Meniti Jalan Pancasila dalam Ekologi Spiritual
loading...
A
A
A
Arief Rosyid Hasan
Pengurus LPBI PBNU
PADA tanggal 1 Juni kita telah melewati momen peringatan hari Pancasila. Tahun ini, tema yang diusung ialah “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”.
Pancasila dianggap mampu mendorong kesadaran akan jati diri bangsa yang tercermin melalui gotong royong atau kerja sama-kolaborasi, untuk mencapai tatanan kebudayaan yang ideal dan pertumbuhan global.
Presiden Jokowi dalam pidato Peringatan Hari Lahir Pancasila menegaskan pentingnya mengenal akar atau jati diri bangsa, sebab bangsa yang mengenal diri dan sejarahnya mampu duduk sejajar dengan bangsa lain. Dengan begitu, Indonesia siap bekerja sama, siap memimpin, dan mampu berkolaborasi dengan negara mana pun.
Kemajemukan budaya Indonesia dianggap menjadi titik temu serta jembatan atas perbedaan yang ada di dunia. Ideologi Pancasila yang dipegang Indonesia membuat kepemimpinannya diterima dan diakui dunia. Secara kongkret, kita telah melihat penyelenggaraan G20 di Bali yang dihadiri pemimpin berbagai negara menghasilkan sejumlah kesepakatan sebagai solusi masalah global.
Salah satu isu yang sentral adalah masalah ekologi dan perubahan iklim, sehingga Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap 5 Juni ini perlu dijadikan momentum merefleksikan sejauh mana kontribusi kita dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Bertautan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dalam menyemai rumusan solusinya.
Pada tanggal 2-4 Juni 2023, Lembaga Penanggulanganan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Acara itu menjadi momen silaturahmi untuk melihat lebih dalam bagaimana kontribusi kita secara individu dan struktural dalam menanggulangi bencana dan perubahan iklim (climate change).
Kegiatan ini bertujuan melakukan konsolidasi, penguatan kelembagaan LPBI NU se-Indonesia, juga memperkuat sinergi dan kolaborasi dalam penanggulangan bencana serta perubahan iklim. Ikhtiar ini untuk memperkokoh Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang telah berusia satu abad dalam merawat jagat dan membangun peradaban.
Bagi Ketum PB NU Gus Yahya, masalah bencana dan perubahan iklim merupakan masalah fundamental dan kompleks sehingga harus didekati dari beragam perspektif, menyangkut berbagai kehidupan masyarakat. Artinya perlu respons dari hulu ke hilir, mulai dari kebijakan hingga pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Kenyataan-kenyataan besar dalam peradaban yang harus dihadapi dengan menyesuaikan diri, cara berpikir, berjalan, dan bertindak. Kita perlu menerima gagasan baru, tanpa meninggalkan akar tradisi dan agama. Bahkan menggalinya untuk bertemu pada titik temu antara ketiganya, yakni agama, perubahan zaman (modernitas) dan kebijaksanaan tradisi demi kemaslahatan bersama.
Islam akan terus membawa solusi dari perubahan zaman, sesuai konteks budaya-sosialnya. Dalam ekologi spiritual, gagasan dasarnya yakni melihat alam dan lingkungan hidup bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang setara dengan manusia dan makhluk lain. Alam tidak boleh dieksploitasi, melainkan tanggung jawab moril kita menjaganya demi menciptakan keseimbangan (equilibrium).
Ketua LPBI PBNU, Kang Ace Hasan dalam sambutannya di Rakornas menyinggung pandangan Sayyed Hossein Nasr seorang guru besar dan intelektual Islam yang melihat bahwa krisis lingkungan dan kerusakan alam tidak serta merta disebabkan oleh alam itu sendiri, namun ada intervensi manusia dan sains/teknologi yang turut menyebabkan degradasi lingkungan.
Untuk mengatasinya, agama harus hadir melakukan rekonstektualisasi nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Secara praktik, kita perlu menggali kearifan lokal, tradisi, dan budaya nusantara dalam menjaga kesuburan bumi. Secara nilai, kita wajib menepis pandangan antroposentisme yang memandang manusia sebagai satu-satunya pemegang kendali atas alam semesta.
Kita bisa melihat bagaimana bencana alam seperti tsunami, likuifaksi, gempa bumi, banjir, dan longsor membuat manusia tidak berdaya. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 749 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2023, yang mengakibatkan lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa manusia membutuhkan kesadaran untuk bertanggung jawab pada lingkungan. Untuk menumbuhkan itu, perlu kebijakan, kerja sama, dan kolaborasi. Isu lingkungan harus terus digemakan dalam obrolan tongkrongan, dalam ceramah di atas mimbar, dalam pembelajaran kurikulum di sekolah, dan dalam bidang apa pun yang kita geluti. Pancasila dalam perbuatan!
Pengurus LPBI PBNU
PADA tanggal 1 Juni kita telah melewati momen peringatan hari Pancasila. Tahun ini, tema yang diusung ialah “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”.
Pancasila dianggap mampu mendorong kesadaran akan jati diri bangsa yang tercermin melalui gotong royong atau kerja sama-kolaborasi, untuk mencapai tatanan kebudayaan yang ideal dan pertumbuhan global.
Presiden Jokowi dalam pidato Peringatan Hari Lahir Pancasila menegaskan pentingnya mengenal akar atau jati diri bangsa, sebab bangsa yang mengenal diri dan sejarahnya mampu duduk sejajar dengan bangsa lain. Dengan begitu, Indonesia siap bekerja sama, siap memimpin, dan mampu berkolaborasi dengan negara mana pun.
Kemajemukan budaya Indonesia dianggap menjadi titik temu serta jembatan atas perbedaan yang ada di dunia. Ideologi Pancasila yang dipegang Indonesia membuat kepemimpinannya diterima dan diakui dunia. Secara kongkret, kita telah melihat penyelenggaraan G20 di Bali yang dihadiri pemimpin berbagai negara menghasilkan sejumlah kesepakatan sebagai solusi masalah global.
Salah satu isu yang sentral adalah masalah ekologi dan perubahan iklim, sehingga Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap 5 Juni ini perlu dijadikan momentum merefleksikan sejauh mana kontribusi kita dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Bertautan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dalam menyemai rumusan solusinya.
Pada tanggal 2-4 Juni 2023, Lembaga Penanggulanganan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas). Acara itu menjadi momen silaturahmi untuk melihat lebih dalam bagaimana kontribusi kita secara individu dan struktural dalam menanggulangi bencana dan perubahan iklim (climate change).
Kegiatan ini bertujuan melakukan konsolidasi, penguatan kelembagaan LPBI NU se-Indonesia, juga memperkuat sinergi dan kolaborasi dalam penanggulangan bencana serta perubahan iklim. Ikhtiar ini untuk memperkokoh Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia yang telah berusia satu abad dalam merawat jagat dan membangun peradaban.
Bagi Ketum PB NU Gus Yahya, masalah bencana dan perubahan iklim merupakan masalah fundamental dan kompleks sehingga harus didekati dari beragam perspektif, menyangkut berbagai kehidupan masyarakat. Artinya perlu respons dari hulu ke hilir, mulai dari kebijakan hingga pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Ekologi Spiritual
Kenyataan-kenyataan besar dalam peradaban yang harus dihadapi dengan menyesuaikan diri, cara berpikir, berjalan, dan bertindak. Kita perlu menerima gagasan baru, tanpa meninggalkan akar tradisi dan agama. Bahkan menggalinya untuk bertemu pada titik temu antara ketiganya, yakni agama, perubahan zaman (modernitas) dan kebijaksanaan tradisi demi kemaslahatan bersama.
Islam akan terus membawa solusi dari perubahan zaman, sesuai konteks budaya-sosialnya. Dalam ekologi spiritual, gagasan dasarnya yakni melihat alam dan lingkungan hidup bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang setara dengan manusia dan makhluk lain. Alam tidak boleh dieksploitasi, melainkan tanggung jawab moril kita menjaganya demi menciptakan keseimbangan (equilibrium).
Ketua LPBI PBNU, Kang Ace Hasan dalam sambutannya di Rakornas menyinggung pandangan Sayyed Hossein Nasr seorang guru besar dan intelektual Islam yang melihat bahwa krisis lingkungan dan kerusakan alam tidak serta merta disebabkan oleh alam itu sendiri, namun ada intervensi manusia dan sains/teknologi yang turut menyebabkan degradasi lingkungan.
Untuk mengatasinya, agama harus hadir melakukan rekonstektualisasi nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Secara praktik, kita perlu menggali kearifan lokal, tradisi, dan budaya nusantara dalam menjaga kesuburan bumi. Secara nilai, kita wajib menepis pandangan antroposentisme yang memandang manusia sebagai satu-satunya pemegang kendali atas alam semesta.
Kita bisa melihat bagaimana bencana alam seperti tsunami, likuifaksi, gempa bumi, banjir, dan longsor membuat manusia tidak berdaya. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 749 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2023, yang mengakibatkan lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa manusia membutuhkan kesadaran untuk bertanggung jawab pada lingkungan. Untuk menumbuhkan itu, perlu kebijakan, kerja sama, dan kolaborasi. Isu lingkungan harus terus digemakan dalam obrolan tongkrongan, dalam ceramah di atas mimbar, dalam pembelajaran kurikulum di sekolah, dan dalam bidang apa pun yang kita geluti. Pancasila dalam perbuatan!
(rca)