Tantangan Pilkada Melahirkan Negarawan

Jum'at, 24 Juli 2020 - 15:39 WIB
loading...
A A A
Partai politik harus melibatkan simpul-simpul masyarakat di bawah untuk diajak bicara dalam menentukan sosok yang tepat untuk diusung sebagai kandidat. Dengan proses politik yang minim hegemoni kekuasaan parpol, maka kandidat yang ditawarkan akan benar-benar mewakili politik substantif (kepentingan publik) yang menjamin masa depan di setiap daerah.

Jika proses politik pra Pilkada memfasilitasi peran masyarakat, maka kekhawatiran tentang kemunculan calon tanpa memiliki kapasitas dan integritas akan minim terjadi. Termasuk munculnya kandidat yang didasari kedekatan politik praktis juga akan dapat dihindari.

Isu politik dinasti, kandidat yang hanya bermodal uang dan isu-isu yang menggejala dan merusak substansi dari demokrasi bisa dihilangkan. Cara dan pola pikir politik semacam ini harus dimulai, mengedepankan calon berkualitas demi menciptakan suatu proses politik yang mewakili kepentingan masyarakat adalah keniscayaan.

Pilkada Melahirkan Negarawan

Tujuan lahirnya Pilkada sejatinya adalah proses ujian bagi seluruh elemen bangsa untuk memilih secara terbuka pemimpin yang dapat melanjutkan perjuangan dan nilai luhur para pendiri bangsa.

Pilkada adalah instrumen politik untuk menguji seberapa arif masyarakat dalam berkompetisi, menerima kemenangan sekaligus kekalahan yang bermuara pada persatuan sebagai sebuah bangsa. Perebutan kekuasaan di 270 daerah nanti harus menjadi ajang kematangan politik bagi seluruh anak bangsa. Pertarungan memberikan hikmah bagi kedewasaan politik masyarakat. Kegigihan dalam menjual visi dan gagasan pembangunan daerah harus menjadi perilaku calon, partai dan juga masyarakat. Pilkada tanpa kebohongan dan citra politik semata menjadi tradisi politik seperti apa yang telah dilakukan oleh negarawan terdahulu.

Jika dulu Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, KH Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Soekarni, BM Diah dan para pejuang proklamasi menyatukan pikiran dan persatuan untuk memproklamasikan kemerdekaan, maka saat ini para pewaris kemerdekaan dituntut untuk menjaga dan menjalankan konstitusi dengan penuh tanggung jawab.

Kontrol Publik

Salah satu hal penting yang harus disadari adalah kontrol publik dalam menghadapi Pilkada tidak boleh berhenti saat proses penentuan kepala daerah di bilik suara. Kecenderungan minimnya kesadaran masyarakat untuk mengontrol proses kepemimpinan daerah harus menjadi agena kolektif. Apakah kemudian para pemimpin daerah tersebut telah menjalankan amanah kekuasaannya sesuai konstitusi? Bagaimana nantinya para pemimpin daerah itu mengelola kekuasannya untuk mensejahterakan dan memajukan daerahnya?

Pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus menjadi basis kesadaran publik. Suka tidak suka mau tidak mau, UU yang berkaitan dengan Pilkada belum mampu mengcover perilaku politik masyarakat seluruhnya. Aturan yang ada di UU Pemilu hanya menjawab praktik Pilkada yang terkait pada saat tahapan Pilkada dimulai. Implikasinya, para petahana yang diduga memanfaatkan bansos penanganan Covid-19 untuk menggenjot elektablititas misalnya belum bisa diatasi secara serius.

Potret demokrasi itulah yang kemudian harus menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluuruh masyarakat. Mengimplementasikan demokrasi substantif harus menjadi basis kolektif seluruh unsur masyarakat. Rakyat yang menjadi mahkamah tertinggi saat Pilkada tidak boleh hanya menjadi jargon tanpa komitmen nyata.

Civil society, para pemimpin daerah, pemangku elite partai politik dan unsur pemerintah lainnya sesungguhnya akan diuji untuk menerapkan konstitusi secara bertanggung jawab. Kita semua harus berjanji untuk lolos dari ujian ini. Menjalankan pesta demokrasi Pilkada dengan kesadaran tinggi hanya mengacu pada konstitusi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0888 seconds (0.1#10.140)