Mengukur Kewajaran Harga Telur
loading...
A
A
A
Namun terlepas dari faktor di atas, pemerintah jangan terkesan lamban apalagi diam membiarkan semuanya di luar wewenang. Tak hanya konsumen, pembiaran harga telur dengan menyerahkan sepenuhnya pada pasar jelas langkah blunder. Peternak atau produsen dipastikan kian bingung membuat standar harga. Ini bisa berakibat fatal karena mereka justru saling bersaing harga antara kelompok atau wilayah satu dengan lainnya. Demikian juga harga di antara distributor pun menjadi tidak sehat.
Ujungnya jelas ke konsumen. Dampak lebih serius tentu bagi pemerintah. Ini menjadi pemantik kekecewaan yang besar terhadap negara. Publik merasa negara tidak menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Untuk mengerem situasi agar tidak kian runyam, tidak ada kata lain kecuali negara harus segera hadir. Negara dengan kewenangannya sah melakukan intervensi demi memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kehadiran negara juga menjadi bukti adanya keseriusan dalam penguatan ketahanan pangan rakyat.
Melihat isu harga ini begitu kompleks dan lama, jelas sekali solusi yang dibutuhkan bukanlah model sistem kebut semalam. Di sisi lain, ketaktisan pemerintah dalam mengendalikan harga bahan pokok ini juga ditunggu-tunggu rakyat. Untuk itu, tepat kiranya jika model penyelesaian yang ditawarkan bisa dengan pendekatan jangka pendek, menengah atau panjang.
Pada jangka pendek misalnya, pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait segera menggelar operasi pasar dalam rangka normalisasi harga. Kemudian pada jangka menengah, sistem subdisi kepada peternak mungkin juga bisa dilakukan. Senin (22/5/2023) lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sudah punya rencana menggelontorkan subsidi untuk pakan jagung sebesar Rp1.500 per kg. Namun hampir tiga pekan berselang, rencana ini belum terealisasikan. Badan Pangan Nasional juga demikian. Belum bergerak taktis.
Jika alur distribusi dianggap masih acakadut, tentu sudah saatnya pula ditata agar kian tak semrawut. Demikian juga untuk jangka panjang, sudah saatnya melakukan kebijakan yang berani seperti menghentikan impor bahan pakan ternak.
Langkah itu tentu tidak mudah dan jelas akan mengundang perlawanan maupun kontroversi. Perlawanan bisa jadi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan bisnis impor mengimpor. Tak hanya dari kalangan pengusaha, benih perlawanan sangat mungkin berasal dari internal pemerintah sendiri. Mereka dengan berbagai cara dan upaya akan menggembosi kebijakan stop impor bahan pakan yang mungkin dinilai sangat radikal tersebut.
Pada saat yang sama, pemerintah juga saatnya serius menyiapkan pemenuhan bahan pakan ternak secara mandiri lewat berbagai program yang strategis. Sejatinya, sudah lama upaya pemenuhan kebutuhan domestik ini diikhtiarkan. Namun faktanya tak pernah maksimal lantaran selalu dihadapkan pada kebijakan yang sifatnya setengah hati.
Indonesia seharusnya bisa belajar dari keberhasilan swasembada beras yang pernah terwujud beberapa dasawarsa silam. Dan, kegagalan-kegagalan dalam penyediaan pangan selama ini tidak lantas membuat bangsa ini ciut nyali yang akhirnya justru menjadi pasar bebas impor pangan global. Beras, jagung, kedelai, daging saat ini harus dipenuhi dengan cara membeli dari bangsa lain. Kenyataan demikian di tengah negara agraris ini jelas begitu miris sekaligus ironis.
Lantas sampai kapan situasi ini akan terus terjadi? Pemerintahan tak henti berganti namun nasib penduduk negeri juga tak banyak bertransformasi. Dalam situasi yang tidak mudah ini, tentu harus diyakini masih ada cahaya terang ke depan. Baik dengan cara memperkuat kebijakan politik, ekonomi, pertanian hingga perdagangan. Jalan diplomasi, dan penyadaran publik juga tak bisa dikesampingkan.
Ujungnya jelas ke konsumen. Dampak lebih serius tentu bagi pemerintah. Ini menjadi pemantik kekecewaan yang besar terhadap negara. Publik merasa negara tidak menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Untuk mengerem situasi agar tidak kian runyam, tidak ada kata lain kecuali negara harus segera hadir. Negara dengan kewenangannya sah melakukan intervensi demi memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kehadiran negara juga menjadi bukti adanya keseriusan dalam penguatan ketahanan pangan rakyat.
Melihat isu harga ini begitu kompleks dan lama, jelas sekali solusi yang dibutuhkan bukanlah model sistem kebut semalam. Di sisi lain, ketaktisan pemerintah dalam mengendalikan harga bahan pokok ini juga ditunggu-tunggu rakyat. Untuk itu, tepat kiranya jika model penyelesaian yang ditawarkan bisa dengan pendekatan jangka pendek, menengah atau panjang.
Pada jangka pendek misalnya, pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait segera menggelar operasi pasar dalam rangka normalisasi harga. Kemudian pada jangka menengah, sistem subdisi kepada peternak mungkin juga bisa dilakukan. Senin (22/5/2023) lalu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sudah punya rencana menggelontorkan subsidi untuk pakan jagung sebesar Rp1.500 per kg. Namun hampir tiga pekan berselang, rencana ini belum terealisasikan. Badan Pangan Nasional juga demikian. Belum bergerak taktis.
Jika alur distribusi dianggap masih acakadut, tentu sudah saatnya pula ditata agar kian tak semrawut. Demikian juga untuk jangka panjang, sudah saatnya melakukan kebijakan yang berani seperti menghentikan impor bahan pakan ternak.
Langkah itu tentu tidak mudah dan jelas akan mengundang perlawanan maupun kontroversi. Perlawanan bisa jadi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan bisnis impor mengimpor. Tak hanya dari kalangan pengusaha, benih perlawanan sangat mungkin berasal dari internal pemerintah sendiri. Mereka dengan berbagai cara dan upaya akan menggembosi kebijakan stop impor bahan pakan yang mungkin dinilai sangat radikal tersebut.
Pada saat yang sama, pemerintah juga saatnya serius menyiapkan pemenuhan bahan pakan ternak secara mandiri lewat berbagai program yang strategis. Sejatinya, sudah lama upaya pemenuhan kebutuhan domestik ini diikhtiarkan. Namun faktanya tak pernah maksimal lantaran selalu dihadapkan pada kebijakan yang sifatnya setengah hati.
Indonesia seharusnya bisa belajar dari keberhasilan swasembada beras yang pernah terwujud beberapa dasawarsa silam. Dan, kegagalan-kegagalan dalam penyediaan pangan selama ini tidak lantas membuat bangsa ini ciut nyali yang akhirnya justru menjadi pasar bebas impor pangan global. Beras, jagung, kedelai, daging saat ini harus dipenuhi dengan cara membeli dari bangsa lain. Kenyataan demikian di tengah negara agraris ini jelas begitu miris sekaligus ironis.
Lantas sampai kapan situasi ini akan terus terjadi? Pemerintahan tak henti berganti namun nasib penduduk negeri juga tak banyak bertransformasi. Dalam situasi yang tidak mudah ini, tentu harus diyakini masih ada cahaya terang ke depan. Baik dengan cara memperkuat kebijakan politik, ekonomi, pertanian hingga perdagangan. Jalan diplomasi, dan penyadaran publik juga tak bisa dikesampingkan.