh masing-masing partai politik.
Di luar kemunculan calon perseorangan di banyak daerah, kecenderungan penguasaan partai politik dalam memilih kandidat harus diubah. Masyarakat harus dilibatkan saat melakukan screening untuk menentukan para calon yang akan bertarung merebut kursi kepemimpinan daerahnya. Partai politik juga tidak boleh mengabaikan suara dan kehendak publik.
Partai politik harus melibatkan simpul-simpul masyarakat di bawah untuk diajak bicara dalam menentukan sosok yang tepat untuk diusung sebagai kandidat. Dengan proses politik yang minim hegemoni kekuasaan parpol, maka kandidat yang ditawarkan akan benar-benar mewakili politik substantif (kepentingan publik) yang menjamin masa depan di setiap daerah.
Jika proses politik pra Pilkada memfasilitasi peran masyarakat, maka kekhawatiran tentang kemunculan calon tanpa memiliki kapasitas dan integritas akan minim terjadi. Termasuk munculnya kandidat yang didasari kedekatan politik praktis juga akan dapat dihindari.
Isu politik dinasti, kandidat yang hanya bermodal uang dan isu-isu yang menggejala dan merusak substansi dari demokrasi bisa dihilangkan. Cara dan pola pikir politik semacam ini harus dimulai, mengedepankan calon berkualitas demi menciptakan suatu proses politik yang mewakili kepentingan masyarakat adalah keniscayaan.
Pilkada Melahirkan Negarawan
Tujuan lahirnya Pilkada sejatinya adalah proses ujian bagi seluruh elemen bangsa untuk memilih secara terbuka pemimpin yang dapat melanjutkan perjuangan dan nilai luhur para pendiri bangsa.
Pilkada adalah instrumen politik untuk menguji seberapa arif masyarakat dalam berkompetisi, menerima kemenangan sekaligus kekalahan yang bermuara pada persatuan sebagai sebuah bangsa. Perebutan kekuasaan di 270 daerah nanti harus menjadi ajang kematangan politik bagi seluruh anak bangsa. Pertarungan memberikan hikmah bagi kedewasaan politik masyarakat. Kegigihan dalam menjual visi dan gagasan pembangunan daerah harus menjadi perilaku calon, partai dan juga masyarakat. Pilkada tanpa kebohongan dan citra politik semata menjadi tradisi politik seperti apa yang telah dilakukan oleh negarawan terdahulu.
Jika dulu Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, KH Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Soekarni, BM Diah dan para pejuang proklamasi menyatukan pikiran dan persatuan untuk memproklamasikan kemerdekaan, maka saat ini para pewaris kemerdekaan dituntut untuk menjaga dan menjalankan konstitusi dengan penuh tanggung jawab.
Kontrol Publik
Salah satu hal penting yang harus disadari adalah kontrol publik dalam menghadapi Pilkada tidak boleh berhenti saat proses penentuan kepala daerah di bilik suara. Kecenderungan minimnya kesadaran masyarakat untuk mengontrol proses kepemimpinan daerah harus menjadi agena kolektif. Apakah kemudian para pemimpin daerah tersebut telah menjalankan amanah kekuasaannya sesuai konstitusi? Bagaimana nantinya para pemimpin daerah itu mengelola kekuasannya untuk mensejahterakan dan memajukan daerahnya?
Pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus menjadi basis kesadaran publik. Suka tidak suka mau tidak mau, UU yang berkaitan dengan Pilkada belum mampu mengcover perilaku politik masyarakat seluruhnya. Aturan yang ada di UU Pemilu hanya menjawab praktik Pilkada yang terkait pada saat tahapan Pilkada dimulai. Implikasinya, para petahana yang diduga memanfaatkan bansos penanganan Covid-19 untuk menggenjot elektablititas misalnya belum bisa diatasi secara serius.
Potret demokrasi itulah yang kemudian harus menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluuruh masyarakat. Mengimplementasikan demokrasi substantif harus menjadi basis kolektif seluruh unsur masyarakat. Rakyat yang menjadi mahkamah tertinggi saat Pilkada tidak boleh hanya menjadi jargon tanpa komitmen nyata.
Civil society, para pemimpin daerah, pemangku elite partai politik dan unsur pemerintah lainnya sesungguhnya akan diuji untuk menerapkan konstitusi secara bertanggung jawab. Kita semua harus berjanji untuk lolos dari ujian ini. Menjalankan pesta demokrasi Pilkada dengan kesadaran tinggi hanya mengacu pada konstitusi.
Takdir menjalankan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 sejatinya menjadi proses sejarah politik penting bagi seluruh elemen bangsa. Mengamalkan pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegarawanan dan juga menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan penuh komitmen. Pada akhirnya, kita semua akan lolos dari ujian sebagai sebuah bangsa yang maju, beradab, bermartabat.
(maf)